tirto.id - Selama dua hari, 29-30 Agustus, 31 proyek film dokumenter dari Asia Tenggara dipresentasikan, dibedah, dan diberi masukan dalam program Docs by the Sea. Berlokasi di Nusa Dua, Bali, program ini diselenggarakan oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) bekerja sama dengan In-Docs, serta dihadiri 142 tamu dan peserta dari 19 negara.
“Selain sebagai wadah berjejaring, kami mau mempertemukan pembuat film dengan investor, jadi bukan Bekraf yang mendanai film-film dokumenter itu,” kata Wakil Kepala Bekraf, Ricky Joseph Pesik kepada Tirto.id.
Proyek-proyek film yang masih dalam proses pengembangan ini dipresentasikan melalui trailer sepanjang beberapa menit. Para pembuatnya telah melalui workshop yang telah diselenggarakan Bekraf sejak 23 Agustus.
Henny Matalalang dari Komunitas Film Dokumenter yang berbasis di Yogyakarta menuturkan bahwa pitching mempertemukan pembuat film dengan calon pemodal. “Untuk pembuat film pemula, acara seperti ini sangat membantu. Biaya pitching kadang mahal, peserta harus bikin trailer, persiapan pra-produksi, kadang juga perlu melakukan perjalanan jauh jika acara digelar di kota lain atau luar negeri,” ujar Henny menyebut acara-acara serupa seperti IDFA di Belanda atau DMZ di Korea Selatan.
Baca juga:
- Film "#66" Wakili Indonesia di Beijing International Film Fe
- Indonesia Bawa Dua Film Pendek ke Festival Film Cannes
Ketika ditanya kemungkinan mendanai proses pra-produksi, Ricky menyatakan Bekraf akan menggelar Film Financing Expo. Program yang rencananya digelar pada November 2017 ini bertujuan mengumpulkan pembuat film untuk proses pitching. Jika lolos, mereka akan mendapatkan dana untuk pra-produksi. “Produksi bakal berlangsung di 10 objek wisata pilihan.”
Kedutaan besar Denmark, beberapa produser Eropa, serta sumber-sumber dana lain memutuskan untuk mendanai sejumlah film secara terpisah. Adapun tiga proyek telah masuk dalam seleksi Docs Port di Korea Selatan pada November ini.
Kerja sama Bekraf dan In-Docs mulai dirintis pada 2016. Dalam lawatan ke Inggris pada April 2016, Presiden Jokowi membawa serta rombongan Bekraf untuk menandai nota kesepahaman kerja sama Inggris dan Indonesia dalam bidang industri kreatif. Bekraf yang diwakili Triawan Munaf juga mengunjungi program Goodpitch yang diselenggarakan oleh In-Docs (Indonesia) dan Britdoc, sebuah yayasan yang bergerak di bidang dokumenter dan telah menyokong sekitar 60 judul produksi film.
“Program ini realisasi dari kerja sama Indonesia dan British Council,” jelas Ricky.
Tantangan Produksi Dokumenter
Kritikus film Eric Sasono menyambut baik inisiatif Bekraf. “Selama ini kita paham bagaimana posisi film dokumenter selalu berada di pinggiran,” tulisnya dalam sebuah catatan mengenai lawatan Bekraf ke Inggris tahun lalu, di mana Eric juga diundang.
Meski demikian, Eric memaparkan tiga hambatan utama yang perlu diperhatikan oleh Bekraf. Dua diantaranya perlu diperhitungkan oleh Bekraf ketika berekspektasi untuk meningkatkan jumlah produksi film, termasuk dokumenter. “Posisi film dokumenter, tulis Eric, mirip-mirip penggembira yang penting: mengangkat hal-hal yang tadinya biasa saja atau disembunyikan menjadi sesuatu yang dibicarakan orang banyak.”
Faktor kedua adalah perizinan produksi, khususnya untuk dokumenter yang dipandang bertema sensitif secara politis, masih menjadi hambatan para pembuat film. Dalam dua tahun terakhir, terdapat sejumlah kasus pencekalan atau deportasi. Pada 2015, dua orang pembuat film asal Inggris yang berencana membuat film divonis hukuman dua tahun penjara dengan dakwaan bekerja hanya dengan bekal visa turis. Neil Bonner dan Rebecca Prosser, dua warganegara Inggris tersebut, berencana membuat film tentang praktek pembajakan di Indonesia.
Pada Oktober 2015, Tom Iljas, seorang eksil Indonesia yang telah menjadi warganegara Swedia ditangkap kepolisian dan dideportasi akibat memfilmkan proses ziarah ke makam orangtuanya di Kalido, Sumatera Barat. Makam itu ternyata merupakan kuburan massal korban kekerasan politik 1965.
Maret 2017, Thomas Charles Dandois dan Marie Valentine Bourrat, dua warga Perancis dideportasi ke negara asalnya. Menurut Dandois dan Bourrat, keduanya berangkat ke Papua sebagai kru produksi film Papous La Grande aventure. Keterangan polisi menyatakan bahwa penangkapan dan deportasi dilakukan karena keduanya menggunakan visa turis alih-alih visa kerja. Kasus ini terjadi ketika pembatasan aktivitas wartawan asing di Papua mendapat sorotan publik.
Dua hal yang kerap muncul dalam kasus-kasus di atas adalah visa turis, yang digunakan oleh pihak berwenang sebagai dasar penahanan dan deportasi, serta yang tak kalah penting: keberadaan kamera.
Selain kasus-kasus yang melibatkan warganegara asing, komunitas film Indonesia sudah tidak asing dengan pembubaran acara atas desakan ormas. Maret 2016, sejumlah ormas menggeruduk Goethe Institut, Jakarta yang rencananya akan memutar Pulau Buru Tanah Air Beta, dokumenter tentang kamp konsentrasi yang didirikan pada 1969 untuk menghukum orang-orang (tertuduh) PKI. Pemutaran film yang sama di Festival Film Pelajar Purbalingga juga dibatalkan karena tekanan tekanan ormas Pemuda Pancasila.
Baca juga: Mengingat Pulau Buru, Kamp Siberia Rezim Orde Baru
Riwayat Kekerasan di Asia Tenggara
Sinema dokumenter memiliki watak publik yang membuatnya mustahil lepas dari percakapan politik, sepersonal apapun kisah yang dibangun. Banyak proyek yang dipresentasikan di Docs by the Sea mengambil bentuk lapisan personal dari pengalaman sosial. Si pembuatnya terlibat dalam suatu peristiwa yang difilmkan atau mengenal dekat subjeknya.
It wasn’t an Accident misalnya, adalah perjalanan waktu ke suatu periode di ketika militer Myanmar menggelar operasi kontrainsurgensi yang brutal di provinsi Kachin.
“Ini tentang ayah saya,” ujar sutradara Soe Moe, menjelaskan tokoh utama dalam proyeknya. Letnan Aung Win, ayah Soe Moe, terlibat dalam sebuah operasi militer di Kachin pada 1968. Salah satu peluru yang dimuntahkan ke rumah yang dijadikan persembunyian kelompok separatis Kachin Independent Army (KIA) membunuh seorang ibu muda. Bayinya selamat dan diboyong Win ke rumah sakit. Didampingi putranya Moe, kini Win mencari bayi itu.
Hingga hari ini, konflik di Kachin masih berlangsung bersamaan dengan konflik-konflik internal lainnya di sejumlah provinsi Myanmar yang melibatkan pasukan pemerintah dengan milisi-milisi lokal Karen National Liberation Army dan Karenni Army. Juli lalu, Radio Free Asia melaporkan kontak senjata di Kachin antara pasukan pemerintah dan KIA kembali terjadi.
Proyek Bani Nasution dan Yogi Asroful Fuad, A Brave Man Story, juga berangkat dari masalah personal. Udik, kakak Yogi, adalah seorang teknisi listrik sekaligus anggota ormas keagamaan yang kerap ditagih debt collector.
“Ini cerita kakak saya, dia anggota Banser pertama di kampung saya,” ungkap Yogi. Abang Yogi terlilit utang sampai-sampai rumah keluarga mereka nyaris disita. Banser di kecamatan Pulug berdiri karena acara-acara keagamaan di kampungnya membutuhkan tenaga keamanan yang lebih efektif, ketimbang memanggil Banser dari tingkat kabupaten, seperti yang lazim dilakukan warga Pulug sebelumnya. “Kami coba melihat keberadaan ormas keagamaan tidak melalui stereotip seperti yang dikenal umum. Ini akan jadi film black comedy tentang saya dan kakak saya,” tutur Yogi.
Konflik etnis dan separatisme di Myanmar serta paramiliter agamis merupakan tema penting dalam politik Myanmar dan Indonesia. Pengalaman pribadi seperti yang mau diangkat Soe Moe dan Yogi Fuad merupakan hal-hal yang kerap luput dari bingkai politik dan keamanan dalam pemberitaan media.
Lain ceritanya dengan The Apocalypse, proyek produser Tony Trimarsanto dan sutradara Arfan Sabran yang berkisah tentang generasi terakhir bissu (pemuka agama transgender) di Makassar.
“Saya tertarik dengan film ini. Ada aspek spiritual dari konsepsi tentang seksualitas yang dipaparkan dalam Apocalypse,” ucap Hussain Currimbhoy, juru program dokumenter pada Festival Film Sundance yang hadir sebagai penilai dalam Docs by the Sea.
Kisah di balik The Apocalypse adalah konsepsi tradisional lima gender dalam masyarakat Bugis, dimana Bissu dipandang sebagai tokoh adat yang dihormati masyarakat. Namun keragaman budaya itu kini tengah terancam oleh semakin kencangnya kampanye anti-LGBT yang digaungkan kelompok-kelompok konservatif serta aparat negara. Proyek Tony dan Arfan menarik pergeseran pandangan masyarakat Makassar tentang seksualitas hingga ke trauma historis pembantaian massal terhadap bissu pada 1965.
Jika jadi dirilis pada 2018, Apocalypse akan menjadi film ketiga Tony yang mengeksplorasi isu seksualitas, setelah Renita-Renita (2007) dan The Mangoes (2012). Respon publik akan jadi indikator bagaimana persepsi sosial mengenai seksualitas pinggiran mengalami perubahan yang tajam dari penerimaan hangat atas film Betty Bencong Slebor (1978) yang dimainkan oleh Benyamin Sueb ke penolakan FPI terhadap Q! Film Festival pada 2010.
Dalam konferensi pers Docs by the Sea pada 14 Agustus lalu, direktur program In-Docs Amelia Hapsari mengatakan kepada Tirto bahwa Bekraf tetap meloloskan tema pelanggaran HAM serta topik-topik yang kritis terhadap negara. “Di dua negara itu sensor masih sangat ketat meskipun dalam forum seperti ini. Akhirnya yang bisa lolos, misalnya di Singapura, hanya film dokumenter yang bersifat komersil saja," ujar Amelia membandingkan perhelatan ini dengan acara-acara serupa di Malaysia dan Singapura.
Salah satu problem penegakan hak asasi manusia di Asia Tenggara yang tengah disorot adalah perang terhadap narkoba di bawah pemerintahan Duterte yang telah berlangsung selama setahun terakhir dan merenggut 13 ribu nyawa. Dalam operasi massal yang melibatkan polisi, preman, dan paramiliter ini, mayoritas korban tewas adalah masyarakat miskin — tak sedikit di antaranya adalah korban salah tembak, yang bahkan tidak mengkonsumsi maupun mengedarkan narkoba.
Wartawan pun jadi garda depan oposisi terhadap Duterte. Belakangan Duterte mengecam media-media yang mengkritik agenda perang narkoba sebagai antek asing.
“Jurnalis-jurnalis Filipina membantu mendokumentasikan pembunuhan-pembunuhan yang terjadi pada malam hari. Tiap pagi selalu ada mayat bergelimpangan di jalan-jalan Manila,” ujar Alyx Ayn Arumpac, sutradara Aswang, dokumenter tentang perang narkoba Duterte. “Biasanya kami keluar bersama tiap malam, meskipun polisi dan kelompok vigilante tidak mengincar wartawan. Paginya, toto-foto korban pembunuhan kami muat di koran, situs, atau akun Instagram pribadi,” terang Arumpac kepada Tirto.
Baca juga: Perang Narkoba Duterte adalah Perang Melawan Orang Miskin
Kendati situasi politik di Indonesia masih terbilang demokratis dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, kian seringnya pelarangan pemutaran film dan diskusi oleh ormas dan aparat keamanan memberikan sinyal buruk untuk situasi kemerdekaan berpendapat yang mulai bersemi sejak 1998. Di sisi lain, karya yang mengangkat isu-isu yang dipandang sensitif secara politis juga makin berkembang dan mendapat tempat di banyak festival dalam maupun luar negeri.
Satu dari dua proyek Amerta yang dipresentasikan di Nusa Dua berjudul When People Dare to Ask. Disutradari oleh Steve Pillar Setiabudi, When People Dare to Ask adalah dokumenter tentang aktivisme Wiji Thukul melalui seni.
Sebelumnya Amerta telah bersentuhan dengan kisah Wiji Thukul dalam Istirahatlah Kata-Kata (2017) sebagai produser. Wiji Thukul, seorang aktivis kebudayaan dan anggota Partai Rakyat Demokratik yang terlarang di bawah Orde Baru, diduga keras menjadi korban penghilangan paksa menjelang kejatuhan Soeharto.
“Saya mau angkat sosok yang karya-karyanya melegenda, bahkan sampai dipakai oleh lawan-lawan politik. Dulu, puisi-puisi Wiji Thukul dibaca banyak orang sebagai alat perlawanan,” ujar Amerta, seorang aktivis generasi ’98, kepada Tirto.id. “Sekarang, bahkan Habib Rizieq mengutip baris ‘Hanya ada satu kata: lawan!’. Puisi juga sudah mulai digunakan oleh para elit untuk memoles kepentingan-kepentingan politik mereka.”
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti