tirto.id - “Ya, Anda bisa membuat aplikasi hebat berbasis Web 2.0 dan Ajax yang bisa digunakan langsung di iPhone,” terang Steve Jobs dalam peluncuran iPhone generasi pertama. “Aplikasi berbasis web tersebut dapat terintegrasi sangat baik dengan berbagai fasilitas yang tersemat dalam iPhone,” imbuh Jobs.
Pada 2007, Apple meluncurkan iPhone. Tapi, hingga setahun selepas kemunculannya, tidak ada App Store, toko aplikasi iOS yang tersohor itu. Kala itu, pengguna hanya disuguhkan aplikasi-aplikasi buatan Apple, atau aplikasi pihak ketiga yang bekerjasama langsung seperti Google Maps dari Google.
Sayangnya, pengguna perangkat yang disebut Jobs sebagai “yang merevolusi cara manusia berinteraksi dengan ponsel” tidak sabar. Lahirlah “jailbreak”, sebuah teknik meretas iPhone agar telepon pintar itu dapat melakukan tugas-tugas di luar restu Apple. George Hotz jadi peretas pertama iPhone dan membuat penggunanya bisa memakai jasa provider selain AT&T. Kemudian, aplikasi-aplikasi pihak ketiga berkonsep jailbreak pun lahir.
Apple menyerah. Pada Juli 2008, mereka merilis App Store, berikut dengan software development kit (SDK) iOS yang memungkinkan semua orang menciptakan aplikasi. Kala itu, ada 552 aplikasi pihak ketiga; 135 di antaranya berlabel “gratisan”, bisa diunduh secara legal.
Setahun selepas App Store meluncur, Apple melakukan pembaruan dengan menawarkan fitur in-app purchases. Fitur ini memungkinkan pihak ketiga menawarkan konten-konten berbayar bagi penggunanya, langsung dari aplikasi. Misalnya fasilitas berlangganan Spotify ataupun edisi The New York Times.
Tentu, ada biaya yang harus disetor pihak ketiga dalam menggunakan segala fasilitas App Store yang kelak jadi salah satu mesin uang bagi Apple. Pada 2019, Apple diperkirakan memperoleh pendapatan senilai $16,5 miliar dari App Store, meningkat hampir 2,5 kali lipat dibandingkan yang mereka peroleh pada 2015. Pada 2015, Apple memperoleh 'hanya' $6 miliar dari App Store.
Mengapa App Store menyumbang uang yang sangat besar bagi Apple? Sederhananya begini. Hingga lebih dari 10 tahun berjalan, telah tercipta 170 miliar unduhan aplikasi-aplikasi berbasis iOS via App Store. Dilansir dari The Verge, Apple menetapkan aturan 70-30 dalam bisnis App Store. Artinya, dalam tiap transaksi via App Store, Apple mematok pungutan (fee)sebesar 30 persen dari nilai transaksi. Pengembang atau pihak ketiga memperoleh 70 persen.
Sialnya, Mahkamah Agung Amerika Serikat mempersoalkan skema ini. Sebagaimana diberitakan Ars Technica, Mahkamah Agung membuat suatu keputusan yang memungkinkan masyarakat melayangkan gugatan hukum pada Apple. Alasannya, dengan pungutan yang sedemikian besar masyarakat harus membayar ekstra untuk sebuah aplikasi.
Parahnya lagi, menurut Mahkamah Agung AS, tidak ada alternatif bagi pengguna iOS untuk memperoleh aplikasi selain dari App Store. Pengguna Android, misalnya, bisa mengunduh APK (berkas instalasi aplikasi Android) secara mandiri di luar toko aplikasi Play Store. Pengguna Windows bisa mencari berkas berekstensi .EXE, di luar Windows Store. Keterbukaan tidak ditemukan pada iOS.
Jika iOS memiliki alternatif selain App Store, menurut Mahkamah Agung, ada pilihan bagi pengguna untuk tidak mengeluarkan tambahan biaya sebesar 30 persen.
Tapi Apple tak bergeming. Menurut perusahaan Cupertino itu, transaksi sesungguhnya terjadi antara pengguna dengan produsen aplikasi, bukan Apple. Jika ada tuntutan, yang bisa melakukannya hanyalah pihak ketiga atau pengembang, bukan masyarakat langsung.
Lantas, bagaimana pihak ketiga atau pengembang melihat skema Apple?
Awal Maret lalu, Guardian mengabarkan bahwa Daniel Ek, pendiri sekaligus pemimpin eksekutif Spotify, mempermasalahkan skema Apple. Menurut Ek, kala Spotify mengikuti aturan main yang ditetapkan Apple, hasilnya adalah kenaikan harga layanan premium yang harus dibebankan pada masyarakat. Selain itu, karena Apple juga mengeluarkan aplikasi sejenis Spotify, yakni Apple Music, pungutan 30 persen membuat mereka tak leluasa bersaing.
Sialnya, patokan pungutan 30 persen tak bisa dihindari Spotify karena berada “di luar kemampuannya".
“Dalam beberapa tahun terakhir, Apple memperkenalkan aturan ke App Store yang sengaja membatasi pilihan dan menghambat inovasi. Mereka terus mencari keuntungan yang tidak adil di setiap kesempatan,” tegas Ek.
Spotify tak sendirian. Pada akhir 2018 lalu, sebagaimana diwartakan Techcrunch, Netflix mengambil keputusan tegas. Mereka keluar dari skema Apple. Pengguna yang ingin menikmati layanan berbayar video on demand (VoD) diarahkan ke situs web resmi Netflix alih-alih ke aplikasinya.
“Kami tidak lagi menyediakan metode pembayaran via iTunes (App Store) bagi pengguna baru,” kata Netflix.
Lantas, apa sebenarnya di balik skema ini?
Selepas mencapai titik tertinggi penjualan iPhone dalam sejarah (78,29 juta unit pada kuartal 1-2017), performa jualan utama Apple tersebut terus melorot. Dalam laporan kinerja Apple pada kuartal 2-2019, iPhone menyumbang pendapatan sebesar $31 miliar bagi Apple, turun 18 persen dari perolehan kuartal yang sama setahun sebelumnya, $38 miliar.
Kinerja buruk iPhone berimbas pada kinerja Apple secara keseluruhan. Saat ini, Apple hanya mampu memperoleh pendapatan sebesar $54,77 miliar. Turun lima persen dibandingkan performa di kuartal yang sama setahun sebelumnya, yakni $61,1 miliar.
Setelah gagal mengandalkan iPhone, juga lini Mac, iPod, dan iPad, salah satu harapan terbaik Apple kini adalah App Store. Secara global masyarakat memang sedang keranjingan aplikasi. Bloombergmemperkirakan masyarakat merogoh kocek hingga $101 miliar untuk segala sesuatu terkait aplikasi pada 2018. Nilai itu meningkat dari $82 miliar setahun sebelumnya.
Meraup laba dari App Store tentu berbeda dari berjualan iPhone atau Mac. Kasus Netflix bisa menjadi contoh yang menarik. Pada 2018, Netflix memperoleh pendapatan senilai $853 juta, hanya dari aplikasi berbasis iOS-nya saja. Dengan skema 70-30, artinya Apple memperoleh sekitar $256 juta dari Netflix tanpa melakukan banyak hal.
Bandingkan dengan kerja keras Spotify, The New York Times, Tinder, dan aplikasi-aplikasi lainnya ketika menjual layanan premium mereka.
Kehilangan uang dari iPhone rupanya bisa ditebus dengan cara semudah itu.
Editor: Windu Jusuf