tirto.id - Rabu, 14 November 2018, majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengetuk palu: menerima perjanjian damai masa penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) PT Internux, produsen BOLT serta cicit Grup Lippo. Artinya, anak usaha PT First Media Tbk., ini selamat dari kepailitan.
“Dalam laporan hakim pengawas, kami tidak menemukan ada alasan untuk menolak homologasi sebagaimana ditentukan Pasal 285 ayat (2) UU 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Sehingga, rencana perdamaian wajib disahkan,” kata Ketua Majelis Hakim Abdul Kohar. (Dalam KBBI, homologasi adalahpengesahan oleh hakim atas persetujuan antara debitur dan kreditur untuk mengakhiri kepailitan.)
Namun, tak semua kreditur senang atas putusan itu.
Ada 12 kreditur menolak proposal perdamaian dari Internux. Meski begitu, mereka tak bisa apa-apa sebab kalah suara. Ada lebih banyak kreditur yang setuju atas putusan tersebut.
Dalam proses PKPU, PT Internux punya 276 kreditur, terdiri dari 2 kreditur separatis dan 274 kreditur konkuren. Kreditur separatis adalah mereka yang memegang jaminan, sedangkan konkuren tidak. Total utang Internux kepada para kreditur mencapai Rp4,72 triliun.
Jumlah kreditur memang tampak gembung, tapi sebagian besar—yakni 224 kreditur—adalah kreditur perorangan, dengan total utang hanya Rp135,3 juta. Selebihnya, 51 kreditur perusahaan dan 1 kreditur dari pemerintah.
Dengan utang sebesar itu dan jumlah kreditur sebanyak itu, tak butuh waktu lama bagi Internux untuk mencapai perdamaian dalam PKPU. Cukup sekali ajukan proposal. Voting. Damai. Selesai.
Sejak putusan permohonan PKPU dibacakan pada 17 September 2018, Internux hanya butuh 43 hari untuk mencapai perdamaian. Tidak ada perpanjangan masa PKPU untuk perbaikan proposal; satu hal yang lazim jika proposal ditolak banyak kreditur.
Internux tak membutuhkan itu. Sebab, mayoritas kreditur sudah setuju dengan apa yang ditawarkan. Padahal, sebagian kreditur menilai proposal itu mengada-ada sebab Internux membuat batas maksimal pembayaran utang hingga 360 bulan atau 30 tahun.
Hal begitu mungkin sekali terjadi sebab mayoritas kreditur memiliki afiliasi dengan First Media, induk Internux, atau bahkan grup besarnya, Lippo.
Dalam penelusuran Tirto, ada 17 kreditur yang jelas sekali terafiliasi dengan Grup Lippo. Ke-17 kreditur ini saja sudah menguasai 70 persen hak suara. Penentuan hak suara berdasarkan total tagihan: semakin besar tagihan, semakin besar hak suara.
Maka, semua kreditur yang terafiliasi dengan Grup Lippo itu setuju atas proposal perdamaian. Total, mereka mengisi 86 persen hak suara dari kreditur yang menyetujui proposal perdamaian.
Salah satu kreditur yang terafiliasi dengan Grup Lippo adalah PT Prima Wira Utama (PWU). Jumlah tagihannya paling besar: mencapai Rp1,44 triliun atau 30,5 persen dari total utang Internux dalam PKPU.
PWU adalah anak usaha First Media yang baru diakuisisi pada Desember 2014. Ia mengembangkan bisnis penguat sinyal dan infrastruktur Wi-fi.
Setiap tahun, Kementerian Komunikasi dan Informatika menerima laporan tahunan dari Internux. Kementerian heran mengapa tiba-tiba dalam proses PKPU ada tagihan dari PWU, sementara dalam laporan keuangan yang pernah diterima Kominfo, sejak 2016, tidak pernah tercantum bahwa Internux punya utang sebesar itu kepada satu perusahaan.
“Tagihan sebesar Rp1,4 triliun itu enggak pernah terlihat sebenarnya dalam data laporan keuangan Internux,” ujar Fauzan Priyadhani, Kepala Hukum Ditjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika dari Kominfo.
"Tiba-tiba muncul ketika PKPU, Internux punya utang satu triliun lebih kepada PWU," tambah Fauzan.
Pihak Internux tidak menjawab ketika ditanya soal ini. Tim humas Internux, Dumma Grace, meminta reporter Tirto mengirim pertanyaan lewat surat elektronik. Namun, pertanyaan itu tak pernah dibalas sampai laporan ini dirilis.
Ketika kami bertanya kepada Sarmauli Simangunsong, kuasa hukum Internux, alih-alih memeriksa catatan dan dokumen, dia hanya bilang “lupa”.
