tirto.id - Tim hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menyebut salah satu pelanggaran pemilu yang dilakukan petahana adalah mobilisasi birokrasi dan sumber daya milik BUMN. Ini mereka kemukakan dalam dokumen gugatan sengketa hasil pilpres yang diserahkan ke Mahkamah Konstitusi, 25 Mei lalu, khususnya pada halaman 20 hingga 28.
Ada banyak contoh kasus dicatat dalam delapan halaman itu. Untuk menyebut beberapa saja: pameran mobil GIIAS 2018 jadi kampanye tagar Jokowi2Periode (hlm. 23), Satpol PP diminta kampanyekan Jokowi (hlm. 24), Jokowi perintahkan menteri pamer keberhasilan (hlm. 24), sampai peresmian MRT jadi ajang politik (hlm. 27).
Tim hukum juga menyinggung perbedaan perlakuan terhadap birokrat yang membela Jokowi-Ma'ruf Amin dan mereka yang mendukung Prabowo-Sandiaga. Di satu sisi, Anies Baswedan terancam tiga tahun penjara setelah mengacungkan salam dua jari--nomor urut Prabowo-Sandiaga--di acara Gerindra, sementara di sisi lain Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menghentikan kasus 15 camat Makassar yang deklarasi mendukung Jokowi pada 12 Maret 2019 atau setelah penetapan capres-cawapres (hlm. 20).
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko lantas membantah tuduhan itu. Moeldoko, yang juga Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, mengatakan yang terjadi justru sebaliknya: lebih banyak yang memilih 02, nomor urut Prabowo-Sandiaga.
"Menggerakkan BUMN? Tahu tidak BUMN yang milih 02 [berapa persen]? 78 persen. Menggerakkan ASN? ASN 72 persen milih 02. Di mana menggerakkan? Menggerakkan polisi? Buktinya di Aceh, NTB, Sumbar, [Jokowi-Ma'ruf] kalah telak. Kalau digerakkan 100 persen semua," kata Moeldoko di lingkungan Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (28/5/2019) lalu, mengutip Antara.
Bekas Panglima TNI ini bilang angka-angka yang dia sebut adalah hasil survei internal TKN.
"Iya [survei internal], di [kompleks] Paspampres, [paslon 01] kalah, di perumahan Setneg kalah. Terus mana yang digerakkan?" tambah Moeldoko.
"Itu Fakta"
Apa yang dikatakan Moeldoko lantas dibantah oleh bekas Sekjen Kementerian ESDM Said Didu. Said Didu, bekas ASN di era Jokowi yang kini ada di kubu Prabowo, menegaskan bahwa intervensi dari pemerintah untuk mendukung petahana itu nyata.
"Intervensi itu terjadi. Saya tahu persis puluhan Dewan Komisaris BUMN nyata-nyata berkampanye untuk 01, termasuk Seknas Jokowi yang meninggal, Muhammad Yamin, itu kan komisaris," kata Said Didu kepada reporter Tirto, kemarin (29/5/2019).
Ia lantas menyinggung kasusnya sendiri yang dipecat sebagai Komisaris PT Bukit Asam Tbk pada Desember lalu.
"Pemerintah menyatakan [pemecatan] karena [pilihan politik] tidak sejalan. Itu fakta."
Said Didu bilang kalau BUMN juga diminta untuk menyelenggarakan sejumlah kegiatan yang menjurus pada kampanye petahana. Misalnya acara-acara ulang tahun BUMN yang digelar pada masa pilpres, atau ketika mobil PLN ditempeli stiker ajakan membayar tagihan dengan tulisan "01"--padahal bisa hanya "1" saja.
Said Didu lantas bilang apa yang dikatakan Moeldoko hanyalah upaya menyangkal yang dangkal. Jika pun data yang disampaikan Moeldoko benar, kata Said Didu, itu menunjukkan bahwa ASN sedang melawan.
"Jadi jangan dibalik, seakan-akan karena banyak yang memilih Prabowo, tidak terjadi intervensi. Bukan. Sudah diintervensi masih menolak," simpulnya.
Perlu Bukti yang Kuat
Apa yang dikatakan Moeldoko mengkonfirmasi temuan Charta Politika dalam survei yang digelar pada 22 Desember 2018 sampai 2 Januari 2019. Hasil sigi itu menunjukkan bahwa Prabowo-Sandiaga memang lebih unggul baik di kalangan PNS maupun pejabat desa/kelurahan (Kepala Desa, Sekertaris Desa, dan di bawahnya).
Di kalangan PNS, elektabilitas Jokowi-Ma'ruf hanya bertengger di angka 40,4 persen. Sementara Prabowo-Sandiaga memperoleh 44,4 persen. Sisanya, 14,9 persen, mengaku belum mau memberikan dukungan suara untuk keduanya.
Sementara di lingkungan pegawai desa atau kelurahan, pemilih Jokowi-Ma'ruf hanya mencapai 30,8 persen. Jauh di bawah Prabowo-Sandi: 53,8 persen. 15,4 persen sisanya belum menentukan sikap politik.
Dengan mempertimbangkan pernyataan Moeldoko dan survei Charta di atas, Direktur Riset Populi Center Usep S. Ahyar mengatakan sulit mengambil kesimpulan bahwa memang ada mobilisasi PNS dan BUMN yang mengarah kepada pelanggaran pemilu yang sifatnya terstruktur, sistematis, dan masif (populer disingkat TSM).
"Saya kira Pak Moeldoko ingin menunjukkan itu [tak ada mobilisasi] dan menurut saya juga memang begitu. Hasil survei juga sama, menunjukkan bahwa ASN itu dibebaskan [dalam memilih]," kata Usep kepada reporter Tirto, Rabu (29/5/2019) kemarin.
Jika memang ada birokrat yang misalnya secara terbuka mendukung petahana dan mengajak yang lain turut serta, kata Usep, itu bisa saja atas kehendak pribadi, bukan instruksi atau komando tertentu. Dan karena itu tak bisa dikategorikan TSM.
Disebut pelanggaran terstruktur karena yang melakukan kecurangan adalah aparat negara secara bersama-sama; sistematis karena menurut mereka pelanggaran direncanakan secara matang; dan masif karena dampak pelanggarannya sangat luas hingga memengaruhi seluruh hasil pemilu.
Atas dasar itu dia bilang tim hukum Prabowo mesti berupaya lebih keras membuktikannya dalam sidang di MK nanti.
"Kalaupun ada relasi kuasa, ya buktikan saja," kata Usep.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino