tirto.id - Indonesia tidak dapat hadir dalam ajang Festival Film Cannes yang berlangsung pada 8 sampai 18 Mei 2018. Deputi Bidang Pemasaran Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Joshua Puji Mulia, menyatakan fokus Bekraf saat ini selaku salah satu badan pemerintah yang mengurusi film adalah promosi industri film melalui networking dan membuka potensi kerjasama.
Ketidakhadiran Indonesia di Cannes rupanya meninggalkan polemik. Pemicunya adalah pernyataan Ketua Bidang Festival Internasional dan Hubungan Luar Negeri Badan Perfilman Indonesia (BPI), Dimas Jayasrana.
Menurut Dimas, seperti ditulis Antara, Indonesia tak perlu berpartisipasi terlebih dahulu di Cannes dan fokus membenahi masalah mendasar perfilman di dalam negeri. Dimas juga menyebut, selama ini, kehadiran Indonesia di Cannes “hanya buang-buang anggaran dan energi.”
Pernyataan Dimas seketika menimbulkan perdebatan di kalangan pelaku perfilman. Banyak dari mereka yang menangkap bahwa Cannes “tidak penting” untuk perfilman Indonesia.
“Padahal enggak gitu. Cannes memang penting. Tapi, begitu juga dengan festival lainnya. Statement gue seolah diartikan bahwa ke Cannes itu enggak penting. Gue cuma menekankan, ini dalam konteks negara. Bukan individu,” ujarnya.
Tirto, pada Minggu (13/5) kemarin, berkesempatan untuk berbincang dengan Dimas di tempat kerjanya di bilangan Kwitang, Jakarta Pusat. Selama satu jam lebih, Dimas menuturkan banyak hal, mulai dari makna festival film, masalah perfilman Indonesia, dan tentu saja Festival Film Cannes.
Dewasa ini, jamak dijumpai anggapan bahwa festival film berskala internasional adalah pencapaian yang “wah” bagi pelaku film dan ekosistem di dalamnya. Bahkan, ada yang menilai, festival film internasional macam Cannes, Toronto, sampai Sundance merupakan “langkah untuk memajukan” film dalam negeri. Bagaimana menurut Anda?
Jawabannya bisa ya, dan bisa juga tidak. Tergantung bagaimana filmmaker ini melihat dan mengetahui behave tiap festival. Karena pada dasarnya identitas tiap festival itu tidak sama. Misalnya, kalau film pendek, ya, ke Clermont-Ferrand International Short Film Festival yang jadi market-nya film pendek dengan perputaran uang yang begitu besar dan valuasi ekonomi yang tangible.
Keberangkatan filmmaker ke festival mengacu pada profesi serta tugas masing-masing. Sutradara dengan misi estetiknya dan produser dengan misi pendanaannya, katakanlah. Dari situ lantas ada semacam dua visi: estetik dan jaringan yang mengantarkan ke project berikutnya.
Sebetulnya, yang tak kalah penting lagi adalah tentang bagaimana filmmaker memahami festival yang akan dituju. Busan kuat di sini, Sundance di sini, dan lain sebagainya. Ketika mereka sudah punya pemetaan tersebut, maka ada satu modal penting yang bisa dipakai untuk mencapai tujuannya.
Akan tetapi, proses tak berhenti sampai situ saja. Setelah festival selesai, harus ada communication management dari filmmaker untuk menindaklanjuti apa yang mereka lakukan di festival. Ada semacam sambungan dan keberlanjutan setelahnya. Festival itu bukan ending, tapi justru jadi beginning. Bahwa festival internasional akan selalu memberi manfaat bagi filmmaker, itu fakta. Tapi, yang jadi soal adalah bisa enggak mereka mengambil manfaat dari sana? Festival film adalah tentang memilah, memilih, serta menindaklanjuti perkembangannya.
Dari semua festival film internasional yang ada, Cannes seringkali dirasa paling spesial. Mengapa demikian?
