tirto.id - Kemarin Jumat (26/10) gelombang demonstrasi terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Protes itu digelar untuk merespons peristiwa pembakaran bendera dan ikat kepala di Garut yang dilakukan Anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama (NU) atau paramiliter Gerakan Pemuda (GP) Ansor pada peringatan Hari Santri Nasional di Alun-Alun Limbangan, Garut, Senin (22/10).
Sehari sebelumnya, Kamis (25/10) di dunia maya dan aplikasi Whatsaap beredar pamflet digital yang berisi ajakan demonstrasi ke Kantor PBNU di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Jumat (26/10). Ajakan itu mengatasnamakan Himpunan Pemuda Islam (HMI) seluruh cabang Jakarta .
Tercantum nama Imran Katmas yang dijadikan sebagai koordinator lapangan aksi tersebut. Isu utama yang mereka usung: mendesak Pengurus Besar (PB) NU dan GP Ansor membubarkan Banser NU. Titik aksi disematkan di kedua kantor organisasi induk Banser NU itu.
Berkat rencana yang digerakkan Imran, GP Ansor Provinsi DKI Jakarta menyiagakan 2 ribu anggota Banser NU di sekitar Kantor PBNU dan GP Ansor. Hal itu diketahui dari surat yang dilayangkan Ketua Pimpinan Wilayah GP Ansor DKI Jakarta Abdul Azis kepada Direktorat Intelkam Polda Metro Jaya pada, Jumat (26/10/2018).
Tertulis jelas alasan penyiagaan Banser NU itu karena demo yang diinisiasi Imran. Bahkan dicantumkan nomor gawai Imran dalam surat itu.
Pagi harinya sebelum Aksi Bela Tauhid digelar muncul pernyataan dari HMI Cabang Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat-Utara, dan HMI Se-Jakarta. Isinya nyaris seragam, menyatakan bahwa ajakan HMI mengerahkan massa untuk Aksi Bela Tauhid ke Kantor PBNU dan GP Ansor adalah informasi hoaks.
Sikap mereka serentak, menyatakan tak terlibat dalam aksi tersebut. Sebab rencana aksi belum dibahas dalam rapat harian internal masing-masing cabang untuk merancang kegiatan eksternal antar cabang HMI. "Pernyataan sikap ini dibuat untuk diketahui sebagaimana mestinya, supaya tidak keliru dalam berpikir," tulis Sekretaris Umum HMI Cabang Jakarta Timur, Taufiqurrahman Arief dalam pernyataan pernyataan itu.
Imran merupakan wakil sekretaris bidang perguruan tinggi, kemahasiswaan, dan kepemudaan HMI Cabang Jakarta Pusat-Utara. Beberapa jam sebelum demonstrasi dilaksanakan, Imran juga menjadi bagian yang memboikot aksi tersebut. Padahal kepada reporter Tirto, dia mengaku sudah memberikan surat pemberitahuan demonstrasi ke Polda Metro Jaya.
Memang benar, siang itu tak ada satupun anggota HMI yang berdemonstrasi di Kantor PBNU maupun GP Ansor. Justru yang ada hanyalah Banser NU yang sedang bersantai-santai di sekitar kedua kantor pusat itu.
Padahal bendera Ar-Rayah sudah dipasang sejak dini hari di Gang Kramat Lontar, seberang Gedung PBNU yang menjadi target demonstrasi HMI kelompok Imran.
“Enggak takut [dengan Banser NU]. Memang kami mau berantem? Ya kami mengedepankan keamanan dan ketertiban. Harapan kami aspirasi kami sampai,” kata Imran saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (26/10/2018).
Dengan berat hati Imran menyatakan demonstrasi sekitar 200 orang massa HMI yang dia inisiasi terpaksa batal. Dia enggan menjelaskan rinci siapa saja yang membuat demo itu gagal.
“Gerakan saya telah diintervensi yang kemudian berujung pada klarifikasi dari beberapa Ketua Umum HMI cabang Jakarta Pusat-Utara tentang, tidak adanya rencana agenda aksi yang kemudian mempengaruhi niat kader-kader HMI Jakarta dalam agenda aksi siang ini,” terang Imran.
Imran mengakui tak pernah menjalin koordinasi dengan seluruh ketua umum cabang HMI di Jakarta terkait rencana aksi itu. Menurutnya demonstrasi itu atas dorongan dirinya secara pribadi dan berdasarkan hasil diskusi dengan beberapa kader HMI di Jakarta.
“Tidak mungkin [saya] mau menunggu instruksi untuk bergerak menyikapi insiden tersebut dari ketum-ketum cabang atau ketum PB yang sejauh ini tidak pernah [memberikan seruan aksi] dan berpotensi tidak mungkin ada,” katanya lagi.
Tegas, Imran menyatakan, para pimimpin HMI di Jakarta abai terhadap fakta versinya: Banser NU membakar bendera yang di dalamnya tercantum kalimat tauhid. Menurutnya umat Islam harus tersinggung.
Mencegah Bentrokan di Sekujur Indonesia
Ketua Umum HMI Jakarta Pusat-Utara Adim Razak geram terkait rencana aksi membubarkan Banser NU yang mencatut nama dan logo organisasinya. Menurutnya wajar Imran marah karena tersinggung aksi pembakaran bendera dan ikat kepala di Garut, akan tetapi harusnya demonstrasi itu didiskusikan dulu dalam rapat internal HMI.
“Secara mekanisme organisasi kami bingung juga karena tidak pernah dibawa ke rapat. Untuk tidak memunculkan kebingungan, ya kita kami pengumuman [aksi yang dirancang Imran hoaks] itu,” kata Adim saat dihubungi reporter Tirto.
Adim menjelaskan, pernyataan sikap tak terlibat dalam rencana aksi bubarkan Banser NU, telah dibuat beberapa jam usai Imran mencatut nama HMI untuk menggalang dukungan massa.
Adim menuturkan, masih banyak alternatif untuk menyalurkan protes terhadap PBNU dan GP Ansor. Dia khawatir jika demonstrasi itu dipaksakan, akan muncul bentrokan antara HMI tertular merata ke seluruh daerah di Indonesia dengan paramiliter GP Ansor. Menurutnya tentu yang dirugikan masyarakat Indonesia.
“Yang kami khawatirkan itu, kami diadu antar sesama Islam. Kalau kemudian kami melihat kondisi sekarang, kami bisa terjebak dalam konflik dan tidak menyelesaikan persoalan bangsa,” tegasnya.
Meski begitu Adim menegaskan, tidak ada larangan bagi individu HMI yang tetap ingin ikut aksi turun ke jalan ataupun demonstrasi di depan PBNU dan GP Ansor. Sampai sekarang Imran juga tidak dihantam sanksi apapun.
“Mau ikut aksi atau tidak ya terserah Imran. Saya juga tidak komunikasi dengan dia. Kalau dia mau turun aksi ya juga tidak masalah meski membawa nama HMI, toh dia pengurus juga,” ucapnya lagi.
Ketua Umum HMI Jakarta Timur Yahya Salampessy meyakini tidak ada intervensi apapun dalam keputusannya untuk memboikot aksi demonstrasi tersebut. Yang ia ketahui, memang ada oknum HMI yang ingin melakukan aksi dengan melakukan pencatutan nama organisasi mahasiswa tersebut.
“Kalau kami Jakarta Timur, masih fokus pada pengaderan. Jadi kita belum ada omongan soal aksi [bubarkan Banser NU] itu,” kata Yahya kepada reporter Tirto.
Yahya menegaskan, Imran tidak disalahkan sepenuhnya. Tapi sebaiknya Imran bisa melihat gambaran besar aksi tersebut. Bila Imran mengatasnamakan seluruh kader HMI, seharusnya ada komunikasi yang dilakukan dengan pengurus lainnya. Sebab jika aksi tak direncang dan digelar dengan matang, tentu bisa berdampak fatal.
“Dengan mengatasnamakan HMI saja sudah salah. Kami HMI Jakarta Timur tidak tahu apa-apa. Kalau ada apa-apa tapi kami kena juga kan?” jelas Yahya.
Ketegangan di Kantor PBNU dan GP Ansor
Banser NU sudah bersiaga di PBNU untuk menjaga agar kantor pusat mereka tidak diacak-acak oleh demonstran kelompok Imran yang rencananya akan datang sekitar pukul 14.00 pada, Jumat (26/10/2018). Namun hingga sekitar pukul 16.00 tidak ada tanda-tanda kedatangan mereka.
Justru massa Komando Laskar Islam (KLI) yang awalnya berdemonstrasi di dekat Patung Arjuna Wijaya atau Patung Kuda, Jakarta Pusat bergerak menuju Kantor PBNU dan GP Ansor. Mereka mengikuti Aksi Bela Tauhid. Sesampainya di depan Kantor GP Ansor, mereka terlibat adu mulut dengan Banser NU.
Sebabnya beberapa dari massa KLI itu, mengklaim dilempari botol air mineral dan batu dari arah Kantor GP Ansor. Lemparan itu dibalas dengan teriakan oleh massa KLI. Lalu mereka ramai-ramai berteriak, “Bubarkan Banser.”
Salah satu koordinator lapangan dari Forum Ustaz Muda Indonesia Akmah Jiih berusaha mencegah bentrokan terjadi. Organisasi Akmah tergabung dalam aliansi KLI.
Banser NU juga sama. Beberapa dari mereka sudah mulai beranjak meninggalkan halaman Kantor PBNU untuk bergerak ke Kantor GP Ansor. Namun berhasil dicegah pimpinan mereka.
Adu mulut itu berlanjut sampai depan Kantor PBNU. Beberapa orang bagian dari massa yang melintas di seberang kantor itu, meminta agar pasukan Banser NU masuk ke dalam halaman kantor. Mereka berupa mencegah pelemparan botol kembali terjadi.
Sayangnya permintaan itu ditolak. Ketua Umum Patriot Garuda Nusantara (PGN) Nurul Arifin yang ikut menjaga PBNU sempat mengatakan, ia tidak gentar terhadap massa yang datang.
“Menjawil Banser maka berarti menjawil diri saya. Menjawil Banser berarti mempertaruhkan harkat martabat Nahdlatul Ulama. Akan kami libas,” kata pria yang kerap disapa Gus Nuril ini.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Dieqy Hasbi Widhana