tirto.id - Raungan luar biasa menggema di Yekaterinburg Arena usai Swedia menang telak 3-0 atas Meksiko pada Rabu lalu (27/6/18). Keceriaan itu justru diperlihatkan para pendukung Meksiko yang kalah. Mereka memompa tinju mereka ke langit dan memeluk satu sama lain dengan erat.
Euforia ini tak ada hubungannya dengan apa yang terjadi di sana. Sebaliknya, para fans bereaksi terhadap peristiwa yang berlangsung 600 mil jauhnya, di Kazan, saat Korea Selatan mengalahkan Jerman dengan skor 2-0. Kemenangan Korea membikin Meksiko tetap lolos ke babak 16 besar.
Kegembiraan terbesar terjadi di Mexico City, tepatnya di alun-alun Zócalo, tempat ribuan orang sedang nonton bareng di alun-alun pusat kota. Usai pertandingan, beberapa orang Meksiko bergegas ke kedutaan Korea Selatan untuk mengucapkan terima kasih dan merayakannya bersama Dubes Korsel, Han Byoung-jin, yang dibopong dan dilempar ke udara.
“Coreano! Hermano! Ya eres mexicano!” ucapan itu terdengar berkali-kali, seperti digambarkan New York Times. Artinya kira-kira: “Saudara Korea! Sekarang kamu adalah orang Meksiko! ”
Sehari kemudian, gol dilesakkan gelandang Swiss, Blerrim Dzemali ke gawang Kosta Rika pada menit 31 disambut sukacita fans Meksiko. Pada waktu bersamaan di tempat berbeda, Brasil masih bermain imbang 0-0 melawan Serbia. Hasil sementara ini membuat Swiss ada di pemuncak grup E, sedangkan Brasil pada posisi runner-up.
Sialnya, lima menit usai gol Dzemali, di Spartak Stadium, Paulinho membuat Brasil unggul 1-0. Klasemen pun berubah. Hingga pertandingan berakhir, klasemen masih sama: Brasil menjadi pemuncak grup, Swiss di urutan kedua.
Hasil di grup E disambut kemuraman di Meksiko City. Pada babak 16 besar mau tak mau Los Tricolores akan berjumpa Brasil - raksasa yang dicemaskan akan memperpanjang kutukan di Piala Dunia.
Dalam tujuh gelaran Piala Dunia terakhir sejak 1994 Meksiko selalu berturut-turut lolos dari fase grup. Tak ada negara lain selain Meksiko dan Brasil yang bisa menyamai rekor baik ini. Namun apesnya, berbeda dengan Brasil, Meksiko selalu mentok hingga babak 16 besar.
Meksiko seolah ditakdirkan tak akan lagi pernah lagi melakoni quinto partido (pertandingan kelima, setara dengan tempat di perempat final). Kali terakhir Meksiko lolos ke perempatfinal terjadi pada Piala Dunia 1986. Penyebab utama kegagalan ini karena Meksiko selalu bertemu tim kuat pada babak 16 besar, mulai dari Jerman (1998), Argentina (2006 dan 2010), hingga Belanda (2014). Karena itulah, saat jadwal mempertemukan mereka dengan Brasil pada babak 16 besar, ketakutan mengulang nasib buruk itu kembali membayang.
Secara head to head dari tiga pertemuan terakhir, Brasil memang ada di atas angin: menang dua kali dan seri satu kali serta tak pernah sama sekali kebobolan.
Meski begitu jika merujuk linimasa lebih panjang, sejak 2000 misalnya, Meksiko lebih unggul. Dari 14 pertandingan melawan Selecao, enam di antaranya berakhir dengan kemenangan bagi Meksiko, tiga imbang dan lima kalah. Salah satu pertandingan besar terjadi saat mereka menekuk Brasil di final Olimpiade 2012 London dan menahan imbang 0-0 pada fase grup Piala Dunia 2014 lalu.
Dibandingkan tim-tim lain yang lolos di babak 16 besar, lima kemenangan dalam head to head melawan Brasil ini membuat Meksiko justru dominan.
Namun statistik di masa lampau itu hanyalah angka-angka semata, bukan kepastian yang niscaya terjadi di masa depan seperti diucap Andreas Guardado bari-baru ini. "Kami akan melakukan segala kemungkinan karena pada akhirnya kami tahu hal itu (head to head bagus melawan Brasil) hanyalah statistik dan ketika pertandingan dimulai, statistik tidak dihitung," katanya.
"Secara statistik kami tidak pernah mengalahkan Jerman sebelumnya di Piala Dunia, namun kami ternyata mendapatkannya," katanya lagi. "Itulah yang kami yakini. Kami datang ke sini untuk membuat sejarah dan itu ada di tangan kami."
"Mengapa kami tidak bisa seperti Yunani di Euro?" Kata Javier Hernandez, merujuk kemenangan mengejutkan Yunani pada Piala Eropa 2004. “Mengapa kami tidak bisa seperti Leicester (City) di Liga Premier (Inggris)? Kami tidak ingin membatasi diri sendiri," ucapnya penuh optimisme.
Meksiko yang akan Kembali Bermain Sabar
Pelatih Juan Carlos Osorio mengidolakan dua manajer hebat yaitu Marcelo Bielsa dan Pep Guardiola, dua orang manajer yang dihubungkan oleh sejumlah kesamaan: counter-pressing, garis pertahanan tinggi, menekan lawan sedini mungkin. Dari keduanya, Osoria belajar secara terbalik: bukan cara menguasai bola sebanyak-banyaknya, namun cara menghadapi tim-tim yang agresif.
Meksiko tahu cara mengalahkan tim yang all-out menyerang dan menitikberatkan pada penguasaan bola dengan kolektivitas solid. Itu sebabnya El Tri bisa mengalahkan Jerman 1-0 dan menahan imbang Belgia 3-3 dalam pertandingan persahabatan.
Namun sebaliknya, saat kondisi itu dibalik dan mereka menghadapi lawan yang mengabaikan soal itu, Meksiko pun kebingungan. Terlihat saat Meksiko melawan Honduras, Jamaika, Denmark di laga ujicoba dan Swedia baru-baru ini. Hal serupa kembali terjadi saat menghadapi tim seperti Swedia, yang tidak menitikberatkan pada penguasaan bola, dan bermain dengan memanfaatkan keunggulan fisik untuk mengalahkan lawan, Osorio bingung.
Melawan Swedia, Meksiko tampil begitu dominan: menguasai penguasaan bola hampir 65 persen, melakukan 502 umpan yang 83 persennya atau 421 kali adalah umpan pendek, memberikan 22 tembakan dan 22 umpan silang ke kotak penalti. Dominasi semacam ini tak mereka munculkan saat menghadapi Jerman dan Korea.
Setelah kekalahan melawan Swedia, Osorio ditanya wartawan apakah dia lebih suka bermain cantik namun kalah atau bermain jelek dan menang. Ia tidak segera menjawab. "Biarkan aku berpikir," katanya.
"Saya mencoba menjadi seseorang yang polos dan berpikir kita harus memainkan sepakbola sesuai karakter permainan sendiri. Tetapi mengingat permainan yang sangat bagus sebelumnya, saya memutuskan bermain dengan struktur yang sama," katanya kemudian.
Namun faktanya, Swedia tak bermain terbuka. "[Dari hasil laga melawan Swedia] Saya pelajari bahwa kita harus menemukan solusi dan jalan lain. [Melawan Swedia] Ini sulit. Biasanya kami tidak melakukan ini," Kata Osorio yang menyebut Swedia sangat kuat di udara dan bagus dalam bertahan.
Secara diplomatis ia menjawab pertanyaan wartawan soal sepakbola pragmatis itu. Ia enggan memilih dua pilihan yang disodorkan. Menurutnya, hasil akhir memang lebih penting, tetapi kalah dengan memainkan karakter diri sendiri pun bukan aib.
Sebab kata dia, sepakbola adalah permainan yang selalu memberi Anda peluang untuk menang. “Ini bukan basket atau rugbi atau baseball karena dengan statistik Anda dapat menebak siapa pemenangnya. Dalam sepakbola, Anda hanya perlu mencetak satu dan kemudian bertahan dan dengan gol itu Anda bisa menang. Sepakbola memberi kejutan semacam ini kepada orang-orang yang tidak memahaminya," kata Osorio.
Meksiko setidaknya bisa sedikit nyaman menyikapi kenyataan bahwa Brasil akan tampil all-out menghajar lini pertahanan. Terlebih ini adalah fase gugur, tak ada hasil imbang, pertandingan ditentukan siapa yang kalah dan menang.
Melawan Brasil, Meksiko kehilangan bek Hector Moreno akibat akumulasi kartu kuning. Penggantinya mungkin Hugo Ayala yang ditandemkan dengan Calos Salcedo. Lini belakang, Meksiko akan amat tergantung pada dua pivot Hector Hererra dan Andreas Guardado. Herrera adalah pemain kedua terbanyak yang membuat tekel di Piala Dunia kali ini, rataannya 4,7 tekel per laga.
Jika Hererra ditugaskan untuk bertahan, maka Guardado yang bermain di area kiri punya peran sebagai pusat transisi dari bertahan ke menyerang. Hampir 55 persen serangan Meksiko bukan di sayap kanan atau tengah, namun ada di sisi kiri, memanfaatkan kombinasi segitiga Guardado, sayap kiri Hirving Lozano dan full-back kiri Jesus Gallardo, .
Menarik mencermati statistik full-back kiri Meksiko ini. Gallardo merupakan pemain kedua paling banyak melakukan intersepsi dan turn over, rataan intersep yang ia lakukan mencapai 3,3 per laga. Padahal intersepsi biasanya melekat pada gelandang bertahan, misalnya Kante (Perancis) dan Jose Gimenez (uruguay), yang untuk sementara menduduki interseptor terbanyak di Piala Dunia kali ini. Statistik Gallardo dalam soal intersepsi ini memperlihatkan bahwa ia aktif naik bukan hanya untuk menyerang namun juga dalam bertahan.
Namun kekuatan di sisi sayap ini tak akan efektif jika barisan penyerangan Meksiko, seperti Miguel Layun, Chicharito dan Carlos Vela, tak berdisposisi untuk membuka ruang. Ketika menyerang balik, Brasil mesti mewaspadai pergerakan pemain Meksiko lain sebab jika menilik dari statistik jumlah gol, assist, tembakan ke arah gawang, ketiga pemain ini (ditambah Lozano) hampir merata. Itu menandakan serangan Meksiko tak mengandalkan satu-dua orang pemain saja.
Kesulitan Brasil saat Menghadapi Lawan yang Defensif
Brasil cukup beruntung bisa menghempaskan Serbia 2-0 pada laga penentuan. Serbia kala itu memang bermain terbuka dan all-out menyerang karena membutuhkan tiga poin untuk lolos. Dan cara bermain Serbia ini memudahkan kinerja Brasil.
Brasil cenderung akan kesulitan saat menghadapi tim-tim yang bertahan. Selain Swiss, Kosta Rika pun menyulitkan mereka. Brasil memang menang atas Kosta Rika, namun mesti diingat dua gol dicetak Brasil terjadi di masa injury time. Itu artinya selama 90 menit, mereka mentok menghadapi pertahanan Kosta Rika yang bertahan dalam skema 5-4-1. Cara bertahan Kosta Rika sukses menutup segala jenis ruang yang dibutuhkan Brasil untuk menyerang dari sayap dan bermain melebar.
Saat melawan Kosta Rika, pelatih Brasil, Tite bahkan mendorong dua full-back Marcelo dan Fagner naik setinggi mungkin hingga sepertiga akhir lapangan. Ini dilakukan agar penyerang sayap macam Neymar dan Willian bisa tetap meregangkan sayap Kosta Rika dalam pengaturan 5-4-1.
Kerenggangan ini membuka ruang untuk Philippe Coutinho dan Paulinho naik membantu Gabriel Jesus, mengelabui bek-bek Kosta Rika hingga terkadang membuat situasi 3vs4 (Coutinho, Paulinho, Jesus melawan tiga bek plus satu gelandang Kosta Rika).
Masalahnya, pada laga melawan Meksiko ini, Tite kemungkinan tak bisa menurunkan Marcelo. Bek Real Madrid ini tertatih-tatih meninggalkan lapangan saat Brasil mengalahkan Serbia. Ia digantikan Filipe Luis di menit ke-10 akibat mengalami cedera punggung.
Marcelo adalah tumpuan Brasil, hampir 44 persen serangan Brasil berhulu dari sektor kiri di posisi Marcelo. Faktor Marcelo membuat Neymar dan Coutinho bisa bergerak lebih leluasa. Saat Marcelo overlap, setidaknya ada satu pemain lawan, entah itu full-back atau gelandang, akan terpancing menjaga dia.
Pembagian kerja di sektor kiri kira-kira begini: Neymar akan mengeksploitasi fullback kanan dan bek tengah lawan, lalu Coutinho muncul di lini kedua, sembari mengontrol umpan-umpan pendek Brasil dari tengah ke depan, sedangkan Marcelo hadir untuk memancing lawan bertahan melebar.
Namun melawan Swiss, taktik ini mampet. Langkah maju Marcelo menjadi terbatas, sebab pelatih Swiss, Vladimir Petkovic, menempatkan Xerdan Shaqiri di posisi yang tinggi. Keengganan Neymar untuk turun, ditambah peran kompleks Coutinho, yang juga harus membantu sektor tengah dan bergeser ke kanan, membuat posisi Marcelo dilematis saat menghadapi serangan balik. Tite cukup bijak saat ia mulai memasukkan Roberto Firmino dan Renato Augusto yang membuat penampilan Brasil tampak lebih seimbang.
Akan berbahaya jika Meksiko menerapkan pola yang sama seperti Swiss saat Marcelo absen. Untungnya, titik berat kekuatan Meksiko ada di sayap kiri, bukan kanan. Sisi kanan Meksiko, Miguel Layun, tak seberbahaya Lozano di kiri yang punya kecepatan. Faktor umur menjadi sebab. Layun saat ini sudah memasuki kepala tiga. Selain itu, naluri bertahan Layun lebih tinggi ketimbang menyerang di klubnya, FC Porto. Layun malah biasa bermain sebagai full-back kanan, bukan penyerang sayap.
Tite mengungkapkan ia sudah memiliki analisis secara rinci untku menaklukan Meksiko. “Kami akan mulai belajar di pesawat (kembali ke markas kam),” kata asisten Tite, Cleber Xavier, dikutip dari Reuters. “Mereka adalah rival kuat yang mengalahkan Jerman dan Korea dan lolos dengan mengorbankan Jerman. Masalahnya tinggal mengetahui Meksiko dari luar sehingga kami dapat menjelaskan harapan kami.”
Editor: Zen RS