tirto.id - Tak semua kematian menyedihkan. Terdengar kejam, memang, tetapi demikianlah adanya. Bagi sebagian orang, mangkatnya Ratu Elizabeth II justru merupakan kabar gembira. Bahkan, ada yang sampai bernyanyi dan berpesta merayakan kematian sang ratu.
Tak seberapa lama setelah mangkatnya Ratu Elizabeth II diumumkan secara resmi, virallah sebuah video dari tanah Irlandia. Sekelompok suporter klub sepak bola Shamrock Rovers merayakan kematian ibu Raja Charles III itu di tribune Tallaght Stadium dengan menyanyikan kata-kata "Lizzy's in a box". "Lizzy", tentu saja, merujuk pada Elizabeth dan "in a box" berarti berada dalam peti mati.
Shamrock Rovers sendiri, sebagai sebuah klub dari Republik Irlandia, tidak punya kewajiban apa pun untuk memberi penghormatan atau ucapan duka cita. Elizabeth II bukan ratu mereka dan, memang, tidak satu kali pun nama kakak dari mendiang Putri Margaret itu disebut dalam situsweb atau media sosial klub.
Secara resmi, Shamrock Rovers seperti memilih untuk tidak peduli dengan apa yang terjadi di Inggris Raya, mereka tetap menjalankan situsweb dan media sosial seperti tak ada apa-apa. Namun, nyanyian para suporter Shamrock Rovers tadi sudah cukup mewakili bagaimana sikap sesungguhnya dari jawara Irlandia tersebut.
Republik Irlandia adalah negara yang punya kedaulatan sendiri. Mereka sudah merdeka dari Inggris Raya sejak 1921. Jadi, wajar jika Shamrock Rovers yang berbasis di Dublin itu tidak harus menyampaikan apa pun terkait mangkatnya Ratu Elizabeth II.
Lain Republik Irlandia, lain pula Inggris dan Skotlandia.
Sepintas, sepak bola Inggris Raya tampak memiliki sikap seragam dalam merespons mangkatnya Ratu Elizabeth II. Semua pertandingan di Inggris, Skotlandia, serta Irlandia Utara ditangguhkan selama satu pekan sebagai wujud berkabung, meski alasan sesungguhnya adalah supaya industri sepak bola tidak diserang oleh media-media sayap kanan.
Nah, meski respons yang ditunjukkan tampak seragam, tetap saja ada para liyan di sepak bola Inggris Raya. Ada anasir-anasir yang selama ini sudah acap menyatakan ketidaksukaan, bahkan kebencian, terhadap keluarga Kerajaan Inggris. Dua aktor yang paling menonjol di sini adalah suporter Liverpool dan suporter Celtic.
Sempat muncul kekhawatiran bahwa suporter Liverpool akan "berulah" dengan meniru aksi suporter Shamrock Rovers. Bahkan, pelatih Juergen Klopp sampai harus mewanti-wanti para suporter supaya menghormati hening cipta yang dilakukan jelang pertandingan Liga Champions melawan Ajax di Anfield, Rabu (14/9/2022) dini hari WIB.
Namun, kekhawatiran tinggal kekhawatiran. Memang ada sebagian kecil suporter The Reds yang berulah dengan bersiul ketika lagu kebangsaan "God Save the Queen" dikumandangkan. Akan tetapi, secara umum, situasi bisa dibilang aman terkendali.
Liverpool sendiri, sebagai sebuah institusi, tetap memberikan penghormatan kepada Ratu Elizabeth II dengan menyampaikan pernyataan belasungkawa sambil mengubah logo di media sosialnya menjadi hitam. Hal ini dilakukan oleh hampir semua klub sepak bola di Inggris Raya. Ya, hampir. Sebab, ada satu klub yang memilih untuk tidak mengubah logonya menjadi hitam. Klub itu tak lain adalah Celtic.
Celtic bukannya sama sekali tidak memberikan tanggapan. Di situswebnya, klub yang berdiri pada 1887 itu menyatakan rasa belasungkawa atas mangkatnya Ratu Elizabeth II. Akan tetapi, rasa belasungkawa itu berhenti sampai di sana. Celtic tidak mengubah logonya menjadi hitam seperti klub-klub Inggris Raya lainnya.
Tak cuma itu, para suporter Celtic juga tanpa tedeng aling-aling merayakan mangkatnya Ratu Elizabeth II seperti halnya suporter Shamrock Rovers. Pada pertandingan Liga Champions menghadapi Shakhtar Donetsk, Rabu (14/9) dini hari WIB, suporter Celtic membentangkan sebuah spanduk bertuliskan "F**k the Crown". Mereka juga meneriakkan cacian saat lagu "God Save the Queen" dikumandangkan.
Bahkan semalam, ketika melawan St. Mirren di Liga Skotlandia, di tengah aplaus penghormatan untuk Elizabeth II, para suporter Celtic menyanyikan himne: if you hate the royal family, clap your hands.
Pertanyaannya, jika menengok tingkah suporternya, apakah Celtic bisa disebut sebagai klub anti-Kerajaan Inggris?
Well, jawabannya agak rumit. Celtic, sebagai sebuah institusi, sebetulnya tidak pernah memiliki masalah dengan Kerajaan Inggris atau Ratu Elizabeth II. Bahkan, Ratu Elizabeth II sendiri semasa hidupnya cukup sering hadir dalam momen-momen bersejarah The Hoops.