Di dalam peta festival film dunia, yang dibicarakan tak melulu tentang segi estetik. Ada politik, mafia, dan bisnis besar di dalamnya. Jadi, dalam konteks ini, menurut gue Cannes berhasil membangun citranya sebagai sebuah brand yang dipercaya pelaku film di seluruh dunia. Ini penting. Semua festival, pada dasarnya, sama pentingnya. Mereka juga punya visi untuk to get that brand. Cannes jadi penting karena mereka punya brand yang dibangun. Tidak sebatas sebagai festival, melainkan juga ekosistemnya.
Ada festival yang baru 10 tahun jalan, tapi sudah mulai mendapatkan tempat tersendiri di kalangan filmmaker. Tapi, kalau lo mau bicara film fantasi, ya, lo ke festival ini. Kalau lo mau bicara tentang estetik, ya, ke Cannes. Namun, secara umum, tiap festival film punya semacam relasi. Tali temali. Mereka juga saling membaca behave satu sama lain. Ada festival dengan program dan ideologi yang sama. Kalau sudah seperti itu, biasa mereka saling bekerjasama. Ibarat katanya seperti ini, ‘Eh, ini gue ada film yang belum diputar karena slot gue penuh. Gue drop down ke festival lo, ya.’
Bagaimana mekanisme yang bisa ditempuh sebuah negara seperti Indonesia agar dapat tampil di festival macam Cannes?
Festival film dunia punya program yang kuat. It’s about the market and network. Festival, kan, diambil dari kata festive yang artinya merayakan. Festival film adalah tentang merayakan film dari semua aspek. Ekonomi, sosial, kultur, dan tentunya film sebagai seni.
Sedangkan masing-masing aspek itu punya koridor dan ruang-ruangnya sendiri. Misalnya, aspek ekonomi berarti berbicara tentang booth pameran, showcase, project financing, dan seterusnya. Berangkat dari titik itulah, lahir kesepakatan. Kalau bicaranya tingkat negara, ya, bisa dengan perjanjian Government-to-Government.
Sebagai contoh, Indonesia meneken kerjasama dengan Komisi Film Perancis (Centre national de la cinématographie/CNC). Maka, dari perjanjian itu CNC bisa memfasilitasi booth Indonesia di Cannes. Selain perjanjian antar pemerintah, cara agar bisa tampil di Cannes, ya, dengan membeli booth. Kalau soal ini, sudah pure urusan bisnis.
Pihak yang pernah melakukan itu adalah Korea Selatan. Beberapa waktu lalu, di Cannes, mereka membuka paviliun yang besar sekali. Selama festival berlangsung, kita bakal disuguhi aneka ragam produk budaya Korea. Tak cuma film, tapi juga sampai K-Pop. Poinnya di sini bukan lagi aksi penetrasi di lingkup Perancis (Cannes) saja, tapi juga dunia. Cannes hanya jadi semacam hub atau perantara untuk tingkat yang lebih besar lagi.
Bagaimana sepak terjang Indonesia sejauh ini di Cannes?
Kita belum pernah secara serius dan hati-hati membuat roadmap di Cannes. Soal apa yang bakal kita lakukan di sana, apa yang akan kita tawarkan, apa yang bakal kita follow up untuk penyelenggaraan tahun depan. Belum ada called for action semacam itu. Guideline maupun SOP dan sebagainya pun juga sama. Pun tidak ada evaluasi setelah penyelenggaraan. Kita cenderung sporadik dalam menghadapi Cannes. Walhasil, tidak ada terjadi kesinambungan tiap tahun.
Siapa saja pihak yang punya andil dalam mempersiapkan aksi Indonesia di Cannes?
Urusan film di Indonesia, kan, dijalankan oleh dua pihak. Pertama, Pusat Pengembangan Film (Pusbang) yang berada di bawah komando Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lembaga ini merupakan lembaga pemangku kebijakan film. Kedua, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) di mana film merupakan satu sektor kerja yang didorong oleh mereka.
Di antara kedua lembaga tersebut, sudah ada tugas dan fungsinya masing-masing. Namun, soal Cannes masih ada perbedaan sikap. Beberapa waktu lalu, Pusbang, dalam pernyataan resminya bilang bahwa mereka tidak mau terlibat Cannes terlebih dahulu. Kemudian, tahun kemarin, agenda di Cannes dijalankan Bekraf yang juga menggunakan momentum penayangan Marlina (film Mouly Surya).
Seharusnya, jika sudah masuk konteks negara, masing-masing pihak harus bekerjasama. Kedua lembaga itu harus dipertemukan dan membikin join working group untuk membahas kondisi yang ada. Tapi, sejauh ini, inisiatif itu lagi-lagi belum ada.
Di luar kedua lembaga tadi, ada nama BPI (Badan Perfilman Indonesia). Apa tugas badan ini?
BPI merupakan badan yang dibentuk sesuai UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Posisi BPI sendiri ada di antara Pusbang dan Bekraf. BPI mewakili suara stakeholder perfilman. Tapi, keanggotaan BPI bukan individu-individu, melainkan asosiasi (produser, sutradara, pemain, dan sebagainya). BPI inilah yang menaungi mereka dan aspirasinya.
Apakah sinkronisasi antara BPI, Bekraf, dan Pusbang berjalan baik?
Berjalan tapi belum maksimal. Namun, untuk beberapa perkara, koordinasi tiga lembaga ini bisa dibilang cukup positif. Seperti saat BPI melakukan sertifikasi kepada pelaku film. Program ini berpuluh-puluh tahun mangkrak. Sekarang, BPI kerjakan lagi dengan memetakan pelaku-pelaku film dan asosiasinya. BPI menjadi fasilitator. Sertifikasi ini punya kaitan sama Pusbang.
Selanjutnya, Bekraf kemarin ditugaskan membuat Komisi Film Daerah. Komisi ini bertugas untuk mengurus perizinan serta proses produksi film di daerah. Ada lima daerah yang dijadikan percontohan. Banyuwangi serta Bandung adalah salah duanya. Untuk program ini, Bekraf menggandeng BPI. Selain itu, Bekraf dan BPI juga membikin Indonesia Film Financing yang bertugas mempertemukan pembuat film dan investor.
Namun, tanpa mengurangi rasa hormat atas sinkronisasi kerja-kerja di atas, sebetulnya ada hal penting lain yang musti dilakukan yang membutuhkan sinkronisasi ketiga lembaga ini. Contohnya, seperti yang diamanatkan undang-undang, Pusbang diminta membuat guideline perfilman nasional yang termaktub dalam Rancangan Induk Perfilman Nasional (RIPN). Pokok RIPN adalah bagaimana proyeksi film Indonesia dalam 5, 10, 15, dan 20 tahun ke depan.
Untuk mewujudkan RIPN, perlu koordinasi yang baik. Tak hanya tiga pihak, tapi juga dengan pihak lainnya seperti contohnya Kementerian Perdagangan, Kementerian Pariwisata, hingga Kementerian Luar Negeri. Namun, masalahnya, koordinasi ini belum jalan. Sejauh ini, film kita belum punya guideline.
Adakah faktor lempar tanggungjawab pekerjaan antar instansi terkait dalam mengelola perfilman Indonesia yang mungkin menghambat koordinasi?
Selama ini yang terjadi memang ada tumpang tindih pekerjaan. Namun, itu yang coba diatasi. Salah satu tugas utama BPI, kan, konsolidasi yang memberikan impact ke pelaku film. Contohnya, ketika pemerintah tiba-tiba mengeluarkan kebijakan yang dianggap merugikan produser, maka BPI langsung maju. BPI akan mengumpulkan produser dan mendiskusikan masalah itu. Setelah bersepakat ada poin yang merugikan, BPI menghadap pemerintah.
Contoh lainnya, beberapa kementerian punya anggara untuk mengadakan festival film. Namun, mereka tidak konsolidasi dengan pihak-pihak yang mengurusi perfilman nasional. Mungkin dari konsolidasi, ditemukan kesimpulan: jangan-jangan yang seharusnya dilakukan kementerian bukannya membuat festival film baru, tapi mendukung festival film yang sudah ada? Seperti itulah yang terjadi selama ini.
Jadi, anggapan bahwa film tidak pernah tidak rumit itu benar. Ini semua perkara konsolidasi. Jika Perancis saja bisa dengan CNC-nya, mengapa Indonesia tidak? Memang, tiap negara hadir dengan dinamika masalahnya masing-masing. Tapi, itu bukan alasan untuk tidak memperbaiki kondisi yang ada.
Saya berandai-andai, misalkan, jika semua film dapat diurus dengan baik—koordinasi, sinkronisasi, dan lain sebagainya—potensi keuntungannya sangat besar, ya.
Tidak hanya besar, tapi malah bisa leaping, kuantum. Gue selalu bilang bahwa entah musik atau film itu tidak akan lepas dari akarnya: pendidikan. Sementara, dewasa ini, kurikulum pendidikan kita kacau balau. Film atau media audiovisual lainnya akan menjadi modal yang efektif untuk pengajaran. Kita sebetulnya sudah ada bahannya. Tapi, pemerintah belum memanfaatkannya sama sekali.
Ambil contoh film pendek, karena film jenis ini yang paling cocok untuk edukasi, itu bisa menghasilkan ribuan judul tiap tahunnya. Alangkah baiknya jika pemerintah melakukan kurasi, dibikin katalog, beli lisensinya, dan jadikan materi pengajaran di sekolah-sekolah. Itu yang tidak diperbincangkan secara komprehensif. Film memang powerful, tapi persoalannya adalah bagaimana implementasinya dalam kerja-kerja praktik.
Soal pernyataan tentang Cannes di media kemarin, apa yang sebetulnya terjadi?
Gue terlalu sembrono juga, sih, karena interview via WhatsApp. Maksud gue, jangan-jangan yang perlu dilakukan adalah shifting market. Bukan Cannes, tapi festival yang terdekat di Asia Tenggara dulu. Idealnya, sebelum sampai Cannes, kita harus punya track dulu. Jangan-jangan kita perlu memetakan ulang tentang festival dunia.
Jangan-jangan yang perlu kita kirim ke Cannes adalah professional marketer untuk melihat kondisi yang ada. Apa yang bakal kita jual dan lain sebagainya. Selama ini, kita terlalu sering bermain asumsi. Data-data empiris tidak digelar dan disusun ulang. Alangkah baiknya jika kita membereskan landasannya dulu.
Oke, mari kita sepakati Cannes memang penting. Tapi, festival film lain juga penting. Dari festival film animasi sampai dokumenter. Jika hanya fokus ke Cannes, lalu di mana tempat filmmaker animasi? Di mana tempat filmmaker dokumenter? Maksudnya, jadi adilkah ini? Selama ini kita investasi banyak di Cannes, tapi tidak di festival lain. Mungkin kita memang hadir di festival lain, tapi sebagai individu dan tidak proper sebagai negara. Are we fair?
Adalah menjadi penting ketika kita bersepakat terlebih dahulu bahwa ada banyak aspek perfilman yang belum kita pikirkan dan gagas. Contohnya kajian film. Pengkaji film itu penting bagi ekosistem film namun jarang diperhatikan.
Ini adalah tentang proses. Tentang sesuatu yang tidak bisa diprediksi selama satu atau dua tahun. Ada omongan yang menyatakan, ‘Wah, filmnya Jepang banget. Wah, film ini Korea banget.’ Mengapa muncul pendapat seperti itu? Karena pada dasarnya kesimpulan itu disusun lewat proses yang panjang dan berkesinambungan. Brand development. Kita belum melakukannya.
Dalih klise yang mungkin diutarakan adalah keterbatasan dana. Bagaimana menurut Anda?
Ini isu yang sensitif dan harus dikonfirmasi ke Bekraf dan Pusbang terlebih dahulu. Namun, yang penting adalah jangan terjebak di obrolan seberapa besar dana yang ada tapi soal bagaimana dana itu dipakai secara efektif dan efisien. Tantangannya adalah mengelola angka jadi value.
Kalau kita bertarung pada wacana dana, jadi seolah-olah permasalahan ada di uang semata. Takutnya itu. Padahal, kalaupun dananya banyak tapi wrong spending, juga sama saja. Masalahnya, jika kita bisa spend a lot di Cannes, mengapa di festival lain tidak? Jika kemudian muncul alasan “film itu tidak kuat,” ya, kita perkuat sama-sama.
Untuk menuju ke sana, harus ada jejak yang dibuat. Satu per satu. Mungkin menjajaki Asia Tenggara dulu sebelum ke Cannes dan seterusnya. Proses memang, dan perlu waktu tidak sebentar.
Jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lain, bagaimana posisi perfilman Indonesia?
Tanpa bermaksud untuk jadi chauvinis, kita punya kekuatan dibanding negara Asia Tenggara lainnya. Terutama content creator-nya. Berdasarkan pengalaman datang ke festival-festival, film Indonesia sangat dinamis dan luwes. Mungkin yang mirip Indonesia, in my humble opinion, itu Filipina. Di sana komunitas film tumbuh hingga fusi antar disiplin juga terjadi. Ini membuktikan Indonesia punya potensi besar sebagai kolektif. Gue selalu mengingatkan dengan potensi yang besar ini, kenapa kok masih ada yang mengeluh kurang ide cerita? Ini jadi salah satu tantangan juga ke depannya.
Apa yang bisa direfleksikan dari polemik soal Cannes?
Gue berharap semua pihak bisa berpikir adil terlebih dahulu. Memang semua festival penting, tapi kita harus tetap adil. Jangan-jangan tahun ini tahunnya animasi. Tahun depan, tahunnya dokumenter, begitu dan seterusnya. Kita di sini berbicara sebagai sebuah nation yang mewakili banyak kepentingan dan tujuan yang besar.
Soal Cannes, ini jadi momen buat semua pelaku film untuk reconsider tentang apa yang harus kita capai dan langkah apa yang harus disusun. Harus duduk satu meja dan membicarakannya dengan sama-sama. Dan, jangan lupa bahwa sektor non-komersil perfilman Indonesia punya potensi dan kontribusi yang besar. Selama ini, belum ada wadah untuk menampungnya.
Padahal, dari 99,9 persen populasi festival film Indonesia dikelola secara mandiri. Dari angka itu, sedikit yang mendapatkan dukungan pemerintah. Sementara, dengan kata lain, pemerintah ‘hadir’ di Cannes yang notabene butuh dana tak sedikit.
Yang harus ditekankan dari statement gue kemarin adalah konteks Indonesia yang lebih besar. Inilah yang jadi misleading. Seolah-olah datang ke Cannes itu tidak penting. Cannes penting, tapi Sundance dan festival lainnya juga penting.
Pun kalau yang ada filmmaker Indonesia yang dapat kesempatan ke Cannes lewat seleksi atau pitching forum, ya, harus didukung. Cuma, pastikan kehadiran mereka sudah ada target dan rencana. Tentu yang realistis.
Harapannya, sekali lagi, semua pihak mampu melihat permasalahan yang ada. Obrolin sama-sama dan saling jujur sama lain. Ada banyak hal yang harus diperbaiki. Jika memang proses membenahi itu membuat kita tidak hadir di festival macam Cannes, ya, jangan dipaksakan untuk tetap hadir.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf