tirto.id - Dengan isak tertahan dan terpatah-patah, perempuan paruh baya itu memperkenalkan diri sebagai Kim Ki-Bong, warga negara Korea Selatan. Berbicara dengan bahasa Indonesia, Ki-Bong merunutkan permasalahannya sebagai nasabah korban gagal bayar polis produk bancassurance JS Proteksi Plan PT Asuransi Jiwasaraya, di depan anggota Komisi VI DPR RI.
Ki-Bong adalah seorang janda ekspatriat di Indonesia. Setelah kepergian sang suami yang meninggal dunia, Ki-Bong ingin pulang ke kampung halamannya. Namun, ia tidak bisa karena uang yang ia dan sang suami kumpulkan di PT Asuransi Jiwasraya selama ini, tidak bisa diambil.
“Suami saya sudah meninggal, saya mau pulang ke Korea tapi tidak bisa, karena tunggu uang. Di sini sehari-hari juga perlu uang. Saya tunggu uang saya sampai kapan? Uang saya kemana? Di mana? Ada masalah apa? Saya mau tahu,” tutur Ki-Bong di Gedung DPR, Rabu (4/12/2019).
Ki-Bong makin sedih manakala uang yang tersangkut di Jiwasraya ternyata juga diperlukan untuk membiayai pengobatan orang tua dan pernikahan anaknya. Untuk itu, ia menuntut haknya dapat segera cair agar pelbagai kebutuhan tersebut bisa ditutupi.
“Tanggal 21 ini anak saya mau menikah. Tapi saya tidak punya uang untuk pulang dan pernikahan anak saya. Saya perlu uang saya untuk pengobatan orang tua saya juga. Saya minta mohon uang saya untuk kembali,” imbuh Ki-Bong sambil terisak.
Nasib nahas yang dialami Ki-Bong juga dirasakan nasabah Jiwasraya asal Korea Selatan lainnya. Sedikitnya ada 469 Ki-Bong lainnya di luar sana, yang juga menanti uang hasil jerih payah mereka bekerja bisa dikembalikan oleh Jiwasraya.
Lee Kang-Hyun, Ketua Kadin Korea Selatan di Indonesia sekaligus VP Corporate Affair Samsung Indonesia mengatakan dirinya sudah beberapa kali bertemu dengan para pejabat tinggi di pemerintahan untuk membahas hak-hak nasabah Jiwasraya.
Awal Agustus 2019 misalnya, Kang-Hyun sempat bertemu dengan Rini Soemarno yang saat itu menjabat sebagai Menteri BUMN. Kepada Kang-Hyun, Rini kala itu menjanjikan persoalan nasabah korban Jiwasraya selesai sebelum September 2019.
Tapi janji itu menguap begitu saja. Rini tak kunjung menyelesaikan perkara Jiwasraya, dan nasib dana nasabah Jiwasraya, termasuk dana Kang-Hyun juga masih belum jelas sampai dengan awal Desember 2019 ini.
Kang-Hyun juga sempat bertemu dengan Kartika Wirjoatmodjo setelah resmi diangkat sebagai Wakil Menteri BUMN. Namun Kang-Hyun lagi-lagi dikecewakan. Pasalnya, Kartika mengatakan persoalan Jiwasraya baru bisa terselesaikan 2-3 tahun ke depan.
“Wah, saya terkejut mendengar jawaban dari Pak Tiko. Bagaimana nasib nasabah korban Jiwasraya yang asal Korea Selatan harus menunggu selama dua sampai tiga tahun begitu?,” ungkap Kang-Hyun dengan nada penuh kecewa.
Pasca diskusi dengan Wamen BUMN itu, Kang-Hyun memutuskan bergabung secara aktif dalam Forum Komunikasi Pemegang Polis Bancassurance Jiwasraya dan menjadi juru bicara nasabah korban Jiwasraya asal Korea Selatan.
Ditolak OJK dan BUMN
Di hadapan sejumlah anggota Komisi VI DPR RI yang hadir dalam audiensi itu, Kang-Hyun menuturkan dirinya telah menyampaikan persoalan ini kepada Kedutaan Besar Korea Selatan di Indonesia, Otoritas Keuangan Korea Selatan atau Korea Financial Services Commission (FSC) , sampai dengan Parlemen Korea Selatan.
Bahkan menurut Kang-Hyun, Parlemen Korsel telah mengirim surat resmi terkait persoalan Jiwasraya kepada OJK maupun Kementerian BUMN RI. Tapi surat itu tak pernah berbalas hingga kini.
“Kami kunjungi OJK dan BUMN tetapi ditolak. Saya juga sampaikan masalah ini kepada instansi terkait di Korea Selatan dan Parlemen Korsel membahas masalah ini dalam sidang dan mengirimkan surat kepada OJK dan Kementerian BUMN untuk meminta penjelasan, tapi sampai sekarang belum ada jawaban. Mengapa OJK dan Kementerian BUMN seperti ini?,” sambung Kang-Hyun dengan nada agak tinggi.
