tirto.id - Sutradara Rikiya Imaizumi pernah bilang tentang proses sinematiknya bahwa dia tidak suka tokoh-tokoh di filmnya membesar-besarkan emosinya sendiri.
Dalam sebuah wawancara yang sama, usai filmnya By the Window tayang di Tokyo International Film Festival 2022 lalu, Imaizumi juga bilang sering mencoba menghindari orang menangis, berteriak, dan terlalu sering menyentuh satu sama lain dalam film-filmnya.
"Itu tidak realistis. Saya ingin membuat film yang terasa dekat dengan kehidupan nyata.”
Hal ini terlihat di film-filmnya, mulai dari Sad Tea(2013), Their Distance (2016), Same Old, Same Old (2017)—ketiganya pernah berkompetisi di TIFF, hingga yang terbaru Call Me Chihiro (2023, Netflix).
Film Call Me Chihiro dibuka dengan fragmen-fragmen pendek sosok perempuan 30 tahunan berinteraksi dengan stray cat. Kamera berlanjut menyorot perempuan ini di taman, mengayukan badannya yang berdiri girang di atas ayunan. Adegan kemudian merekam ekspresinya yang biasa saja, menggeliat saat melihat laut.
Secara visual, sekuens pembuka tersebut telah mengarahkan penonton tentang siapa tokoh yang bakal banyak dibicarakan selama 131 menit durasi film.
Protagonis Call Me Chihiro adalah Aya (diperankan Kasumi Arimura) yang mempunyai nama panggung "Chihiro" saat bergabung di panti pijat sebagai pekerja seks komersial. Selepas pensiun dari pekerjaannya di panti pijat, Chihiro bekerja di kedai nasi kotak Noko-Noko, kepunyaan pasangan Bito dan Tae.
Sepanjang film, penonton akan menyaksikan keseharian perempuan (yang terlihat) selalu riang, bahkan tetap riang dan percaya diri, sekalipun orang-orang di sekitarnya tahu dia eks PSK.
Seperti perempuan kebanyakan pada umumnya, Chihiro berteman dengan para laki-laki pekerja bangunan pelanggan kedai bento-nya. Dia juga baik terhadap orang-orang yang kerap membicarakan dirinya di belakang. Dia menjalin relasi dekat dengan Makoto, anak laki-laki yang kerap ditinggal ibunya yang single mother bekerja.
Chihiro juga berteman dekat dengan Becchan dan Okaji, dua anak SMA penggemar manga yang sama-sama punya masalah dengan keluarganya sendiri. Film ini juga mendedah relasi Chihiro dengan teman transgender dan bos eks panti pijat yang kini berbisnis di toko ikan usai bercerai dari istrinya.
Dari adegan-adegan keseharian itu, tampak sekali niatan sutradara Rikiya Imaizumi yang sama sekali tidak tergoda untuk mendramatisasi kisah hidup mantan PSK ini. Alih-alih, dia memilih menempatkan fragmen-fragmen hidup Chihiro dalam rutinitas-rutinitas kecil dengan alur yang lambat.
Karena sifatnya yang “sehari-hari” ini, narasi film seakan-akan berjalan tanpa pola yang jelas—sebuah jebakan yang rentan membuat “penonton-penonton pesimistis” mematikan layar filmnya.
Rekonstruksi Esensi KeluargaCall Me Chihiro. FOTO/Youtube/Netflix Asia
Rikiya Imaizumi mendesain sedemikian rupa agar protagonisnya konsisten melakoni karakternya.
Imaizumi memilih menempatkan Chihiro di taman untuk bermain dengan anak-anak kecil, mendengarkan cerita-cerita sederhana Bibi Tae saat melipat kertas origami di rumah sakit, atau kisah-kisah di balik acar asam di kotak bento yang Chihiro makan bersama kakek tua, pemulung yang kemarin ia mandikan dengan riang di rumahnya.
Terlihat tidak ada pola penekanan pada satu adegan tertentu sehingga satu-satunya yang dapat “dipetakan” dari filmini adalah relasi protagonis dengan orang-orang di sekitarnya. Hubungan interpersonal tersebut nyatanya saling melekat satu sama lain dan mendedah satu premis menarik (sekaligus gelap) terkait apa itu esensi keluarga sebenarnya.
Premis ini semakin kentara saat adegan Chihiro menerima telepon saudaranya yang mengabarkan bahwa ibu Chihiro meninggal. Dengan mantap, perempuan periang dan baik hati ini menjawab tidak akan hadir di pemakaman ibu kandungnya itu.
Kabar meninggalnya ibu kandung Chihiro ini menjadi rambu-rambu yang mengarahkan narasi film. Ia sekaligus mengkonfirmasi premis cerita: nyatanya keluarga tak selamanya terinstitusi dengan ikatan darah.
Pada titik ini, informasi yang diketahui penonton adalah protagonisnya (yang baik hati ini) enggan menganggap ibu yang melahirkannya sebagai keluarga.
Berita meninggalnya ibu kandung Chihiro ini mempunyai signifikansi penting dalam film. Untuk penonton, adegan ini berfungsi menginformasikan relasi yang tak lagi dekat antara tokoh utama dan ibunya. Untuk Chihiro sendiri, adegan ini berfungsi sebagai fondasi dasar konstruksinya membangun ulang versi keluarga yang ingin dia imani.
Niatan Chihiro merekontruksi makna keluarga ini terkonfirmasi melalui beberapa tahapan. Pertama, saat muncul serangkaian kalimat atau kutipan kunci dalam narasi film.
“Kita semua alien dalam tubuh manusia. Mereka bilang semua orang sama, tapi kita semua sebenarnya berasal dari planet yang berbeda. Maka wajar kita tak bisa saling memahami. Bahkan itu keluarga, pasangan, teman.”
Tahapan selanjutnya adalah ketika kutipan tersebut digunakan sebagai katalis untuk memasukkan orang-orang yang menerima diri Chihiro sebagai keluarga.
Lihat saja di adegan Tae yang tersenyum penuh pengertian saat Chihiro bilang bahwa pekerjaan dia sebelumnya adalah pekerja seks.
“Saat itu, aku pikir kamu berasal dari planet yang sama denganku. Kau orang kedua dalam hidupku yang membuatku merasakan seperti itu," tutur Chihiro sambil memeluk Tae, yang dia anggap sebagai ibunya sendiri.
Tahapan lainnya adalah di adegan Chihiro berlibur bersama bos panti pijatnya. Chihiro mengatakan, "Kurasa aku tahu jawabannya mengapa Bos tidak pernah mencoba meniduriku. Jawabannya adalah, kau seperti ayah bagiku."
Kerja-kerja Chihiro “menculik” orang-orang dan menjadikannya bagian keluarganya ini juga tampak dari relasinya dengan kakek tua pemulung. Dia memandikan kakek tua seperti kakeknya sendiri, bahkan juga menguburkan jenazahnya.
Tampak juga pada relasi kakak-adik yang dilekatkan pada Makoto, Becchan, atau juga Okaji. Puncaknya adalah adegan makan malam bersama, saat-saat Chihiro mengumpulkan seluruh “keluarganya” dalam satu momen yang sangat intim.
Narasi film yang awalnya terlihat “hanya” bercerita tentang rutinitas sehari-hari Chihiro, nyatanya mampu menjadi sebuah eksplorasi hubungan keluarga yang tak melulu diikat pertalian darah. Justru sebaliknya, ada jenis-jenis keluarga yang terbangun dari penerimaan-penerimaan atas ketertolakan.
Pekerja Seks Komersil Adalah PEKERJACall Me Chihiro. FOTO/Youtube/Netflix Asia
Dalam Call Me Chihiro, sutradara Rikiya Imaizumi sangat telaten merawat karakter utamanya, Chihiro mantan PSK di panti pijat yang riang, berjiwa bebas, dan baik hati.
Pekerjaan Chihiro sebagai PSK ini rentan dianggap cela dan aib, terutama dalam masyarakat yang gemar mengkotak-kotakkan manusia dengan label status sosial ini. Elemen-elemen perempuan genit dan pengganggu mungkin sudah jadi imajinasi mayoritas penonton tentang eks PSK.
Di tangan Imaizumi, imajinasi ini justru dipakai sebagai pemantik penting untuk mempertanyakan dua hal. Pertama, sutradara menguji orang-orang sekitar Chihiro (termasuk juga menguji penonton) tentang bagaimana bersikap ketika berhadapan dengan seorang mantan pekerja seks.
Kedua, bagi Chihiro sendiri, status pekerjaannya sebelumnya adalah alat saring otomatis untuk mengetahui siapa-siapa saja yang tetap mau dekat dan berteman dengannya, apa-adanya.
Menariknya lagi, dari awal film, Chihiro dan sineas dengan konsisten mendudukkan PSK sebagai jenis pekerjaan yang biasa saja. Sama biasanya dengan pekerjaan penjual bento atau peternak sapi. Hal ini dapat dikonfirmasi dari sikap Chihiro yang biasa saja mendengar orang-orang menggunjingkannya sebagai eks PSK atau juga dari pilihannya menggunakan nama panggung PSK-nya hingga saat ini.
Setiap adegan rutinitas Chihiro (yang remeh) dengan orang lain, nyatanya mampu menghadirkaan momen-momen pemaknaan tersendiri. Di sinilah letak kesuksesan naskah yang disusun sineas. Ada sejumlah tautan antar-elemen cerita yang memuluskan progresi narasi, melekatkan antar-lapisan relasi, dan akhirnya menguatkan premis cerita.
**
Dalam eksekusinya, Call Me Chihiro akan menuntut kesabaran tersendiri dalam diri penonton. Kelambatan cerita, plot yang datar-datar saja, menjadikan film ini mudah ditinggalkan, terutama bagi para penonton pesimistis. Menariknya, pilihan yang serba sederhana ini memiliki fungsi dalam kerangka besar cerita yang kompleks.Menyaksikan Call Me Chihiro adalah perjalanan sinematik yang pantas ditempuh lebih banyak penonton. Film Jepang ini mengajak bersama-sama memaknai definisi “keluarga” dalam arti yang lebih lentur. Tidak kaku dan serba dibatasi dengan ikatan darah semata.
Keluarga tidak melulu yang bertugas melahirkan anak-anak mereka. Ada juga jenis keluarga lainnya yang justru dilahirkan dari relasi intim yang berawal dari penolakan anak-anak.
Keluarga bukan satu-satunya institusi yang boleh melabeli identitas atau memberi nama anak-anak mereka. Melalui Call Me Chihiro, kita sama-sama memahami, bahkan seorang anak juga mampu memberi kuasa tubuhnya untuk menamai dirinya sendiri: Chihiro.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi