Menuju konten utama

CEO Rappler Maria Ressa Kembali Ditangkap di Bandara Manila

Maria Ressa ditangkap sesaat setelah tiba di Bandara Internasional Manila karena tuduhan pelanggaran investasi.

CEO Rappler Maria Ressa Kembali Ditangkap di Bandara Manila
CEO Rappler Maria ressa. Aaron Favila / AP

tirto.id - CEO Rappler Maria Ressa kembali ditangkap pada Jumat (29/3/2019) karena dugaan pelanggaran investasi. Rappler Inc, media yang kerap mengkritisi Presiden Filipina Rodrigo Duterte ini melaporkan, CEO dan editor eksekutif mereka, Ressa ditangkap sesaat setelah tiba di Bandara Internasional Manila.

Ressa digiring polisi dan langsung dibawa ke pengadilan regional untuk membayar jaminan. Ressa sempat mengunggah proses penangkapannya itu di media sosial Twitter @mariaressa.

“Ini adalah parodi keadilan. Saya tidak melakukan kesalahan. Saya bukan penjahat. Saya diperlakukan seperti penjahat," ujar Ressa, kepada ABS-CBN News Channel seperti dikutip Associated Press News. Ia menambahkan langkah pemerintah ini adalah pelanggaran kebebasan pers.

Perwakilan Duterte membantah penangkapan Ressa adalah pelanggaran terhadap kebebasan pers. Ressa dianggap telah melanggar hukum Filipina dan dituntut pihak berwenang dan harus menjalani sanksi sesuai dengan sistem peradilan yang berlaku.

Tuduhan berasal dari pengaduan yang dilakukan Biro Investigasi Nasional (National Bureau of Investigation/NBI) yang menuduh Rappler melanggar hukum dengan mengizinkan investor asing, Omidyar Network yang berbasis di Amerika Serikat (AS) untuk menyuntikkan dana melalui berita online.

Konstitusi Filipina melarang kepemilikan asing atas media berita, tetapi Rappler berpendapat itu tidak memberi Omidyar kewenangan untuk mengendalikan atau mempengaruhi berita.

Pengawas perusahaan negara, Komisi Sekuritas dan Bursa (the Securities and Exchange Commission) telah mencabut izin situs tersebut atas apa yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap kepemilikan asing perusahaan dan kontrol terhadap media-media di Filipina.

Ressa menghadapi tuduhan lain yaitu diduga melanggar undang-undang perpajakan sehubungan dengan dana asing yang diterima Rappler.

Penangkapan pertama terhadap Ressa terjadi pada bulan lalu. Ia dibebaskan dengan jaminan. Ressa ditangkap atas tuduhan pencemaran nama baik seorang pengusaha.

Dilansir BBC, para aktivis kebebasan pers menyebut Ressa menjadi sasaran Presiden Rodrigo Duterte karena Rappler kerap menulis laporan yang mengkritik pemerintahan.

Sebelas kasus hukum telah dituduhkan terhadap Rappler sejak Januari 2018. Penangkapan Ressa kembali menimbulkan kekhawatiran terhadap kebebasan pers di negara itu.

Beberapa berita Rappler soal Duterte di antaranya tentang cara Duterte memerangi narkoba di Filipina, di mana polisi mengatakan telah membunuh sekitar 5.000 orang selama tiga tahun terakhir. Pada Desember, Rappler juga memberitakan soal pengakuan Duterte yang telah melakukan pelecehan seksual pada seorang pembantu.

Sejak 1986, 176 wartawan terbunuh di Filipina, menjadikannya sebagai salah satu negara paling berbahaya bagi wartawan. Pada 2016, Duterte dikritik karena mengatakan beberapa wartawan itu memang pantas mati.

Baca juga artikel terkait KEBEBASAN PERS atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Agung DH