Yang membuat Kang-Hyun heran, produk JS Proteksi Plan yang bermasalah ini masih dijual oleh bank mitra penyalur bancassurance sampai dengan September 2018. Tidak sampai satu bulan sebelum Jiwasraya mengumumkan keterlambatan pembayaran polis produk tersebut kepada nasabah pada 10 Oktober 2018.
“Ini artinya, tidak ada kontrol dan pengawasan yang baik dari OJK dan juga Kementerian BUMN tentang produk ini. Pemerintah harusnya menyelesaikan masalah ini secepatnya dan nasabah tidak harus menunggu lama tanpa kepastian sampai lebih dari satu tahun,” ucap Kang-Hyun.
Ketidakjelasan serupa juga dialami oleh Johny Mahtani, warga negara Belanda asal Suriname. Perkenalan Johny Mahtani dengan JS Proteksi Plan ini berawal dari aturan Tax Amnesty pada 2016 silam.
Johny kala itu turut melaporkan dan merepatriasi aset yang dimilikinya di luar negeri kepada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI. Setelahnya, dana pengampunan pajak itu ia simpan di Standard Chartered Bank di Jakarta.
Oleh bank asal Inggris tersebut, dana hasil pengampunan pajak milik Johny disimpan di akun yang baru. Standard Chartered juga memberitahu bahwa dana repatriasi itu tidak bisa ditarik selama tiga tahun. Pihak bank lantas menawarkan sejumlah produk investasi yang sesuai dengan peraturan Indonesia terkait dana repatriasi.
“Standard Chartered merekomendasikan produk Jiwasraya,” sebut Johny.
Pihak Standard Chartered menurut Johny menyatakan bahwa produk Jiwasraya merupakan produk investasi paling aman. Sebab, tersemat nama BUMN alias milik negara di sana.
“Mereka (Standard Chartered) bilang BUMN is the same like government Indonesia. Jadi tidak ada masalah dan sangat aman,” sambung Johny.
Tapi malang tak dapat ditolak dan untung tak dapat diraih. Dana hasil repatriasi pengampunan pajak milik Johny dan kelurga justru tak jelas rimbanya hingga kini. Pria paruh baya ini merasa bingung dengan lambatnya penanganan masalah ini oleh pihak-pihak terkait di Indonesia.
“Sekarang semua polis sudah jatuh tempo tapi sampai sekarang dana tidak dapat dicairkan dan situasi sekarang tidak jelas. Maka saya mohon tolong bantu dan selesaikan masalah ini,” pinta Johny kepada para anggota Komisi VI DPR RI.
Audiensi yang dilakukan nasabah korban gagal bayar polis asuransi Jiwasraya dengan Komisi VI DPR ini membuahkan usulan berupa pemanggilan kepada Menteri BUMN Erick Thohir, jajaran Direksi PT Asuransi Jiwasraya, manajemen PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, dan manajemen PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk yang merupakan bank mitra penjual produk bancassurance Jiwasraya.
Lampu Kuning OJK
Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Gerindra Andre Rosiade menuturkan Komisi VI DPR akan menjadwalkan waktu yang tepat untuk pelaksanaan rapat dengar pendapat terkait nasabah kasus Jiwasraya.
Pasalnya, lanjut Andre, masa sidang akan segera berakhir yaitu pada 18 Desember 2019. Dengan kata lain, RDP nasbah Jiwasraya akan dijadwalkan sebelum 17 Desember atau masuk masa reses.
“Permasalahan ini perlu diselesaikan dengan segera. Untuk itu kami akan memanggil seluruh pihak terkait supaya clear solusinya bagaimana dan kapan bisa dieksekusi, supaya ada kepastian,” jelas Ade.
Menurut Ade, terbuka peluang untuk rapat gabungan dengan Komisi XI DPR untuk membahas kelanjutan perkara Jiwasraya. Rapat dengar pendapat gabungan itu dilakukan, agar DPR dapat memanggil bank mitra penjual produk bancassurance Jiwasraya.
Perkara Jiwasraya menurut Ade menjadi lampu kuning bagi OJK. Bagaimana tidak, sebelum kasus Jiwasraya yang merugikan nasabahnya bergulir, terlebih dahulu mencuat permasalahan asuransi Bumiputera.
Menurut Ade, OJK tidak bisa angkat tangan begitu saja dari perkara yang membelit perusahaan-perusahaan asuransi ini. Sebab, OJK memiliki fungsi pengawasan terhadap lembaga keuangan seperti perusahaan asuransi.
“OJK punya kewenangan besar, anggaran besar, kok bisa kecolongan dua kali? Ada apa dengan OJK? Ini memang kewenangan Komisi XI DPR. Saya berharap Panja (Panitia Kerja) yang dibentuk Komisi XI bisa meneliti kasus ini sampai tuntas,” ujar Ade.
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Ringkang Gumiwang