tirto.id - Pada dasarnya, pemeringkat berusaha menghitung seberapa besar kemungkinan penerbit surat utang baik negara maupun korporasi tidak dapat memenuhi kewajibannya secara tepat waktu. Hanya saja, perhitungan yang dilakukan oleh pemeringkat terkadang rumit dan tidak mudah dipahami. Metode perhitungan yang berbeda membuat pendapat Moody’s, Fitch dan Standard and Poor’s berbeda pula. Terhadap Indonesia misalnya, Moody’s dan Fitch sudah memberikan peringkat Baa3 dan BBB-, berarti termasuk dalam kategori layak investasi. S&P, masih memberikan peringkat BB+, termasuk dalam kategori belum layak investasi. Ketiganya memberikan outlook positif, berarti terbuka peluang untuk kenaikan peringkat jika syarat-syarat sudah terpenuhi.
Pemeringkat bukanlah saran investasi. Pemeringkat diperlukan untuk membantu mengevaluasi apakah surat utang dari sebuah korporasi atau negara layak dibeli dengan segala konsekuensinya. Di sisi lain, tidak jarang pemeringkat dikecam karena dianggap tidak independen, tidak transparan dalam melakukan penilaian terhadap korporasi atau negara. Ketika krisis finansial melanda Amerika Serikat tahun 2008, peringkat Lehman Brothers masih bertahan pada AAA hingga beberapa saat sebelum akhirnya bangkrut.
Beberapa analis, ekonom juga mempertanyakan mengapa S&P belum juga menaikkan peringkat Indonesia menjadi layak investasi. “S&P berbeda, dan saya rasa mereka harus merenungi dengan serius peringkat mereka,” kata Smriti Shekar Manajer Portofolio pada NN Investment Partners seperti dikutip CNBC. “Kami berharap S&P menaikkan peringkat Indonesia menjadi layak investasi dalam waktu dekat,” kata Neeraj Seth Kepala Kredit Kawasan Asia pada BlackRock yang mengelola dana sebesar 5,1 triliun dolar AS. Menurut dia, Indonesia memiliki rekam jejak yang kuat dalam menjalankan disiplin fiskal dan pemerintah telah menunjukkan komitmen kuat terhadap reformasi melalui rasionalisasi subsidi bahan bakar dan berbagai paket kebijakan sejak September 2015 lalu.
Menko Perekonomian Darmin Nasution yang sudah bertemu dengan tim dari S&P mengatakan tidak ada alasan bagi S&P untuk tidak menaikkan peringkat Indonesia. Tahun lalu, S&P menyoroti masalah fiskal dan reformasi struktural Indonesia. Sementara tahun ini, S&P lebih banyak melihat apa yang sudah dilakukan pemerintah.
Namun demikian, Rohot Gard, Strategis Surat Utang dan Mata Uang Kawasan Asia pada Bank of America Merrill Lynch mengatakan, dia memperkirakan S&P belum akan menaikkan peringkat kredit Indonesia tahun ini karena ada kenaikan kredit bermasalah. Menurut data dari Bank Indonesia, kredit bermasalah (non performing loan-NPL) mencapai 3,1 persen pada Januari 2017. Angka ini naik 2,93 persen dari Desember 2016 dan 2,49 persen dari Desember 2015.
Berbeda Parameter
Hasil kajian pemeringkat kredit dapat berbeda satu sama lain. Metodologi dan parameter yang digunakan juga tidak persis sama. Menurut kajian dari IMF, Sovereign Credit Rating Methodology: An Evaluation oleh Ashok Vir Bhatia disebutkan bahwa , forum utama dari proses pemeringkatan kredit adalah tim analisis. Ada ketua tim yang merupakan analis utama ditunjang oleh beberapa analis lain yang berkompeten dalam industri atau bidang masing-masing. Apa yang dibicarakan dalam tim sangat rahasia. Dalam tim ini, ada perdebatan mengenai hal itu. Di akhir proses analisis, peringkat diputuskan dengan cara pengambilan suara dan hasil dari pemungutan suara itu mengikat. Setelah ada keputusan, laporan itu dipublikasikan.
Dalam menganalisis, tim tersebut juga membandingkan negara yang diperingkat dengan negara lain yang memiliki besaran ekonomi hampir sama. Misalnya saja Argentina diperbandingkan dengan Indonesia atau Turki dengan Pakistan. Tim itu juga terkadang pergi mengunjungi dalam enam atau 24 bulan satu kali. Kunjungan tergantung pada gejolak dan seberapa pentingnya peringkat tersebut. Tim menemui beberapa pihak seperti bank sentral, menteri keuangan dan menteri lain juga beberapa perwakilan dari sektor swasta, akademisi, media dan lawan politik pemerintah.
Dalam papernya Credit Rating Agencies and Their Potential Impact on Developing Countries, Marwan Elkhoury mengatakan, dalam menganalisis, pemeringkat menggunakan baik perhitungan kualitatif maupun kuantitatif. Belakangan, ada kecenderungan pemeringkat lebih banyak menggunakan model statistik kuantitatif berdasarkan data publikasi.
Tujuan pemeringkatan ini adalah untuk mengukur risiko bahwa sebuah pemerintahan mungkin akan mengalami gagal bayar atas kewajibannya dalam mata uang asing ataupun lokal. Tujuan tersebut memerlukan kemampuan dan kemauan untuk membayar kembali utang mereka dengan tepat waktu.
Ukuran kunci dalam model risiko kredit adalah ukuran kemungkinan gagal bayar (probability default/PD) tetapi eksposur juga ditentukan oleh perkiraan waktu terjadinya gagal bayar dan oleh recovery rate (RE) setelah terjadi gagal bayar.
Pemeringkat S&P hanya memotret probabilitas di depan setelah terjadi gagal bayar. Mereka tidak memberikan penilaian terhadap perkiraan terjadinya kemungkinan gagal bayar atau resolusi gagal bayar dan nilai pengembaliannya. Sebaliknya, Moody’s lebih fokus pada perkiraan kerugian (expected loss/EP) juga perkiraan tingkat pengembalian (recovery rate/RE) yang merupakan perhitungan dari PD dan perkiraan RE. Sehingga dapat dikatakan EL=PD(1-RE). Fitch juga fokus pada PD dan RE. Pemeringkat ini terlihat lebih eksplisit memperlihatkan bahwa mereka memiliki karakter campuran dalam menganalisa karena bersikap melihat masa depan dan waspada terhadap kemungkinan putusnya kelangsungan antara rekam jejak masa lalu dengan tren di masa depan.
Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam menganalisis. Termasuk ketahanan fiskal seperti komposisi utang publik dan utang pemeritah dan biaya utang. Selain itu, ada pula kekuatan ekonomi yang dilihat dari produk domestik bruto per kapita, pertumbuhan ekonomi dan inflasi, kekuatan institusional seperti tata kelola dan penegakan hukum, serta rezim moneter, seperti fleksibilitas mata uang, status cadangan devisa serta faktor lain.
Elkhoury mengakui, tidak mudah mengidentifikasi hubungan antara kriteria yang dipublikasikan pemeringkat dengan peringkat aktualnya. Penyebabnya antara lain karena beberapa kriteria tersebut digunakan bukan secara kuantitatif tetapi kualitatif. Analisis variabel saling terkait dan bobotnya tidak tetap.
Pemeringkat kerap dicela ketika terjadi krisis. Mereka dianggap tidak dapat memberikan peringatan awal untuk menghadapi krisis. Setelah terjadi krisis utang di Eropa, beberapa pemeringkat mengubah metodologinya.
Marlene Amstad dan Frank Packer mengatakan, pemeringkat mengubah metodologinya setelah krisis, menjadi lebih rinci dan lebih merasionalkan faktor yang menjadi pendorong keputusan akhir. Pemeringkat jadi lebih tergantung pada input kualitatif, sebagai upaya untuk membuat peringkat menjadi lebih transparan.
Pada tahun 2008, Moody’s memperkenalkan metodologi yang memasukkan bobot lebih besar pada faktor-faktor yang dapat dikuantifikasikan. Pada 2011, S&P memasukkan beberapa faktor kuantifikasi ke dalam proses pemeringkatannya. Fitch pun saat ini menggunakan model pemeringkatan pemerintah untuk peringkat utang dalam mata uang asing berdasarkan pada variabel di 19 negara yang dapat memberikan patokan untuk diskusi pemeringkatan.
Walaupun demikian, metodologi tersebut masih menyisakan ruang untuk penilaian kualitatif. Setidaknya empat faktor risiko tampak dan menjadi lebih penting pada metodologi tersebut, sementara satu tidak digunakan lagi.
Perbedaan rezim moneter lebih menjadi fokus. Beberapa negara yang berada pada satu kesatuan kebijakan moneter saat ini dianggap memiliki fleksibilitas terbatas ketimbang negara yang kebijakan moneternya independen. Selain itu, mereka juga memberikan perhatian lebih pada internasionaliasi mata uang, siklus finansial, risiko kejadian dan pertumbuhan ekonomi.
Karena pemeringkat menggunakan banyak sekali indikator, upaya untuk menjelaskan bahwa peringkat hanya berdasarkan pada kekuatan fiskal semata dapat saja menjadi salah. Bobot langsung dari kekuatan fiskal pada umumnya hanya sepertiga saja. Jadi saat ini faktor yang ada lebih banyak lagi.
Apapun indikator dan metodologi yang digunakan S&P, kita semua berharap proses tersebut dilakukan secara transparan dan memiliki kredibilitas tinggi. Jika memang Indonesia sudah layak masuk ke radar investasi, mengapa harus ditunda lagi.
======
Baca juga artikel tentang pemeringkatan berikut:
Penulis: Yan Chandra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti