tirto.id - Bencana gempa, likuifaksi, dan tsunami di Sulawesi Tengah (Sulteng), berdampak pada pelaksanaan kampanye Pemilu 2019 di provinsi tersebut. Kampanye Pileg dan Pilpres 2019 langsung diimbau berhenti sementara hingga kondisi Sulteng kembali normal.
Imbauan itu berasal, salah satunya, dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Tjahjo menyarankan, kontestan Pemilu 2019 dipersilakan menyalurkan bantuan, asal tak diiringi dengan orasi atau yel-yel yang berbau kampanye.
"Yang penting saya mohon pada KPU jangan ada kampanye dulu. Setop. Mari empati pada warga yang kena musibah sambil lihat tahap berikutnya," kata politikus PDIP tersebut di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (1/10/2018).
Usulan Tjahjo ditanggapi Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan mengatakan, masa kampanye sebenarnya tidak bisa dihentikan hingga 13 April 2019. Akan tetapi, ia sepakat dengan Tjahjo, kampanye sebaiknya dihentikan terlebih dahulu.
Ketua Bawaslu RI Abhan menjelaskan, ada potensi penyaluran bantuan dari peserta Pemilu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran. Menurutnya ada peraturan KPU yang menyebut, peserta Pemilu dilarang memberi uang atau materi apa pun kepada masyarakat selama masa kampanye.
"Ada ketentuan money politic, dilarang memberikan barang atau materi lainnya yang mengajak untuk memilih. Ini jangan sampai antara misi kemanusiaan tetapi nanti berkaitan dengan hukum. Nanti kami diskusikan batasannya apa," ujar Abhan di kawasan Tugu Tani, Jakarta, Rabu (3/10/2018).
Larangan yang dimaksud Abhan tercantum dalam Pasal 69 PKPU Nomor 23/2018. Aturan yang sama juga termuat pada Pasal 72 PKPU tersebut. Kemudian kewenangan Bawaslu dan KPU untuk memastikan ketiadaan politik uang saat kampanye, tercantum dalam UU Pemilu.
Menurut Abhan, jika hendak sebatas mengacu pada UU Pemilu dan PKPU 23/2018, maka bantuan kemanusiaan dari peserta Pemilu bisa dikategorikan pelanggaran. Untuk menghindari polemik, Bawaslu berniat membicarakan persoalan itu dengan KPU RI.
"Misalnya kalau truk [pengangkut bantuan] ada simbol partai tidak masalah. Ketika didrop di satu tempat dan ada logo partai juga tak masalah," ujar Abhan.
"Tetapi kami tentu tegas ketika barang itu dibagikan jangan ada simbol dari partai. Misal partai X kasih indomie ada simbol partai, itu nanti berpotensi jadi persoalan money politic," imbuhnya
Abhan menuturkan, pembicaraan soal batasan antara money politic dan bantuan kemanusiaan di lokasi terdampak bencana bisa segera dituntaskan. Menurutnya ada kemungkinan batasan dan ketentuan bantuan kemanusiaan dan kampanye akan tertuang di Surat Edaran (SE) KPU RI.
Larangan yang Ambigu
Ahmad M Ali, salah satu kader Partai Nasdem menegaskan penyaluran bantuan ke korban bencana Sulteng harus tetap dilakukan. Caleg DPR RI itu mengatakan, politikus harusnya tak dibuat canggung untuk menyalurkan bantuan.
Ali menjelaskan anggapan bantuan Parpol dan peserta Pemilu mengandung motif kampanye adalah tak wajar. Maka dari itu, dia mendesak Bawaslu segera membuat batasan yang jelas antara bantuan kemanusiaan dengan kampanye politik.
"Betapa naifnya kalau kemudian kita berpikir, karena saya seorang caleg, terus saya tak bisa melakukan kerja sosial. Ini batasan kampanye apa? Yang dimaksud Bawaslu apa?" kata Ali kepada reporter Tirto.
Ali menegaskan Sulteng dalam keadaan darurat dan butuh banyak bantuan. Selama ini ia menerjunkan kendaraan operasional Partai Nasdem untuk membantu korban. Maka dari itu, dia meminta solusi dari Bawaslu ketika ingin melarang membawa atribut kampanye di lokasi bencana.
"Saya menyalurkan itu sudah pasti menggunakan mobil Partai Nasdem. Selama ini di Palu ini mobil ambulans saya itu angkut ratusan mayat. Mobil ambulans Nasdem. Itu bagaimana definisikan itu. Kalau Nasdem tak berikan bantuan terus masyarakat makan apa?" katanya.
Tanggapan lain diberikan kader PAN asal Palu, Sarifudin Sudding. Dia menganggap imbauan Tjahjo Kumolo ambigu. Sebab pembatasan penyaluran bantuan harusnya tak diacam masuk kategori pelanggaran pada masa kampanye.
"Sangat naif lah kalau orang menderita gini baru kemudian ada yang mau menggunakan untuk kepentingan politik. Tapi kalau ada tanda, misal posko ini milik saya, ya enggak apa-apa lah," kata bekas politikus Partai Hanura ini kepada reporter Tirto.
Sedangkan Caleg Partai Gerindra dari Sulteng Supratman Andi Agtas sepakat setiap politikus yang membantu korban bencana Sulteng, menanggalkan atribut atau identitas partainya.
Supratman mengaku membuka sejumlah posko dan dapur umum di beberapa titik terdampak bencana. Dia mengklaim tak ada identitas dan simbol-simbol partai yang digunakan dalam posko serta dapur umum itu.
"Saya rasa memang tidak etis ya jika membawa bendera segala macam yang bersinggungan langsung. Kalau untuk yang lain-lain, LSM itu tak ada masalah karena itu tugas kemanusiaan," kata Supratman kepada reporter Tirto.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Dieqy Hasbi Widhana