tirto.id - Pertandingan antara DC United melawan Philadelphia Union, pada Senin (5/8/2019) waktu Indonesia, berlangsung sangat menarik. Dalam laga Major League Soccer (MLS) itu enam gol tercipta di mana Philadelphia berhasil mencetak lima gol dan DC United hanya mampu membalas satu gol. Selain itu ada bumbu sedap lain: keputusan-keputusan kontroversial, kartu merah, dan yang paling jadi sorotan ialah selebrasi gol terbaik di dunia.
Selebrasi itu dilakukan kapten Philadelphia Union, Alejandro Bedoya. Usai mencetak gol pertama Union pada menit ke-3, Bedoya berlari ke pinggir lapangan untuk merayakan gol bersama rekan-rekannya. Ia kemudian menggamit pengeras suara yang berada di pinggir lapangan untuk menyampaikan sebuah pesan.
“Kongres! Lakukan sesuatu sekarang!,” teriak Bedoya. “Segera akhiri kekerasan bersenjata! Ayo!”
Semula pesan Bedoya itu tak terdengar jelas oleh para penonton karena saking gaduhnya suasana di Audi Field, tempat dilangsungkannya pertandingan. Namun lewat Fox Sports 1, stasiun televisi yang menyiarkan laga itu, para penonton di rumah dapat menangkap pesan itu secara jelas. Alhasil, pesan itu menyebar dan memantik perhatian dari segala penjuru dunia.
Dan, kata Bedoya setelah pertandingan, ia merasa bersyukur karena sekitar 95% yang merespons selebrasinya itu memberikan dukungan kepadanya.
Bedoya sendiri melakukan selebrasi itu bukan tanpa dasar. Pablo Maurer menulis di The Athletic, “Pernyataan Bedoya muncul berdasarkan dua kasus penembakan massal yang baru saja terjadi di Amerika. Pada Sabtu (3/8/2019), 20 orang tewas dan puluhan orang lainnya luka-luka karena pembantaian bermotif rasial yang terjadi di dekat pusat perbelanjaan di El Paso, Texas.”
“Hanya beberapa jam kemudian, 9 orang tewas dan 27 lainnya mengalami luka-luka ketika seorang pria bersenjata melepaskan tembakan di di distrik kehidupan malam yang populer di Dayton, Ohio. Mereka adalah dua dari lima pelaku penembakan massal yang terjadi hanya dalam delapan hari terakhir di Amerika,” imbuh Maurer.
Mendorong Pemerintah Amerika untuk Tegas
Sudah menjadi rahasia umum apabila kepemilikan senjata api menjadi bagian dari budaya orang-orang Amerika Serikat. Bahkan, berdasarkan survei yang dilakukan BBC pada tahun 2017, sekitar 40% warga Amerika mengaku memiliki senjata api atau tinggal di rumah yang menyimpan senjata api.
Dibandingkan dengan negara maju lainnya, jumlah kepemiliki senpi di Amerika lantas menjadi yang tertinggi. Sayangnya, hal ini ternyata dibarengi oleh ketidaktegasan pemerintah Amerika Serikat terhadap kepemilikan senjata api.
Menurut Jonathan Masters dalam tulisannya yang berjudul “U.S Gun Policy: Global Comparation”, pemerintah Amerika sebetulnya punya aturan soal pembatasan kepemilikan senjata api. Pembatasan tersebut berdasarkan Undang-Undang Pengendalian Senjata Api 1968 di mana pemuda di bawah usia 18 tahun, orang-orang terpidana, mantan anggota militer yang cacat mental, dan lain-lain dilarang memiliki senjata api.
Namun, aturan itu tergolong setengah-setengah: sampai sekarang pemerintah Amerika Serikat tidak melarang penjualan senjata otomatis bergaya militer, seperti senapan serbu, magazen, hingga bump fire stock (sebuah senjata api semi-otomatis yang mempunyai kecepatan menembak secara otomatis).
Setelah kasus penembakan massal di Amerika Serikat dengan menggunakan jenis senjata api seperti itu terus terjadi, publik Amerika sebetulnya terus mendorong agar pemerintah Amerika semakin memperketat perturan mengenai kepemilikan senjata api. Namun sampai sekarang, pemerintah Amerika belum juga mempunyai titik temu. Alasannya: politik.
Anthony Zurcher, reporter BBCasal Amerika, setidaknya memberikan penjelasan.
Menurutnya, ada empat hal yang bikin Kongres butuh waktu lama untuk mengambil kebijakan: NRA (National Rifle Assocoiaton) sangat berpengaruh di dalam politik Amerika; Gerrymandering (manipulasi batas daerah pilih demi sebuah kepentingan politik) mengakibatkan Partai Republik masih bisa bersuara meskipun Partai Demokrat berkuasa; filibuster (usaha dalam menghalangi pengambilan keputusan yang terdapat di parlemen Amerika) sering mengakibatkan pemangku kebijakan gagal mendapatkan 60 suara untuk mengambil keputuasan; serta Mahkamah Agung yang masih berpegang teguh bahwa kepemilikan senjata diabadikan di dalam konstitusi.
Meskipun Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengklaim bahwa masalah ini akan segera teratasi seiring dengan berjalannya waktu. Zurcher justru menilai sebaliknya. “Seiring berjalannya waktu,” tulis Zurcher, “Seperti yang dikatakan lagu dalam film ‘Casablanca’, itu (pernyataan Trump) adalah cerita lama yang terus diulang.”
Keresahan Zurcher tersebut juga dirasakan oleh Alenjantro Bedoya. Alasannya, pemain berusia 32 tahun asal Amerika Serikat tersebut lekat dengan pengalaman traumatis terhadap penyalahgunaan senjata api.
Beatrice, istri Bedoya, lahir di Norwegia, tempat di mana pernah terjadi penembakan massal pada tahun 2011. Selain itu, Bedoya juga tumbuh di dekat Parkland, Florida, di mana Nikolas Cruz pernah menghilangkan 17 nyawa dan melukai 17 orang di sebuah sekolah bernama Stoneman Douglas dengan senapan semi-otomatis pada tahun 2018.
“Itu sangat dekat dengan rumahku (Parkland),” kata Bedoya. “Bahkan di Philly, saat aku mengantarkan anak-anakku ke sekolah, aku pernah mendapatkan pesan dari seseorang bahwa sekolah ditutup karena terjadi penembakan di dekat situ.”
Alhasil, meskipun sadar bahwa politik tak bisa berjalan beriringan dengan sepakbola, Bedoya pun menggunakan pengalaman-pengalaman traumatisnya itu untuk bersuara lantang. “Aku tidak akan duduk diam, menyaksikan hal itu begitu saja terjadi, tanpa mengatakan sesuatu. Sebelum aku menjadi atlet, seorang pesepakbola, pertama-tama aku adalah seorang manusia,” kata Bedoya.
Dinobatkan sebagai Man of The Match
Banyak orang yang menilai bahwa MLS akan dibuat pusing oleh tingkah Bedoya tersebut. Bagaimana pun, FIFA jelas-jelas melarang politik bersinggungan dengan sepakbola. Selain itu, MLS juga beberapa kali terlibat pertikaian dengan kelompok suporter yang membawa politik ke pinggir lapangan. Namun, MLS justru mengambil langkah nyentrik: mereka memilih “mendukung” sikap Bedoya.
Menurut laporan Washington Post, MLS tidak akan memberikan sanksi terhadap Bedoya. Sebaliknya, sesuai keinginan Bedoya, mereka justru mendorong Kongres untuk segera mengatasi kekerasan bersenjata di Amerika.
Dorongan itu pun muncul lewat pernyataan resmi: “Keluarga besar MLS bergabung dengan semua orang dalam duka karena hilangnya nyawa di Texas dan Ohio. Kami juga memahami bahwa staff serta pemain kami mempunyai pandangan dan semangat yang kuat agar masalah ini segera teratasi.”
Yang menarik, apresiasi MLS terhadap sikap Bedoya ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ.
Setelah pertandingan antara DC United melawan Philadelphia Union berakhir, lewat situs resminya di Twitter, MLS menyuruh fans untuk melakukan voting pemain terbaik di pekan ke-22. Kala itu MLS mempunyai empat kandidat pemain terbaik: Eduardo Atuesta (LAFC), Kei Camara (Colorado Rapids), Marco Fabian (Philadelphia Union), dan Luis Robles (New York Red Bull).
Namun, fans justru menyuarakan nama Bedoya yang tak masuk ke dalam daftar kandidat pemain terbaik. Dan secara mengejutkan, Bedoya benar-benar terpilih menjadi pemain terbaik MLS pekan ke-22.
Untuk semua itu, Bedoya kemudian kembali mengucapkan pesan. “Kata-kata mempunyai pengaruh besar,” kata Bedoya, dicatut dari Guardian. “Kata-kata mempunyai kekuatan dahsyat dan bisa mengawali sebuah tindakan, sama seperti kata-kataku. Aku harap itudapat membuat Kongres mengambil langkah nyata, sehingga mudah-mudahan dapat menghasilakan undang-undang untuk membatasi masalah ini (penembakan massal)."
Editor: Gilang Ramadhan