Menuju konten utama

Cara Bapanas Mengatasi Harga Gula Mahal: Naikkan Harga Acuan

Bapanas menjelaskan kenaikan harga gula konsumsi itu juga bertujuan untuk menjaga ketersediaan, stok, pasokan dan harga gula konsumsi.

Cara Bapanas Mengatasi Harga Gula Mahal: Naikkan Harga Acuan
Pekerja melakukan bongkar muat gula kristal putih (GKP) di gudang penyimpanan milik PG. Rejoso Manis Indo, Blitar, Jawa Timur, Selasa (30/1/2024). ANTARA FOTO/Irfan Anshori/rwa.

tirto.id - Badan Pangan Nasional (Bapanas) secara diam-diam menyesuaikan Harga Acuan Pemerintah (HAP) untuk gula konsumsi dari Rp15.500 menjadi Rp17.500 per kilogram (kg). Penyesuaian harga gula tersebut sudah berlaku sejak 5 April 2024 yang selanjutnya akan dilakukan evaluasi secara berkala.

Dalam surat Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Nomor: 296/TU.01.02/B/043/2024 tertanggal 4 April 2024 yang diterima Tirto, Bapanas meminta agar Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) dan Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) melakukan penyesuaian harga gula konsumsi di tingkat konsumen.

"Berdasarkan input kondisi harga gula yang wajar, maka harga gula konsumsi di tingkat ritel atau konsumen sebesar Rp17.500 per kg," tulis surat tersebut sebagaimana diterima Tirto, Jumat (19/4/2024).

Sementara untuk daerah atau wilayah Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Papua Pegunungan, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Barat Daya, dan wilayah 3TP (Tertinggal, Terluar, Terpencil, dan Perbatasan) harga Gula Konsumsi di tingkat ritel atau konsumen sebesar Rp18.500 per kg.

"Berdasarkan hal tersebut di atas, saudara [Aprindo dan Hippindo] dapat mengimplementasikan relaksasi atau penyesuaian harga gula dimaksud sampai dengan 31 Mei 2024," tulis isi surat tersebut.

Ini adalah kali kedua pemerintah menaikkan Harga Acuan Pemerintah (HAP) gula dalam rentang kurang dari setahun. Pada 3 November 2023 lalu, Bapanas juga sebenarnya sudah menaikkan HAP gula menjadi Rp16.000. Sementara untuk wilayah tertinggal, terluar, terpencil, dan perbatasan ditetapkan sebesar Rp17.000 per kg.

Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, mengakui bahwa pihaknya telah merelaksasi HAP gula konsumsi menjadi Rp17.500 per kg. Keputusan menaikkan HAP gula konsumsi tersebut, diklaimnya untuk menjaga ketersediaan stok dan pasokan sebelum musim giling tebu dalam negeri.

"Sudah kita berikan [relaksasi gula]. Jadi Rp17.500 per kg sampai 31 [Mei]. Gula kan enggak hilang sekarang, ada relaksasi," kata Arief saat konferensi pers Halal Bihalal di Kantor Bapanas, Jakarta, Kamis (18/4/2024).

Arief Prasetyo Adi

Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi saat konferensi pers Halal Bihalal di Kantor Bapanas, Jakarta, Kamis (18/4/2024). (Tirto.id/Faesal Mubarok)

Arief menjelaskan kenaikan harga gula konsumsi itu juga bertujuan untuk menjaga ketersediaan, stok, pasokan dan harga gula konsumsi khususnya di ritel modern dalam negeri. Terutama saat menghadapi Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Puasa dan Idulfitri 2024 kemarin.

"Jadi waktu sebelum Lebaran, relaksasi gula ini sudah kita tetapkan, agar pemenuhan kebutuhan gula selama Lebaran kemarin tercukupi. Terbukti juga kan kemarin Lebaran, gula aman-aman saja," kata Arief.

Alih-alih menjaga stabilitas harga di tingkat konsumen, kenaikan HAP tersebut justru tidak mengatasi masalah kenaikan harga di lapangan. Harga gula konsumsi di tingkat pedagang eceran justru membubung tinggi di atas HAP.

Berdasarkan data panel harga pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga rata-rata gula konsumsi di seluruh provinsi sudah tembus Rp18.060 per kilogram (kg) pada Jumat (19/4/2024). Harga tertinggi terjadi di wilayah Papua Pegunungan menyentuh hingga Rp29.320 per kg. Sementara harga terendah di DKI Jakarta sebesar Rp16.570 per kg.

Bukan Solusi Tepat

Ketua DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen, mengatakan kenaikan sementara HAP yang diberlakukan pemerintah bukan merupakan solusi tepat dalam mengatasi permasalahan gejolak harga. Karena, jika merujuk kembali pada makna HAP yaitu harga acuan, bukan HET (harga eceran tertinggi) yang mana itu merupakan harga tetap atau fix rate.

"Harga acuan itu kan mestinya ada toleransi [kenaikan] sampai berapa paling tidak 10 sampai 15 persen. Kita tekankan di situ sedikit untuk mencerdaskan mereka yang membuat keputusan," ujar Soemitro saat dihubungi Tirto, Jumat (19/4/2024)

Logikanya, jika HAP dinaikkan menjadi Rp17.500 per kg, maka ritel bisa dengan bebas menjual gula konsumsi di atas itu. Dengan kondisi tersebut, artinya konsumen akan menanggung beban lebih besar untuk biaya gula konsumsi tersebut.

"Kalau HAP harusnya tidak apa-apa sekarang Rp17.500 mau dijual Rp19.000 juga tidak apa-apa. Kalau itu kan naik cuma 10 persen," ujar dia.

Semestinya, kata Soemitro, pemerintah tidak perlu mengotak-atik HAP. Menurutnya, lebih baik menggunakan HAP yang lama yakni Rp16.000 per kg. Toh, kata dia, nantinya terdapat toleransi penyesuaian di tingkat ritel.

"Kalau yang arahnya pertama itu ke Rp16.000 itu kan sebetulnya masih dalam ambang batas toleransi harga acuan. Ngapain harus dinaikkan lagi?" kata dia mempertanyakan.

Dia mengingatkan, agar tidak setiap saat Bapanas mengubah regulasi HAP. Apalagi regulasi ini, diberlakukan hanya sementara sampai dengan 31 Mei 2024. Kebijakan ini pun menurutnya hanya menguntungkan segelintir orang.

"Artinya kebijakan ini memberikan service yang bagus kepada peritel, tapi tidak memberikan jaminan yang memadai bagi produsen kami ini," ujar dia.

Padahal, lanjut dia, untuk meredam gejolak harga gula konsumsi, APTRI sudah mengusulkan agar pemerintah membuat kebijakan di mana ada BUMN yang ditugasi untuk memiliki cadangan stok gula konsumsi. Paling tidak minimal memiliki cadangan stok satu juta ton.

"Kenapa saya usulkan begitu? Menyimpan gula itu lebih bisa bertahan lama dibanding kalau kita menyimpan cadangan beras," kata dia.

Paling tidak, kata Soemitro, dalam hal ini Perum Bulog bisa ditugasi untuk menyediakan stok ini. Cadangannya, bisa diperoleh pada saat nanti panen pemerintah bisa membeli dari petani secara langsung. Atau kemungkinan lainnya bisa dilakukan lewat jalur impor.

"Jadi kalau pemerintah punya cadangan yang cukup, intervensinya menggunakan action. Bukan menggunakan regulasi. Udah biarin aja orang berspekulasi, begitu harga mahal dipukul dengan barang yang pemerintah yang dipegang ini dijual," ujar dia.

Tidak Menguntungkan Petani

Sementara itu, pengamat pertanian dari Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, mengingatkan pemerintah harus berhati-hati ketika menaikkan HAP. Sebab, inflasi pangan atau volatile food per Maret 2024 masih tinggi yakni 10,3 persen secara tahunan.

"Pemerintah harus berhati-hati ketika menaikkan HAP," ujar Eliza kepada Tirto, Jumat (19/4/2024).

Sebetulnya, kata dia, jika ingin menjaga ketersediaan gula, semestinya pemerintah menaikkan dulu harga pembelian di level petani. Karena jika harga pembelian tetap sementara biaya produksi naik, petani tidak berminat lagi menanam karena merugi. Pada akhirnya, ini akan memengaruhi penurunan produksi dalam negeri.

"Maka sebelum menaikkan HAP di level pedagang, sebaiknya pemerintah menaikkan dulu harga pembelian di level petani," ujar dia.

APTRI mengakui harga gula di tingkat petani saat ini masih tetap sama seperti sebelum relaksasi HAP gula diterapkan November 2023 lalu, yakni masih di angka Rp12.500 per kg.

Soemitro mengatakan, HPP gula di tingkat petani tidak pernah mengalami kenaikan sejak HAP gula masih di angka Rp14.500 per kg, sampai dengan kini relaksasi HAP gula di tingkat konsumen sudah Rp17.500 per kg.

"Harga pokok penjualan petani belum disentuh masih Rp12.500. Ini adil tidak? Tidak adil dong," ujar Soemitro.

Oleh karena itu, APTRI mengusulkan harga pokok penjualan petani bisa berada di angka Rp16.400. Usulan ini pun sudah disampaikan secara langsung ke Bapanas. Meski begitu, hingga saat ini belum ada respons dan balasan dari Bapanas.

"Jadi ini perlu diingetin juga kita ini produsen harus dijaga nuansa psikologisnya juga. Masa sekarang naik Rp17.500 harga di petani masih sama," pungkas dia.

Di luar itu, Eliza Mardian melihat, kenaikan harga gula sejak 2023 ini sebenarnya akibat harga gula internasional naik akibat El Nino. Di mana India dan Thailand merupakan salah satu top 5 produsen gula dunia. Sementara Indonesia terpengaruh akan kenaikan tersebut.

"Indonesia separuh impor gulanya (65 persen) itu dari Thailand dan India, sisanya dari Brasil dan Australia," ujar dia

Ditambah lagi, pada awal 2024 permintaan dalam negeri terus-terusan naik akibat momentum pesta demokrasi dan Ramadhan yang jarak waktunya berdekatan.

"Jadi menaikkan HAP ini akan lebih banyak menguntungkan pedagang, ketimbang petani. Apalagi masyarakat yang saat ini daya belinya mengalami perlambatan terutama kelas menengah," kata dia.

Oleh karenanya, kata Eliza, jika ingin menjaga ketersediaan, maka perbaiki harga pembelian di tingkat petani. Selain itu, pemerintah juga perlu revitalisasi pabrik penggilingan tebu yang usianya sudah ratusan tahun, meningkatkan rendemen agar produksi meningkat, serta ketepatan waktu importasi.

"Sebab 60 persen [Indonesia] bergantung impor gula," pungkas dia.

STOK GULA JELANG RAMADHAN

Alat berat mengangkut gula kemasan di gudang penyimpanan gula milik PT Rejoso Manis Indo (RMI) Blitar, Jawa Timur, Rabu (15/3/2023). ANTARA FOTO/Irfan Anshori/rwa.

Baca juga artikel terkait GULA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri