tirto.id - Peraturan dan Undang-Undang tentang wajib pajak telah ditetapkan, meski begitu sebagian dari masyarakat belum melaksanakannya dengan benar.
Hal tersebut terjadi karena berbagai permasalahan yang cukup beragam, mulai dari masyarakat yang belum paham apa itu pajak, belum mengerti barang yang dikenakan pajak, hingga cara menghitung pajak.
Dilansir dari klikpajak, barang kena pajak adalah barang berwujud, yang menurut sifatnya berupa barang bergerak atau tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Barang Kena Pajak terdiri dari:
- Barang yang berwujud: mobil, rumah, sepeda motor, alat kesehatan dan lain-lain.
- Barang yang tidak berwujud: hak paten, hak cipta, merk dagang dan lain-lain.
- Barang hasil pertambangan atau pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. Misalnya minyak mentah, gas bumi, pasir, dll.
- Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Hal ini dikarenakan apabila barang dikenakan PPN, akan menambah beban hidup masyarakat. Misalnya beras, jagung, garam, dll.
- Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya yang dikonsumsi di tempat atau tidak, dan tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering.
- Uang, emas batangan, dan surat berharga. Hal ini dikarenakan nilai nominal dan nilai fisiknya berbeda. Apalagi dibandingkan dengan nilai instrinsiknya. Emas perhiasan tetap dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Ia berharap agar dampaknya dapat dirasakan secara merata, alih-alih berpotensi merugikan sektor usaha lainnya.
Lalu bagaimana sebenarnya cara menghitung pajak kendaraan?
Laman klikpajak mengilustrasikan perhitungan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) seperti contoh berikut ini:
Rumus: Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) x koefisien x tarif pajak
- NJKB
- Koefisien
- Tarif pajak progresif
- Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ)
Dilansir dari Auto2000, pajak kendaraan bersifat progresif. Artinya, perhitungan besar biaya yang dibayarkan akan dilihat berdasarkan urutan kepemilikan, yakni kendaraan pertama, kedua, dan seterusnya.
Sesuai dengan informasi yang dihimpun dari bprd.jakarta.go.id, kendaraan pertama akan dikenakan pajak sebesar 2%, kendaraan kedua 2.5%, dan kendaraan ketiga +0.5%. Penambahan 0.5% ini juga berlaku untuk kendaraan keempat dan seterusnya.
Berikut adalah contoh perhitungan pajak progresif kendaraan:
Pak Kelik memiliki 5 buah kendaraan bermotor, terdiri dari 3 mobil 2400 cc dan 2 motor 250 cc. Kepemilikan dari kelima kendaraan tersebut berbeda-beda, untuk mobil kepemilikan pertama ada 1, kepemilikan kedua ada 1 dan kepemilikan ketiga ada 1.
Artinya, ketiga mobil tersebut tarif pajaknya berbeda-beda pula, yakni 2%, 2,5%, dan 3%. Sedangkan kepemilikan motor merupakan motor pertama dan atas nama pribadi Pak Kelik dengan tarif pajaknya 2%.
Dari STNK mobil tertulis PKB mobil sebesar Rp5.000.000. Lalu, SWDKLLJ sebesar Rp140.000. Untuk motor, PKB yang tertulis di STNK sebesar Rp300.000 dan SWDKLLJ sebesar Rp80.000.
Mobil: NJKB = (PKB/2, 2.5, 3) x 100 = (Rp5.000.000) x 100 = Rp500.000.000
Motor: NJKB = (PKB/2) x 100 = (Rp500.000) x 100 = Rp50.000.000
Maka, pajak progresif tiap kendaraan yang dimiliki Pak Kelik adalah:
Perhitungan Pajak Mobil
Mobil Pertama
- PKB: Rp500.000.000 x 2% = Rp10.000.000
- SWDKLLJ = Rp140.000 (+)
- Pajak = Rp10.140.000
Mobil Kedua
- PKB: Rp500.000.000 x 2,5% = Rp12.500.000
- SWDKLLJ = Rp140.000 (+)
- Pajak: Rp12.500.000 + Rp500.000 = Rp12.640.000
Mobil Ketiga
- PKB: Rp500.000.000 x 3% = Rp15.000.000
- SWDKLLJ = Rp140.000 (+)
- Pajak: Rp15.000.000 + Rp500.000 = Rp15.140.000
Perhitungan Pajak Motor
Motor 1
- PKB: Rp50.000.000 x 2% = Rp1.000.000
- SWDKLLJ = Rp80.000 (+)
- Pajak: Rp1.000.000 + Rp80.000 = Rp1.080.000
Motor 2
- PKB: Rp50.000.000 x 2% = Rp1.000.000
- SWDKLLJ = Rp80.000 (+)
- Pajak: Rp1.000.000 + Rp80.000 = Rp1.080.000
Penulis: Ita Kunnisa Aniyavi
Editor: Dhita Koesno