tirto.id - Hari itu magrib baru saja beranjak ketika azan di sebagian masjid mulai berkumandang. Tapi belum saja air wudu membasahi muka Adi Syahban, tiba-tiba bumi bergoncang. Air menyembur dari dalam penjara dan membuat panik para narapidana.
Mereka lalu bergegas dikumpulkan di lapangan, tepat di tengah-tengah penjara, dalam kondisi gelap gulita.
Ratusan narapidana itu terdiri dari anak-anak, perempuan dan lelaki dewasa. Tapi tiba-tiba air kembali menyembur dari tengah lapangan. Narapidana itu berhamburan keluar Lapas. Mereka menerobos tembok yang runtuh dan berkumpul di depan Lapas Kelas II Palu.
“Mereka [narapidana] sempat salat Isya bareng,” ujar Muhammad Nur Butudoka, kepala seksi pembinaan dan anak didik Lapas Kelas II Kota Palu kepada reporter Tirto.
Dalam kondisi gelap gulita, pada saat kepala lapas dan para sipir mulai limbung, para narapidana masih tetap berkumpul. Diputuskan kemudian, para narapidana itu diizinkan menemui keluarganya.
“Kami diberi semacam keringanan. Wajib lapor setiap hari,” kata Adi Syahban.
Jumat kemarin, Adi terlihat tengah berada di Blok II Lapas Kota Palu. Dia menggunakan celana pendek dan tas ransel warna hitam. Di saku tasnya, ada pasta dan sikat gigi. Sore itu dia baru saja melapor ke Lapas Palu. Dia membawa sepeda motor matik, yang diparkir di samping tembok penjara yang telah runtuh.
Saban hari, Adi tiga kali bolak balik untuk melapor. Pagi, siang, dan sore hari. Adi sudah seminggu ini berkumpul dengan keluarganya di Kelurahan Lolu Selatan, Kota Palu.
“Sejak gempa, saya pulang ke rumah,” kata Adi.
Adi merupakan narapidana kasus narkoba lapas Kelas II Palu. Sudah dua tahun ini, ia menghuni kamar di Blok I, Lapas Kelas II Kota Palu setelah majelis hakim memvonisnya 6 tahun kurungan penjara.
“Saya sudah dua tahun menjalani hukuman,” kata Adi. Ia sama sekali tak berniat melarikan diri, tapi ketika gempa melanda seminggu lalu, Adi diperkenankan pulang ke rumah.
“Syaratnya wajib lapor. Bukan disuruh, tapi mau bagaimana lagi,” ujar Adi.
“Di sini makanan dan minuman tidak ada. Keluarga yang kerja di sini juga jadi korban, mereka juga bingung,” ia melanjutkan. “Akhirnya kami diberi keleluasaan untuk bertemu keluarga dan tidur di rumah asal tiap hari melapor.”
Bersama dengan Adi, sejak gempa mengguncang Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala, sebanyak 549 narapidana lapas Kelas II Kota Palu diperbolehkan pulang ke rumah untuk bertemu keluarga mereka. Sebab kondisi Lapas yang tak lagi memungkinkan untuk membina mereka.
Selain tembok Lapas yang menjadi pembatas dengan pemukiman warga roboh, kini bangunan penjara itu menjadi segaris lurus dengan gelombang lumpur yang melumat rumah-rumah di Kelurahan Petobo, Kota Palu.
“Apalagi keluarga jadi korban. Alhamdulillah selamat,” ungkapnya.
Kini waktu betemu keluarga para narapidana hanya tinggal hitungan hari. Senin pekan depan, para narapidana itu diminta berkumpul untuk kembali menjalani kehidupan di dalam jeruji besi.
Andai gempa tak terjadi, mungkin Adi, seminggu ini tak akan bisa kembali bertemu keluarganya dan merasakan bagaimana jadi pengungsi. Tapi ia bersyukur, karena gempa, ia bisa membantu keluarganya yang turut menjadi korban gempa di belakang Pasar Masomba.
“Senin besok, saya akan kembali menjalani hukuman,” tuturnya.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Dieqy Hasbi Widhana