Saat masih bocah dulu, Ratu Elizabeth II pernah hadir di Ibrox Park, Glasgow, untuk menghadiri pertandingan final Empire Exhibition Trophy yang mempertemukan Celtic dengan Everton. Laga itu sendiri dimenangi Celtic dengan skor tipis 1-0.
Kemudian, setahun setelah Elizabeth dinobatkan sebagai Ratu Inggris, yakni pada 1953, digelarlah sebuah turnamen sepak bola yang mempertemukan empat klub terbaik Skotlandia (Aberdeen, Celtic, Hibernian, dan Rangers) serta empat klub terbaik Inggris (Arsenal, Manchester United, Newcastle United, dan Tottenham Hotspur). Turnamen ini digelar di Glasgow selama satu bulan.
Celtic keluar sebagai juara turnamen yang diberi nama Coronation Cup tersebut. Mereka sukses menumbangkan Arsenal dan Manchester United sebelum mengalahkan sesama klub Skotlandia, Hibernian, di partai puncak. Dengan keberhasilan itu, Celtic dinobatkan sebagai juara takresmi Inggris Raya.
Dua trofi juara itu, jika dilihat dari sudut pandang abad ke-21, memang tak berarti apa pun. Akan tetapi, di masa sebelum ada kompetisi antarklub Eropa yang resmi, Empire Exhibition Cup dan Coronation Cup punya prestise sangat tinggi bagi klub-klub Inggris Raya. Dua turnamen itu jadi ajang pembuktian siapa yang lebih baik di antara klub-klub Inggris dan Skotlandia.
Keberhasilan itu pun diabadikan dalam salah satu lagu rakyat milik suporter Celtic berjudul "Willie Maley". Willie Maley merupakan manajer pertama Celtic yang menangani klub dari 1897 sampai 1940. Tentu, keberhasilan menjuarai Empire Exhibition Trophy itu adalah buah dari tangan dingin Maley.
Di era modern, hubungan baik Ratu Elizabeth II dengan Celtic terlihat dalam momen Commonwealth Games 2014. Celtic Park ditunjuk sebagai lokasi upacara pembukaan dan Ratu Elizabeth II disambut baik di sana. Tak lupa, Ratu Elizabeth II juga berfoto di depan kabinet trofi milik Celtic. Bisa dibilang, kunjungan ke "kandang lawan" itu berjalan menyenangkan bagi sang ratu.
Sekali lagi, Celtic sebagai sebuah institusi tidak punya masalah apa-apa dengan Kerajaan Inggris dan Ratu Elizabeth II. Akan tetapi, ketika kita berbicara soal suporter Celtic, jelas ceritanya lain lagi. Seperti yang sudah ditunjukkan dalam pertandingan melawan Shakhtar, rasanya sah untuk berkata bahwa mereka membenci Kerajaan Inggris.
Suporter Celtic sendiri memang tidak seperti kebanyakan orang Inggris Raya. Umumnya, mereka adalah orang Irlandia beragama Katolik yang mendukung kemerdekaan penuh Irlandia dari Inggris Raya. Identitas ini bertolak belakang dengan suporter rival sekota mereka, Rangers, yang umumnya merupakan orang Skotlandia beragama Protestan yang pejah gesang ndherek Paduka Ratu atau Raja.
Pertentangan ini bisa dilihat betul dalam ajang Liga Champions pekan lalu. Di saat suporter Celtic membentangkan spanduk ofensif, suporter Rangers menampilkan koreo raksasa yang menunjukkan kesetiaan mereka terhadap Kerajaan Inggris. Bendera Union Jack, dengan siluet kepala Ratu Elizabeth II, ditampilkan di Ibrox Park oleh para suporter Rangers.
Sejak Celtic dan Rangers pertama kali bersua pada 1888, suporter Celtic dan Rangers ini sudah terlibat perseteruan akibat perbedaan identitas, kepercayaan, serta haluan politik. Perseteruan bertajuk Old Firm Derby ini dikenal keras, bahkan mematikan. Puluhan orang sudah kehilangan nyawa akibat derbi sekota ini.
Menariknya, Ratu Elizabeth II sendiri, pada 1977 pernah menghentikan rivalitas Celtic-Rangers ini meski hanya untuk satu hari. Kala itu, untuk memperingati 25 tahun bertakhtanya Elizabeth II di singgasana Kerajaan Inggris, digelarlah sebuah pertandingan sepak bola antara Glasgow XI dan Football League XI.
Glasgow XI sendiri sebenarnya merupakan perwakilan Skotlandia. Namun, karena sebagian besar pemain yang terpilih di sana berasal dari Celtic dan Rangers, nama Glasgow XI pun disepakati. Sedangkan, Football League XI berisikan pemain-pemain terbaik Liga Inggris.
Sir Kenny Dalglish yang kala itu masih memperkuat Celtic dinobatkan sebagai kapten Glasgow XI. Dia mendampingi Ratu Elizabeth II menyalami para pemain Glasgow XI satu per satu di lapangan. Seperti halnya di Empire Exhibition Trophy dan Coronation Cup, kubu Skotlandia keluar sebagai pemenang dalam laga di Hampden Park tersebut.
Ini menjadi bukti lain bagaimana Celtic tidak pernah menjalin permusuhan dengan Kerajaan Inggris. Kendati begitu, mengingat basis suporternya yang begitu keras menentang Kerajaan Inggris, Celtic mesti "bermain dua kaki". Di satu sisi mereka harus tetap menghormati kepala negara yang wafat, di sisi lain mereka wajib menjaga perasaan para suporternya. Inilah mengapa Celtic melakukan apa yang mereka lakukan sepeninggal Ratu Elizabeth II.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Nuran Wibisono