tirto.id - “Tutup, tutup, tutup pintunya! Tutup pintunya sekarang juga!”
Tiga ribuan pembeli, tua-muda, laki-perempuan, anak-anak remaja dan orang tua, berteriak kepada para petugas tentara di Markas Kostrad ketika antrean tiket final AFF tidak bisa lagi ditolerir. Mereka berseru agar tentara segera menyetop arus masuk pembeli di luar gerbang. Mereka sudah membentuk antrean sejak dini hari, bahkan ada yang sudah berada di lokasi sejak malam. Desakan massa dari luar itu memotong jalur antrean. Tak lama kemudian terjadi aksi saling dorong, lempar botol dan desak-desakan, orang sesak napas dan pingsan.
Semua itu diatur tentara, di lokasi tentara, di dalam kompleks tentara. Sementara pejabat PSSI—yang berkata bahwa peran militer dibutuhkan untuk mengurusi tiket—dengan santai berkata bahwa kondisi itu berjalan “aman.” Panglima Kostrad Letnan Jenderal Edy Rahmayadi adalah ketua umum PSSI terbaru yang terpilih November lalu.
Antrean sudah terlihat sejak subuh dari para pembeli yang telah datang bahkan dari pukul 7 malam hari Senin, (12/12). Pelan-pelan di luar gerbang Makostrad telah menyemut puluhan, ratusan, dan ribuan orang.
Sekitar pukul 6:00 pintu gerbang dibuka. Oleh tentara yang menjaga pintu masuk, gerbang sengaja dilewati cuma cukup untuk satu-dua orang. Semakin banyak, para tentara mengatur mereka untuk berbaris. Perintahnya: para antrean jangan sampai menginjak rumput lapangan.
Belasan tentara, sebagian terkonsentrasi di gerbang, membuat barisan pembeli membentuk huruf U, mengikuti jalur aspal yang mengitari halaman rumput markas Kostrad. Sembari menunggu loket dibuka—direncanakan oleh PSSI pukul 08:00—para pengantre sibuk bermain ponsel, berfoto dengan kendaraan lapis baja di sekitar lapangan, tidur-tiduran, atau bahkan menggoda wartawan perempuan yang tengah meliput.
Sesekali atas inisiatif sendiri para pembeli mulai melantunkan lagu Indonesia Raya.
Seringkali TNI mengancam tidak akan membagikan tiket bila barisan semrawut, padahal tiket dari PSSI belum datang meski sudah pukul 07.50.
“Ya sudah, kamu jangan ribut terus!” seorang tentara menghardik.
Kekacauan dimulai sejak sebagian besar tentara mulai mengatur antrean, menyisakan dua petugas di gerbang. Kerumunan pembeli di luar gerbang mulai mengacaukan antrean. Mendesak masuk, menyelinap dan menerebos, serta memotong jalur antrean.
Teriakan terdengar. Mereka mengumpat dan memaki.
Petugas yang kalang kabut mulai berteriak, tapi suaranya kalah jauh dari massa antrean. Terjadi adu mulut dan protes antar pembeli dan antrean. Tentara terlihat bingung. Orang-orang mulai panik. Saling desak dan dorong. Untuk menenangkan suasana, tentara mengayun-ayunkan pentungan kepada massa antrean agar duduk tertib. Tidak berhasil, tentara akhirnya menutup gerbang.
Di dalam gerbang, barisan yang diisi mayoritas perempuan dipisahkan tersendiri. Tentara minta mereka didahulukan. Meja karcis sudah dibuka.
Melihat kekacauan antrean di depan dan barisan lain sudah bergerak, antrean di belakang mulai kesal. Benda apapun di dekat mereka—sandal, sampah, botol plastik minuman—mulai dilempar ke antrean depan.
“Duduk!” Tentara menenangkan.
“Petugas sekap dia!” Seseorang di antrean berseru.
Pentungan dibentur-benturkan tentara ke pagar besi. Bukannya bikin tenang antrean, massa sontak bersorak.
Sekalipun antrean sudah teratur menuju meja penjualan tiket, petugas tetap berteriak, “Kalau udah dapat, ya pergi!”
Seorang petugas TNI, mungkin karena capek dan terbawa emosi, akhirnya kesal dan mengumpat kepada pembeli di barisan depan: “Buajingan! Siapa suruh kau ada di depan! Duduk!”
Situasi kembali memburuk satu setengah jam sesudah loket dibuka.
Massa pembeli semakin menggila. Mereka saling dorong. Beberapa terjatuh di selokan dekat halaman rumput di dalam lapangan Kostrad.
Ada belasan orang menderita sesak napas. Ada yang pingsan. Mereka dibawa dengan tandu menuju gedung Garnisun tempat penjualan loket.
Salah seorang yang nyaris pingsan adalah Dedik Priyanto, bekas penyunting di sebuah penerbitan sastra yang kini bekerja di NUtizen.com. Ia sudah mengantre sejak dini hari bersama Wisnu Prasetyo Utomo, penulis sekaligus peneliti kajian media massa. Wisnu berhasil mendapatkan tiket, namun Dedik gagal.
Dedik mengisahkan bagaimana petugas TNI mencoba menertibkan pengantre. Beragam caranya, dari berteriak-teriak, memerintahkan berjongkok, mengayun-ayunkan pentungan ke arah pengantre dengan intensi menertibkan.
"Bahkan ada yang sampai mengarahkan senjata ke arah pengantre," kata Dedi sembari memperlihatkan foto jepretannya yang menunjukkan tentara yang ia maksud.
Tidak Ada Calo Cuma Isapan Jempol
Tingkat emosi massa pembeli meninggi ketika melihat calo di luar gedung.
“Lu calo jangan macem-macem, kita ini penikmat sepakbola, Pak!”
“Buka tas lu kalo emang bukan calo! Gue ngantri dari tadi enggak dapat. Capek!”
“Gerah, woi!
“Udah lu duduk aja dulu!”
“Kalo bukan calo enggak usah banyak omong! Sini duduk diem!”
Yang dituduh calo adalah seorang laki-laki berusia sekitar 40 tahun. Dia membantah dengan muka pucat. Massa terus meneriakinya dan menyeretnya.
Para tentara di dekat kejadian awalnya diam. Barulah ketika si bapak itu memeluk seorang petugas, seraya memohon dengan putus asa, dua orang petugas menariknya dari kerumunan.
Tenang, Semua akan Tentara Pada Waktunya
Meski Sekjen PSSI Ade Wellington hadir sejak pukul 08.00, dia tak banyak berbuat dan hanya sesekali mengarahkan petugas agar mengatur antrean tertib. Soal ricuh, ia cuma berkomentar: “Iya, aman, kan? Enggak ada calo.”
Pertanyaannya: mengapa (tetap) terjadi kericuhan dalam antrean?
Dalam jumpa pers hari Sabtu (10/12), Ade Wellington berkata bahwa keterlibatan militer untuk urusan karcis demi meminimalisir aksi calo.
“Kami ingin akses seluas-luasnya diberikan kepada masyarakat pencinta sepakbola Indonesia. Ini juga bentuk dukungan dari TNI untuk memaksimalkan distribusi tiket bagi masyarakat," kata Ade.
PSSI mengalokasi 15 ribu tiket diserahkan pada militer: 10 ribu di Garnisun, 5 ribu di Markas Kodim 0621 Bogor. Di Markas Kostrad, tiket sudah ludes sebelum jam makan siang. Di Kodim Bogor, hanya dalam tempo 1,5 jam. Kapasitas Stadion Pakansari, Bogor, hanya 30 ribu kursi. Alhasil, mayoritas pembeli yang bahkan datang sejak dini hari harus gigit jari karena tiket langsung habis meski masih menyisakan antrean panjang.
Mengapa penjualan tiket offline tidak di Gelora Bung Karno seperti halnya tiket semifinal?
Awam, seorang pembeli dari Juanda, berkata: “Kacau ini PSSI. Enggak manusiawi. Kemarin saya nonton juga itu yang di GBK! Tapi enggak gini! Ini awalnya lancar-lancar aja dari jam tiga pada baris. Tapi kan pas dibuka ya masuknya sembarangan. TNI enggak bener ngaturnya. Coba di GBK, kan, lancar. Cepet.”
“Iya ini kecil banget!” kata Firman, pembeli dari Bogor. “Salah ini penjualannya. Diatur sama TNI juga enggak ngaruh. Oknum juga mereka itu.”
“Susah sekali perjuangannya, antreannya tidak tertib,” kata Yusuf, pembeli asal Tangerang.
Yusuf mengaku sudah mengantre sejak subuh, tetapi harus berdesak-desakan lebih dari dua jam sebelum bisa mencapai loket. Dia menilai, pengaturan antrean saat ini lebih buruk dari semifinal.
Juli, pembeli dari Cakung, tiba di lokasi sejak pukul 06.00. Dia baru bisa mendapat tiket sekitar pukul 10.30. “Antreannya benar-benar menumpuk. Belum lagi pembelian dibatasi satu orang satu tiket.”
Meski PSSI menjamin tidak ada calo, reporter Tirto.id justru mendapati oknum tentara yang menangani penjualan karcis malah menyimpan tiket. Oknum tersebut terlihat membawa sejumlah lembaran tiket lalu diserahkan kepada seorang perempuan di luar pagar. Ada pula petugas yang membawa tiket dengan berpura-pura menitipkan jaket ke luar pagar.
“Ya, kamu di mana?” ujar petugas itu lewat telepon. “Ini tiketnya satu sudah ada dalam jaket, ya. Saya keluar sekarang.”
Saat diklarifikasi ke PSSI terkait temuan di lapangan ini, Wakil Ketua Umum PSSI, Djoko Driyono dengan enteng menjawab.
"Ya tentu saja itu oknum. Ketua Umum PSSI kan sudah komitmen yang ketangkap pasti diproses hukum. Tapi, kami ingin publik menyadari jangan sampai karena keinginannya tinggi kemudian menyuburkan perilaku percaloan tadi. Kita harus menyadari bahwa kapasitas stadion yang sangat terbatas. Jadi saya kira itu bisa saja (ada oknum TNI). Udah ya," kata Djokdri yang kemudian meminta mengakhiri pembicaraan di telepon
Sebenarnya pertanyaan tentang bagaimana mengatasi calo berkedok petugas ini sudah pernah ditanyakan dalam konferensi pers di kantor PSSI. Namun, saat itu Ade Wellington hanya berjanji akan mencoba mengorganisir dengan lebih baik lagi.
“Kita akan evaluasi kejadian tersebut untuk pertandingan final nanti,” ujarnya.
Ketua Umum PSSI, sekaligus Panglima Kostrad, Edy Rahmayadi, sudah dihubungi Tirto terkait aparat TNI yang bermain dengan penjualan tiket. "Orang sedang sibuk untuk martabat bangsa ini kamu malah sibuk dengan menyudutkan orang lain," tukas Edy menolak memberikan jawaban.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Fahri Salam