Siasat Internux Sebelum PKPU
Bagaimana perusahaan swasta yang berutang lebih dari Rp4 triliun kepada ratusan kreditur bisa lolos dari pailit lewat jalur PKPU?
Kisahnya bermula dari permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) Internux yang diajukan oleh dua kreditur: PT Equasel Selaras dan PT Intiusaha Solusindo. Mereka mendaftarkannya ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 20 Agustus 2018.
Semula Internux tak pernah punya utang kepada dua perusahaan itu. Namun, kurang dari sebulan sebelum permohonan PKPU, keduanya mengalihkan piutang dua kreditur Internux lain.
Pada 27 Juli, PT Equasel membeli piutang PT Cursor Media lewat perjanjian pengalihan piutang (cessie). Total kontrak perjanjian jasa iklan Bolt 4G antara Internux dan Cursor Media sebesar Rp5,01 miliar dan sudah jatuh tempo sejak September 2017.
Setakat tiga hari, pengalihan piutang terjadi dari PT Nusapro Telemedia Persada ke PT Intiusaha Solusindo senilai Rp923,5 miliar. Barulah pada 20 Agustus, keduanya mengajukan permohonan PKPU.
Tirto menemukan fakta dua perusahaan ini punya hubungan erat dengan Internux. Keduanya dikendalikan dan dikelola oleh keluarga Dalimartha.
Keluarga Dalimartha beberapa kali mewakili Lippo dalam pelbagai proses hukum. Felix Dalimartha sebagai presiden direktur, George Riady Dalimartha sebagai direktur, dan Andrew Dalimartha sebagai komisaris.
Felix Dalimartha adalah pengacara di Kantor Hukum Dalimartha and Partners. Ia kerap mewakili Lippo dalam beberapa perkara. Salah satu pengacara, Stephanus Randy, menyebutkan Dalimartha and Partners adalah bagian dari Grup Lippo dalam laman profil LinkedIn dia.
George Riady Dalimartha—anak laki-laki Felix—adalah rekanan pendiri RnD Partnership, firma hukum yang sering mewakili Lippo. Situs resmi RnD menyatakan telah membantu Lippo dalam beberapa proses akuisisi properti, lahan, atau perusahaan.
Equasel Selaras dan Intiusaha Solusindo mengubah kepemilikan pada Desember 2017. Sebelum itu, jajaran pemilik saham kedua perusahaan adalah para petinggi dan komisaris di perusahaan-perusahaan milik Lippo.
Sebelum 4 Desember 2017, Laurensia Adi tercatat sebagai pemegang saham Equasel Selaras. Laurensia adalah komisaris independen di PT Multipolar Tbk.,—perusahaan jasa teknologi dan informasi di bawah payung Grup Lippo. Secara tidak langsung, atau lewat beberapa perusahaan holding, Laurensia memiliki 99,7 persen saham di Equasel (Lihat bagan di bawah).
Selain itu, per 29 Desember 2017, Mas Agoes Ismail Ning tercatat sebagai Presiden Komisaris Internux. Lewat beberapa perusahaan holding, ia juga memiliki 92,24 persen saham Intiusaha Solusindo (Lihat bagan di bawah).
Dalam proses PKPU, seluruh kreditur akan terikat perjanjian perdamaian yang sudah ditetapkan pengadilan, betapapun mereka tak setuju pada skema yang dibuat debitur.
Skema itu tertuang pada proposal perdamaian. Berisi rencana debitur di masa depan dan bagaimana utang-utang itu akan diselesaikan.
Jika proposal disepakati dan debitur gagal membayar utang sesuai waktu yang tertuang dalam kesepakatan, para kreditur bisa mengajukan pembatalan perdamaian di pengadilan dan debitur akan dinyatakan pailit.
Memastikan mayoritas kreditur berpihak pada debitur adalah cara paling ampuh dalam proses PKPU. Hal itu membuat debitur bisa mengatur skema pembayaran utang sesukanya. Sebab, bagi yang tidak setuju, mau tidak mau harus ikut suara mayoritas.
Dan, bila mayoritas kreditur berada di bawah satu payung, dalam hal ini Grup Lippo untuk kasus Internux, maka mayoritas kreditur inilah yang akan setuju pada proposal perdamaian.
Pihak Internux sendiri bungkam saat reporter Tirto bertanya soal siasat produsen BOLT itu mengamankan langkah proposal perdamaian sebelum permohonan PKPU diajukan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Kembali ke awal. Ada 12 kreditur yang menolak proposal perdamaian dari Internux. Salah satunya adalah PT Indosat Tbk., di mana Internux berutang Rp69,46 miliar.
Setelah putusan PKPU itu, Hendry Muliana Hendrawan, kuasa hukum PT Indosat, menjawab getir: “Kami menolak, tetapi [telah] disahkan oleh majelis hakim. Kami mau omong apa?”
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Fahri Salam