tirto.id - Interpretasi yang beragam terhadap cerita-cerita wayang sudah jamak ditemukan di macam-macam karya, baik dalam tulisan maupun pertunjukan. Dalam novel Drupadi, Seno memilih mendongengkan kisah hidup dan percintaan perempuan yang menjalani suratannya untuk berpoliandri.
Drupadi, putri jelita dari Kerajaan Pancala menjadi ‘hadiah’ bagi ksatria mana pun yang berhasil menjuarai sayembara memanah di kerajaan tersebut. Arjuna hadir dan merebut gelar sang pemenang, tetapi tidak mau menjadi suami tunggal Drupadi dan melangkahi Yudhistira. Drupadi pun terpaksa menjadi istri lima Pandawa setelah Arjuna memenangi.
Pengalaman yang tak pernah diharap-harap Drupadi tidak berhenti sampai di situ. Kali kedua, Drupadi dijadikan imbalan atas judi dadu yang dilakukan Yudhistira versus Kurawa yang berakhir dengan kekalahan salah satu suaminya tersebut.
Sekalipun tidak bisa mengelak saat hendak diperistri para protagonis dari wiracarita Mahabharata dan dijadikan imbalan judi dadu, Drupadi dalam kacamata Seno merupakan sosok yang tetap berani menyuarakan hak-haknya. Seno juga memberi warna lain dalam pengisahan Drupadi dengan menuliskan Pancawala sebagai anak sang Dewi dari kelima ayahnya tanpa pernah tahu siapa ayah biologisnya, berbeda dengan cerita versi Kakawin Bharata Yuddha yang menuturkan Drupadi memiliki lima anak dari kelima suaminya. Drupadi poliandri ala Seno ini pun tak senada dengan cerita wayang versi Jawa Baru yang menceritakan Pancawala adalah buah hubungan Drupadi dengan Yudhistira.
Kisah Drupadi versi Seno ini pertama kali dimuat dalam majalah mingguan Zaman, seiring dengan kisah-kisah tokoh wayang lainnya seperti Aswatama, Karna, Kunti, Trijata, dan Wisanggeni sepanjang tahun 1983-1984. Empat bab cerita Drupadi dipublikasikan di majalah tersebut sebagai cerita bersambung pada tahun 1984, sementara lanjutan ceritanya tersebar di aneka media cetak hingga tahun 2014.
Dalam acara peluncuran bukunya dan dialog dengan narasumber Ayu Utami di Dia.Lo.Gue, Kemang, Rabu (8/2) silam, Seno juga menceritakan niatnya untuk membukukan kisah Drupadi ini seiring dengan keinginannya berkolaborasi dengan penulis dan pelukis Danarto. Dalam buku setebal 160 halaman ini dapat ditemukan sisipan-sisipan gambar Danarto yang menurut Seno berbeda dengan gambar-gambar wayang kebanyakan. Kekhasan Danarto dalam menggambar ini menginspirasi Seno untuk menulis cerita wayang dengan cara yang keluar dari pakem arus utama.
“Saya pikir kalau gambar boleh, tulisan juga boleh, dong,” imbuhnya.
Sudut pandang berbeda ketika melihat kisah Drupadi pun implisit dalam karya yang dirilis Seno ini. Penulis Kitab Omong Kosong ini menyebutkan ada politik yang dimainkan Drupadi di tengah keterkungkungannya sebagai perempuan dalam budaya yang didominasi laki-laki.
“Dalam apa yang disebut patriarki pun, ada suatu politik perempuan. Ia bisa bermain untuk mendapatkan suatu keuntungan. Tidak besar mungkin, tetapi beberapa aktor memperlihatkan itu. Contohnya saat Drupadi mendorong Bima untuk membalas dendam. Saya kira itu fakta penting. Satu-satunya perempuan pidato ya Drupadi itu dalam Mahabharata,” jelas pengarang yang mengenal wayang dari pertunjukan di Yogyakarta dan karya-karya R.A. Kosasih pada 1960-an ini.
Sementara itu, ketika ditanyai apa yang membuat cerita wayang seperti ini tetap menarik dibaca hingga sekarang, Ayu Utami mengatakan bahwa ada unsur-unsur tertentu yang menjadikannya demikian.
“Kalau dari sisi teknis ya mungkin ada unsur dramatiknya terpenuhi. Orang kan nyari ketegangan, tapi orang cari kenikmatan juga, makanya tokohnya pada umumnya perempuannya tetap cantik, laki-lakinya tetap ganteng. Itu yang paling klise.”
Selain itu, menurut Ayu, secara khusus kisah Drupadi memiliki daya tarik tersendiri meskipun tidak bisa dibilang sebagai contoh cerita feminis.
“Buat saya ini menarik karena dia memberikan pembacaan alternatif pada struktur yang katakanlah patriarki. Karena kita nggak bisa bilang bahwa Drupadi itu dengan punya suami lima berarti dia feminis. Kalau feminis tidak seperti itu, tidak sesederhana itu,” ujar penulis yang sempat memenangi sayembara menulis Dewan Kesenian Jakarta lewat novel Saman ini.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Mutaya Saroh