Menuju konten utama

Cerita Lengkap Kasus Mahfud MD & Komisi 3 DPR soal Dana Kemenkeu

Berikut cerita lengkap kisruh antara Mahfud MD dan Komisi 3 DPR soal dana Kemenkeu.

Cerita Lengkap Kasus Mahfud MD & Komisi 3 DPR soal Dana Kemenkeu
Menko Polhukam Mahfud MD memberikan paparan pada sarasehan di Jakarta, Selasa (21/3/2023). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/aww.

tirto.id - Mahfud MD, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Indonesia (Menkopohukam) sekaligus Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terlibat konflik dengan Komisi 3 DPR RI terkait dana janggal di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Sebelumnya, Mahfud mengegerkan publik dengan kabar mengenai aliran dana mencurigakan di tubuh Kemenkeu mencapai Rp300 triliun di sepanjang 2009–2023 yang terdiri dari 197 laporan dengan 467 pegawai.

Mahfud mengatakan dalam konferensi pers pada Jumat, 10 Maret 2023 bahwa dana tersebut diduga merupakan tindak pidana pencucian uang. Namun selama ini dugaan tindakan pencucian uang tersebut tidak ditindaklanjuti.

Aliran dana yang janggal itu berdasarkan data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kemudian kasus bergulir hingga ditemukan bahwa transaksi mencurigakan tersebut mencapai angka Rp349 triliun.

Menanggapi isu tersebut, Komisi 3 DPR yang membidangi hukum, HAM, dan keamanan kemudian mengundang Mahfud bersama Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU untuk mendapatkan penjelasan detail terkait transaksi mencurigakan tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada Rabu (29/3/2023).

Kronologi Lengkap Kasus Mahfud MD dan Komisi 3 DPR RI

Sebelum diadakan RDPU, pihak Mahfud dan Komisi 3 sudah mulai memanas. Ketua Komisi 3 DPR RI Bambang Pacul mengingatkan kepada Mahfud MD dan segenap jajarannya di Komite TPPU agar menjelaskan sedetail mungkin terkait aliran dana mencurigakan di Kementerian Keuangan.

Apabila ada hal janggal dari penjelasan Mahfud MD dan jajarannya, Pacul tak segan menggunakan hak interpelasi sebagai pengawas pemerintahan di DPR.

"Kalau belum selesai kita akan akan menggunakan hak pengawas, baik dalam bentuk hak interpelasi, hak pansus, bahkan hak angket," terangnya.

Pertemuan hanya dihadiri oleh Mahfud MD selaku Ketua Komite TPPU dan Sekretaris Komite TPPU Ivan Yustiavandana selaku Ketua PPATK.

Sedangkan Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak dihadirkan. Walaupun kedudukan Sri Mulyani di Komite tersebut adalah anggota.

"Kalau diundang, iya beliau kami undang. Tapi beliau tidak hadir. Karenanya anggotanya bukan hanya Ibu Menkeu ada yang lain jumlahnya 13," ungkap Pacul.

Mahfud juga menantang balik anggota Komisi III DPR yang sebelumnya melontarkan pernyataan agak keras terkait isu tersebut.

"Bismillah. Mudah-mudahan Komisi III tidak maju mundur lagi mengundang saya, Menko Polhukam/Ketua KNK-PP-TPPU. Saya sudah siap hadir. Saya tantang saudara Benny K. Harman juga hadir dan tidak beralasan ada tugas lain. Begitu juga saudara Arteria dan saudara Arsul Sani. Jangan cari alasan absen," ujar Mahfud melalui akun Twitternya @mohmahfudmd.

Dalam RDPU, terjadi perdebatan sengit antara Mahfud dengan Komisi 3 DPR RI. Pada rapat tersebut, Mahfud menjelaskan temuannya dengan menampilkan data perihal dana Rp349 triliun yang ada di Kemenkeu.

“Bahwa ada tiga kelompok menurut Laporan Hasil Analisis (LHA). Keseluruhannya melibatkan 491 entitas ASN di Kemenkeu,” kata Mahfud dalam kanal Youtube resmi DPR RI.

Pertemuan yang berlangsung dari pukul 15.00 hingga 23.00 WIB tersebut awalnya berlangsung alot karena diwarnai debat sengit yang membuat suasana tegang. Namun, setelah berjalan beberapa saat, pihak Mahfud dan Komis 3 DPR RI mulai kondusif.

"Semula agak tegang. Pertanyaannya berputar-putar, saling protes karena cara bicara. Pada akhirnya tadi kami clear," ujar Mahfud dalam konferensi pers usai RDPU di Kompleks Parlemen pada Antara News.

"Tidak ada masalah karena yang ditanyakan (saat rapat) sama, saya hanya menjelaskan saja. Datanya hanya ini dan Kemenkeu hanya mengambil satu biji dari sebongkah anggur, itu yang dijelaskan," ujarnya.

Kemudian, dia juga menjelaskan mengenai pernyataannya dan dia menganalisa bahwa ada penutupan akses informasi oleh bawahan Menkeu Sri Mulyani terkait transaksi mencurigakan tersebut. Sehingga, Menkeu tidak mendapatkan data valid mengenai transaksi mencurigakan hingga senilai Rp349 triliun.

"Itu tafsiran saya karena ternyata ketika surat yang tahun 2020 yang memperingatkan agar (surat) yang 2017 itu dilaksanakan. Dibilang tidak ada, ditunjukkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ini suratnya ada," katanya.

"Dari keterangan Ibu Sri Mulyani tadi saya ingin jelaskan fakta bahwa ada kekeliruan pemahaman dan penjelasan karena ditutupnya akses yang sebenarnya dari bawah," ujarnya.

Tanggapan Terbaru Mahfud Md soal DPR dan Parpol

Menyusul kasus perdebatan sengit Mahfud dengan DPR beberapa waktu lalu, masyarakat yang menyimak siaran langsung melalui televisi dan platform daring tidak sedikit menyampaikan kekecewaan hingga kekesalan kepada DPR RI. Sejumlah pernyataan keras di media sosial seperti bubarkan DPR dan partai politik (parpol) menjadi hangat diperbincangkan.

Menanggapi hal ini, Mahfud mengatakan bahwa meski seburuk apapun keadaannya, bangsa Indonesia jangan pernah berkeinginan untuk membubarkan DPR dan parpol.

"Banyak orang mengatakan sekarang di medsos bubarkan DPR, bubarkan partai politik. Saudara, itu adalah pilihan yang sangat jelek. Saya ingin tegaskan daripada tidak ada DPR, daripada tidak ada parpol, lebih baik kita hidup bernegara ini mempunyai DPR dan mempunyai parpol meskipun jelek," kata Mahfud saat menyampaikan ceramah di Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Minggu (2/4/2023) dikutip Antara News.

Mahfud mengatakan, situasi terkini politik di Indonesia jangan sampai menjadi pemicu untuk berpikir mengubah sistem pemerintahan negara. Sebab, menurutnya, meskipun DPR dan parpol belum ideal, lembaga tersebut tetap menjadi instrumen penting dalam mengontrol negara.

Lebih lanjut, Mahfud juga mencontohkan pada masa Khalifah Islamiah yang menerapkan monarki, kala itu Imam Hambali yang pernah silang pendapat dengan khalifah dianiaya dan dipenjara. Karena kekuasaan monarki yang sangat besar, pada saat itu tidak ada yang dapat mengontrol.

"Imam Hambali yang sampai sekarang kita ikuti ajaran fikihnya, dipenjara, dianiaya karena beda pendapat dengan khalifah, dan tidak ada yang berani mengontrol," kata Mahfud.

"Oleh sebab itu, jangan berpikir dalam situasi sekarang sudahlah berubah negara kita jangan menjadi demokrasi, enggak boleh, harus tetap demokrasi. Pilihannya partai dan DPR harus diperbaiki bersama-sama," ujar Mahfud.

Baca juga artikel terkait AKTUAL DAN TREN atau tulisan lainnya dari Balqis Fallahnda

tirto.id - Politik
Kontributor: Balqis Fallahnda
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Alexander Haryanto