tirto.id - Rode Zanambani (26) bersama dengan rekannya mempersiapkan acara pembubaran panitia hari ulang tahun Gereja Kemah Injil Indonesia Laodikia Jayanti, di Nabire. 19 September, sekira pukul 06.00, mereka memasak. Lantas keluarga dari Bernard menyambanginya dan menginformasikan bahwa ada hamba Tuhan di distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, ditembak.
Lantas ia menunggangi motornya untuk ke rumah Bernard -kerabat dari almarhum- demi mendapatkan informasi valid.
“Saya sudah rasa, tapi keluarga dengar lebih dahulu. Mereka sembunyikan berita ini dari saya. Kami menangis, duka di rumah Nabire,” ucap Rode ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis (12/11/2020).
Rode adalah anak perempuan dari Pendeta Yeremia Zanambani, yang mengungsi ke Nabire tahun lalu karena personel TNI persiapan Koramil menempati satu sekolah di distriknya. Tiga hari kemudian, sekira pukul 12, perempuan itu kembali ke Intan Jaya, dia tak menuju Hitadipa karena kampung itu tak berpenghuni lagi kecuali anggota tentara.
Lantas ia menuju distrik Zanaba. Ketika tiba, penduduk setempat memberitahukannya ada pertemuan perwakilan TNI, keluarga, dan masyarakat di kantor bupati yang membahas ihwal kematian Pendeta Yeremia.
Selain pertemuan itu, tak ada TNI ataupun pemerintah pusat yang masuk ke kampung tersebut. Termasuk Tim Gabungan Pencari Fakta bentukan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
Jika ada yang mau bertemu dengan korban dan saksi, pemerintah daerah mengantar-jemput dengan Kijang. Semasa hidup, Pendeta Yeremia tak mau ada ketakutan yang menyebar di kampungnya, meski aparat menetap di sana. Daerah misionaris tak perlu ada pertumpahan darah. Penduduk harus dilindungi dan saling melindungi, bila terjadi sesuatu sebaiknya mengungsi ke gereja. “Bapak tidak pernah bicara macam usir TNI.”
Sekolah yang dijadikan pos oleh personel persiapan Koramil yakni SD-SMP Satu Atap YPPGI Hitadipa, tempat Rode mengajar; sementara SDN Inpres Kulapa dan SDN Soanggama ditutup karena penempatan aparat. Para guru sekolah itu pun mengungsi sejak tahun lalu, imbasnya ada dua golongan murid yakni lanjut dan putus pendidikan.
Bagi orang tua yang mampu akan kembali menyekolahkan anaknya di kota. Sisanya, menganggur. “(Murid tertinggal) sama sekali tidak mendapat pendidikan baru,” jelas Rode.
Selama di Nabire dia tak mengajar karena siswanya dan guru tersebar di beberapa daerah, maka berkebun dan beternak babi jadi pilihannya.
Kemudian Rode menegaskan tak ingin jenazah bapaknya diautopsi karena khawatir berefek buruk ke keluarganya. Menurut kebudayaan di sana, pantang kembali menggali kuburan. Yeremia dimakamkan di Hitadipa.
“(Saya) sakit hati, menangis, dan... begitulah.” Trauma tak terhindar, mengingat peristiwa itu bahkan melihat sosok tentara melahirkan ketakutan di Rode dan keluarga.
Beberapa tim dibentuk untuk membongkar kematian Yeremia Zanambani. Temuan-temuan tersebut semakin memperkuat dugaan bahwa pelakunya adalah personel TNI.
Pengumuman investigasi pertama disampaikan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta Intan Jaya bentukan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan pada Rabu 21 Oktober. Tim menyimpulkan ada “dugaan keterlibatan oknum aparat,” kata Menkopolhukam Mahfud MD. Dengan kata lain, berbeda dengan pernyataan petinggi TNI-Polri yang bilang pelaku adalah kelompok bersenjata.
Kesimpulan Tim Independen Kemanusiaan untuk Intan Jaya, yang terdiri dari sejumlah tokoh agama, akademisi, dan aktivis HAM seperti pendeta Dora Balubun, aktivis dan jurnalis Victor Mambor, dan aktivis HAM Haris Azhar, lebih tegas.
Mereka menyebut berdasarkan keterangan saksi dan keluarga, Yeremia sempat menyebut bahwa penembaknya merupakan anggota TNI bernama Alpius. Semasa hidupnya Yeremia sering membantu Alpius dan bahkan menganggapnya sebagai anak.
“Yeremia diduga sudah menjadi target atau dicari oleh terduga pelaku dan mengalami penyiksaan dan/atau tindakan kekerasan lainnya untuk memaksa keterangan dan/atau pengakuan dari korban atas keberadaan senjata yang dirampas maupun keberadaan anggota TPNPB-OPM,” kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, ketika menjelaskan temuan pihaknya, Senin (2/11).
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz