tirto.id - Franco Borrelli sebetulnya ingin menikmati masa tuanya dengan tenang: membaca buku, bermain dengan cucu-cucu kesayangan, maupun menyusuri jalanan kota Roma di waktu senja. Setelah hampir seumur hidup mencurahkan pikirannya di dunia kehakiman, keinginan di atas kiranya tak berlebihan—dan wajar adanya.
Tapi, Borelli (terpaksa) harus menunda rencana-rencana itu. Pada 2006, ia diminta Federasi Sepakbola Itali (FIGC) untuk memimpin misi investigasi. Pemilihan Borelli bukannya tanpa sebab. Semasa menjabat sebagai hakim, Borelli dikenal punya reputasi yang beringas. Borelli adalah hakim yang mengobarkan perang melawan korupsi secara besar-besaran pada awal 1990-an. Genderang perang ini menghasilkan penangkapan 3.200 politisi serta pengusaha lokal karena tuduhan yang sama: korupsi.
Kali ini, tugas Borelli tak kalah sulit. Berbekal pengalamannya, ia diharapkan dapat membongkar skandal suap, korupsi, dan pengaturan skor yang melibatkan puluhan klub, pemain, wasit, hakim, hingga politisi yang dilakukan secara masif, terstruktur, dan sistematis. Skandal ini dikenal dengan nama Calciopoli dan menjadi potret paling kelam sepakbola Itali.
Satu Otak Mengacau Segalanya
Tradisi suap dan pengaturan skor di Eropa biasanya tak jauh-jauh dari beberapa hal berikut ini: uang tunai, perempuan, dan ancaman pembunuhan. Ketika ketiga faktor tersebut bisa dipenuhi, maka wasit dan pertandingan pun gampang dipengaruhi. Namun, di Itali, negara dengan riwayat politik yang korup, praktiknya tidaklah demikian.
Investigasi calciopoli dimulai pada musim 2004/2005 ketika Juventus berhasil memenangkan gelar juara liga dengan 86 poin—unggul tujuh angka dari rival terdekatnya, AC Milan. Penyelidikan FIGC, dibantu otoritas kejaksaan dan polisi, memperlihatkan ada setidaknya 20 pertandingan Juventus yang dianggap “mencurigakan” dan terindikasi kuat hasil kongkalikong dengan wasit.
Sebagaimana ditulis Babatunde Buraimo, Giuseppe Migali, dan Rob Simmons dalam makalah berjudul “An Analysis of Consumer Response to Corruption: Italy's Calciopoli Scandal” (PDF, 2014), para wasit didorong membuat keputusan untuk memberikan keuntungan bagi Juventus. Keputusan itu, jelas Buraimo dkk., tak harus diambil saat memimpin pertandingan Juventus, tapi juga bisa kala mereka memimpin jalannya pertandingan tim-tim lain yang kiranya punya pengaruh dalam konstelasi perburuan gelar liga.
Menurut makalah tersebut, ada tiga bentuk intervensi yang dilakukan pejabat Juventus kepada wasit. Pertama, wasit yang dikenal punya kecenderungan mendukung Juventus dialokasikan untuk pertandingan-pertandingan penting nan menentukan bagi mereka. Kedua, para wasit ini didorong untuk memberikan keputusan menguntungkan bagi Juventus. Ketiga, wasit akan menerima ancaman skorsing dari tugas hingga—yang terburuk—pemecatan apabila keinginan direksi tidak dipenuhi.
Kendati penyelidikan awalnya difokuskan pada Juventus, tim FIGC menemukan fakta bahwa beberapa pejabat tim lain juga melakukan praktik serupa. Klub tersebut antara lain Arezzo, Fiorentina, Lazio, AC Milan, hingga Reggina. Juli 2006, jaksa FIGC mendorong agar gelar juara liga musim 2004/2005 dan 2005/2006 milik Juventus dihapus.
Aksi culas yang dilakukan sedemikian rapi tersebut tentu tak muncul begitu saja. Ada dalang di balik layar. Ia adalah Luciano Moggi, yang saat skandal terjadi, menjabat sebagai Direktur Umum Juventus. Berdasarkan ratusan rekaman percakapan dan ribuan dokumen yang masuk meja FIGC, tim penyelidik menyimpulkan bahwa Moggi punya andil penting dalam mengatur skandal.
Untuk mewujudkan misinya, Moggi bergerak begitu senyap. Tak ada bukti transaksi sejumlah uang ke rekening wasit, tak ada pemain yang disinyalir menerima amplop. Moggi, entah bagaimana, bisa memilih wasit untuk pertandingan Juventus, memengaruhi pemilihan wasit untuk tim lain, menunda atau membatalkan pertandingan, dan menyetir arah liputan media. Publik menyebutnya sebagai “Moggiopoli.”
Menurut keterangan penyidik, seperti ditulis Jason Burke dalam “Paradiso to Inferno” yang dipublikasikan The Guardian, Moggi rata-rata membuat dan menerima 416 panggilan per hari. Ia memiliki enam ponsel dan 300 kartu sim. Dalam sembilan bulan, ia melakukan kurang lebih 100 ribu panggilan. Juga, pastinya, Moggi punya teman di mana-mana—di jajaran pejabat senior federasi sepakbola, di klub, dan di antara para pemain.
Agen pemain milik Moggi, GEA, ambil contoh, menaungi 200 pemain. Di komando anaknya, Alessandro, GEA mempekerjakan anak-anak dari sosok penting di industri bola Itali; putra mantan Presiden Lazio, Sergio Cragnotti, anak dari pelatih Itali, Marcello Lippi, serta Chiara Geronzi, putri Kepala Capitalia—investor Lazio—Cesare Geronzi.
Nama Moggi, dalam dunia sepakbola Itali, bukanlah nama kemarin sore. Ia sudah terjun ke ranah bal-balan sekurang-kurangnya sejak era 1980-an. Moggi membangun karier—dan citranya—di klub-klub besar: dari Lazio, Napoli, sampai akhirnya duduk manis di Juventus. Sebelum tersandung calciopoli, Moggi lebih dulu punya pengalaman yang tak kalah pahit: menjadi saksi pengaturan skor yang melibatkan Lazio pada 1980 dan terlibat perseteruan dengan bintang Napoli, Diego Maradona—karena tabiat sang megabintang (mabuk-mabukan hingga konsumsi kokain) yang merusak citra klub.
Pada paruh kedua dekade 1990-an, Moggi perlahan membangun kekuatan dan pengaruhnya. Moggi, dengan piawai memainkan dua sisi mata uang: ia bisa menjadi kolega yang baik, tapi ia juga dapat menjadi musuh yang menyeramkan. Moggi, di saat bersamaan, berhasil mengembangkan gaya diplomasi yang tajam dan bikin pihak lain tak berkutik. Ketika Moggi mengatakan “Aku akan membantumu,” itu sama halnya berarti “Aku memberimu tawaran yang tak bisa kau tolak.”
Gianni Bondini, kolumnis Gazzetta dello Sport, mengungkapkan bahwa skandal calciopoli berakar pada komersialisasi sepakbola Itali. Moggi bisa punya reputasi yang sangar karena Serie A, pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, menjadi liga paling glamor—sekaligus paling punya banyak duit—di antara liga-liga lain di belahan dunia.
“Orang Italia memelopori internasionalisme sepakbola modern,” katanya. “Ingat ketika Maradona datang ke Naples pada 1984? Ketika uang masuk, olahraga keluar dari jalurnya. Memang kami punya liga yang kaya, tapi sistem sepakbolanya merosot. Dan itu benar-benar berantakan.”
Bondini menambahkan, apa yang dilakukan Moggi adalah hal yang “sangat Italia.”
“Di sini, di Itali, Anda memiliki kompromi yang berkelanjutan dengan hukum. Anda tidak melanggar hukum ... tetapi Anda juga tidak benar-benar menaatinya.”
Sementara Andrea Manzella, profesor di School of Government Luiss Guido Carli, menjelaskan tujuan Moggi bukan sebatas memenangkan pertandingan atau memperoleh keuntungan untuk dirinya sendiri, melainkan juga menciptakan lingkungan yang paling menguntungkan bagi klubnya—agar demikian sukses.
Setelah menjalani proses penyelidikan dalam waktu yang cukup lama, akhirnya hukuman pun dijatuhkan. Juventus diputus degradasi ke Serie B, mendapat pengurangan poin sebesar sembilan poin, tidak berhak mengikuti Liga Champions Eropa 2006/2007, serta gelar Serie A musim 2004/2005-2005/2006 dilucuti.
Kemudian Lazio memperoleh pengurangan tiga poin untuk Serie A musim 2006/2007 dan tidak berhak mengikuti Piala UEFA 2006/2007; Fiorentina dikurangi 19 poin untuk Serie A musim 2006/2007, tidak berhak mengikuti Liga Champions Eropa 2006/2007; AC Milan dapat pengurangan delapan poin untuk Serie A musim 2006/2007 dan pengurangan 30 poin untuk Serie A musim 2005/2006; serta Reggina dijatuhi denda senilai £68.000, di samping presiden mereka, Pasquale Foti, didenda sebesar £20.000 dan dilarang beraktivitas di dunia sepakbola selama dua setengah tahun.
Lantas bagaimana Moggi? Ia dicekal beraktivitas di dunia sepakbola seumur hidup.
Skandal yang mencoreng wajah bola Italia ini semestinya membikin para pihak di dalamnya berbenah. Tapi, memang dasarnya mereka tak punya urat malu, enam tahun usai calciopoli meletus, publik Itali lagi-lagi digegerkan dengan kabar pengaturan skor. Sebanyak 14 orang ditahan, termasuk kapten Lazio, Stefano Mauri, dan mantan pemain Genoa, Omar Milanetto.
Di situsnya, FIGC, mengutip pemberitaan The New York Times, mengatakan bahwa penangkapan tersebut merupakan bagian dari penyelidikan yang lebih luas oleh jaksa di Cremona, Bari, dan Naples yang melibatkan beberapa tim liga utama. Kabar itu bikin Perdana Menteri Itali, Mario Monti, geram. Ia bahkan meminta agar sepakbola di Itali ditangguhkan selama dua atau tiga tahun—sesuatu yang Anda ketahui mustahil terjadi.
Memutus rantai suap dan pengaturan skor perlu upaya yang keras. Tindakan culas semacam ini tak ubahnya sudah jadi budaya. Menangkap satu kepala rupanya tak benar-benar menjamin terciptanya reformasi. Merombak besar-besaran hingga bagian akar dalam struktur yang ada mungkin bisa jadi jalan keluar. Itali telah mencoba dan hasilnya tak kelewat menggembirakan. Bagaimana dengan Indonesia?
Editor: Nuran Wibisono