Menuju konten utama

Penjualan iPhone Makin Memble, Lalu Apple Bagaimana?

Penjualan produknya memang melesu, tapi Apple dapat banyak duit dari jual layanan.

Penjualan iPhone Makin Memble, Lalu Apple Bagaimana?
Apple Subscription. FOTO/support.apple.com

tirto.id - Selepas mencapai titik tertinggi penjualan iPhone dalam sejarah, sebanyak 78,29 juta unit pada kuartal 1-2017, performa jualan utama Apple tersebut terus melorot. Dalam laporan kinerja Apple pada kuartal 2-2019, iPhone menyumbang pendapatan sebesar $31 miliar bagi Apple, turun 18 persen dari perolehan kuartal yang sama setahun sebelumnya, $38 miliar.

Kinerja buruk iPhone berimbas pada kinerja Apple secara keseluruhan. Saat ini, Apple hanya mampu memperoleh pendapatan sebesar $54,77 miliar. Turun 5 persen dibandingkan performa di kuartal yang sama setahun sebelumnya, yakni $61,1 miliar.

iPhone mungkin tak lagi jadi permen manis lagi bagi Apple. Selepas menggantungkan hidup pada Mac pada dekade 1990-an, menggantungkan pada iPod di dekade 2000an, dan telah tiba habisnya masa iPhone, Apple nampaknya punya barang baru yang bisa menjadi mesin uang baru mereka: "pelayanan".

Meski dalam laporan kinerja performa iPhone melorot, performa bisnis Apple bertajuk service moncer. Bisnis pelayanan Apple, yang mencakup Apple TV+, Apple Arcade, Apple News+, dan App Store, menyumbang pendapatan sebesar $11,45 miliar. Ia naik dibandingkan angka pada kuartal 1-2017 sebesar $9,19 miliar dan kuartal 1-2016 sebesar $7,04 miliar.

Apple TV+, Apple Arcade, Apple News+, dan App Store punya model bisnis berbeda dengan bagaimana Apple menghasilkan uang dari iPhone, Mac, ataupun iPod. Layanan-layanan itu menggunakan model bisnis berlangganan atau subscription-based business untuk hidup, model bisnis yang tren hari ini.

Belajar dari Adobe Hingga Netflix

Model bisnis berlangganan berkembang. Pasarnya tumbuh dari $57 juta di tahun 2011 menjadi $2,6 miliar di tahun 2016. Salah satu perusahaan perintis model bisnis ini ialah Adobe, perusahaan di balik aplikasi olah-gambar Photoshop.

Sebelum 2011, Adobe berbisnis dengan cara konvensional. Mereka membuat produk dan menjualnya secara “buy once and own it”. Kala itu, dalam menjual Photoshop, Adobe menjual dalam bingkai Creative Suite (CS) dengan harga $1.300 hingga $2.600.

Sayangnya, Direktur Keuangan Adobe Mark Garrett dalam wawancaranya dengan McKinsey mengatakan bahwa model bisnis "beli sekali untuk dimiliki” tidak berkembang. Adobe hanya mampu menjual CS sebanyak 3 juta unit.

“Bisnis kami tidak berkembang. Penjualannya datar dalam waktu yang lama,” terangnya.

Untuk mendorong pertumbuhan, strategi yang dilakukan Adobe pertama kali ialah dengan menaikkan harga. Sialnya, tegas Garrett, “itu bukanlah strategi yang berkelanjutan.”

Pada 2012, Adobe mencari cara lain. Selain masih tetap menjual CS, mereka lalu meluncurkan Creative Cloud (CC), paket penjualan aplikasi kreatif—termasuk Photoshop—dengan skema berlangganan bulanan atau tahunan, dengan harga mulai dari $9 hingga $50.

Hasilnya mengesankan. Ada 4 juta pelanggan CC, melampaui jumlah penjualan CS. Pada 2013, CS resmi dihentikan Adobe dan mereka sepenuhnya bersalin rupa menjadi perusahaan yang hanya menawarkan sistem berlangganan bagi orang yang hendak menggunakan produk mereka.

“Jelas, ada bahaya ketika hendak mengganti model bisnis. Ketika Adobe mengganti model bisnisnya, dari ‘memiliki’ menjadi ‘menyewa,’ banyak pelanggan lamanya melawan. Tapi, Adobe akhirnya sukses,” kata Haje Kamps, Direktur Portofolio Bolt, perusahaan modal ventura.

Tien Tzuo, penulis buku Subscribed: Why the Subscription Model Will Be Your Company’s Future, ketika diwawancarai Shep Hyken, menegaskan bahwa model bisnis berlangganan merupakan model yang “win/win”. Bagi pelanggan, seperti kasus Adobe, model bisnis ini bisa menekan harga karena pelanggan tidak membeli tapi menyewa. Bagi perusahaan, model bisnis ini menjadi semacam garansi bahwa mereka akan tetap memperoleh pendapatan tiap bulan.

Pada titik tertentu, model bisnis berlangganan sangat mungkin mengungguli model bisnis konvensional.

Dalam “Why Everything is a Subscription”, Kamps menjelaskan bahwa untuk menjual produk, perusahaan harus mengeluarkan customer acquisition cost (CAC) atau biaya promosi menggaet pelanggan. Secara sederhana, biaya CAC harus lebih rendah dibandingkan harga jual suatu produk.

Sayangnya, di tengah persaingan yang semakin ketat dan biaya iklan yang semakin tinggi, margin antara harga jual dan CAC menipis. Model bisnis berlangganan bisa mengatasi masalah ini. Bahkan, bila CAC lebih mahal dibandingkan harga jual produk. Netflix adalah contoh suksesnya.

Infografik Bisnis Berlangganan

Infografik Bisnis Berlangganan

Pada kuartal 4-2018, Netflix mengeluarkan uang senilai $195,8 juta hanya untuk memasarkan produknya di Amerika Serikat. Selepas ada strategi pemasaran lain dilakukan, di kuartal itu, ada penambahan jumlah pengguna berbayar sebanyak 1,98 juta. Artinya, untuk menggaet satu pelanggan baru, Netflix mengeluarkan biaya sebesar $98,9.

Angka $98,9 per orang sangat jauh lebih mahal dibandingkan tarif langganan Netflix standar senilai $10,99.

Biaya CAC Netflix memang mahal. Namun, karena model bisnis berlangganan, Netflix bisa memaksakan pelanggannya untuk sampai ke break even point (BEP) per pelanggan, yakni selama sembilan bulan. Selepasnya, Netflix mengambil untung.

Model bisnis berlangganan menggiurkan. Di masa mendatang, Apple tak perlu habis-habisan dalam menjual iPhone, iPad, atau Mac, atau produk baru lainnya. Namun, tiap-tiap pengguna iPhone, iPad, atau Mac, Apple bisa dioptimalkan. Caranya: menawarkan mereka layanan-layanan berlangganan, mulai dari Apple TV+, Apple Arcade, hingga Apple News+.

Baca juga artikel terkait APPLE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani