tirto.id - Dalam gelaran Serie A musim 2017/2018, para penantang Juventus tampak meyakinkan untuk mengusik dominasi Si Nyonya Tua. Napoli, di bawah asuhan Mauro Sarri, sudah tidak lagi hanya bisa memainkan sepakbola seksi. Permainan mereka semakin mantap dan tak sulit menghasilkan angka demi angka.
AC Milan, tim yang berada di peringkat kedua, mulai serius menambah gelar Serie A dan menguras isi brankas untuk mengumpulkan pemain-pemain bintang. Pada musim panas 2017, untuk mendatangkan Leonardo Bonucci, Andre Silva, hingga si jago tendangan bebas Hakan Calhanoglu, mereka mengeluarkan dana sebesar 879,2 juta euro—menjadi tim terboros di Italia.
Inter Milan, tetangga AC Milan, juga tak mau kalah. Setelah sering bergonta-ganti pelatih, mereka memilih Luciano Spaletti. Pelatih ini memang salah satu pelatih kelas atas di Italia. Instingnya tajam, hitung-hitungannya matang, dan ia pernah membuat AS Roma bermain tanpa penyerang dengan memanfaatkan kemampuan Francesco Totti berfantasi. Barangkali Inter mempunyai satu prinsip: revolusi, terutama soal taktik dan strategi di atas lapangan.
Dua andalan kota Roma, Lazio dan AS Roma, memang tak terlihat serius sebagai penantang. Meski begitu, mereka siap membuat kejutan. Kedua tim tersebut akhirnya menjadi bagian tim-tim yang tampil menarik di Serie A musim itu. Sementara Lazio menjadi tim yang paling rajin membobol gawang lawan—mencetak 89 gol dalam 38 pertandingan, Roma berhasil finis di peringkat ketiga.
Lantas, bagaimana Serie A musim itu akhirnya rampung?
Sebuah cerita lama yang berulang: Juventus kembali menggenggam gelar. Mereka berhasil memgumpulkan 95 angka, unggul empat angka dari Napoli yang finis di urutan kedua.
Setelah kemenangan Juventus itu, Paolo Bandini, pengamat sepakbola Italia, menulis di Guardian, “Pada akhirnya, apa yang kami alami adalah sebuah cerita yang sama. Bianconeri meraih scudetto untuk ketujuh kalinya secara berturut-turut.”
ESPN tak mau kalah memuji Juventus: “Tidak ada tim Italia lainnya yang mampu meraih lebih dari lima scudetto secara berurutan, dan Juventus melakukannya tujuh kali, menyamai prestasi Lyon pada tahun 2002 hingga 2008, menjadi tim terbanyak yang memenangi gelar domestik secara berurutan di jajaran top liga Eropa.”
Selain membuat Juventus meraih tujuh scudetto berturut-turut, gelar itu juga semakin mengukuhkan Juventus sebagai tim paling perkasa di Italia. Secara keseluruhan Juventus sudah 34 kali meraih scudetto. Jumlah gelar yang tidak sedikit, mengingat AC Milan, saingan terdekatnya, setidaknya membutuhkan 16 musim untuk menyamainya.
Namun, siapa yang menyangka bahwa ketika didirikan pada 1 November 1897, tepat hari ini 121 tahun lalu, Juventus yang superior itu sebenarnya ditujukan hanya untuk bersenang-senang.
Riwayat Awal Raja Italia
Dalam Juventus: A History of Black and White (2015), Adam Digby mengisahkan bahwa sekumpulan murid sekolah Massimo D’Azeglio, Turin berencana ingin membentuk klub sepakbola. Saat itu, sebagai penggila bola, pikiran mereka amat jauh dari sebuah klub yang bisa merajai Italia maupun sebuah klub yang terkenal di dunia. Mereka ingin membentuk klub sepakbola hanya untuk bersuka-ria.
Setelah itu, mereka sepakat memberi nama klub barunya itu Juventus. Diggy menyebut bahwa Juventus tidak merepresentasikan sebuah kota atau distrik, melainkan berasal dari bahasa Latin yang memiliki arti harfiah “pemuda”.
Kemudian, Juventus mulai rutin bermain di Piazza d’Ammy. Dan saat mulai mengikuti kejuaraan nasional pada 11 Maret 1900, Juventus masih mengenakan seragam berwarna merah muda. Yang menarik, sekitar tiga tahun setelahnya, tepatnya pada 1903, seragam hitam dan putih—warna kebesaran Juventus—mulai digunakan karena ketidaksengajaan.
Saat itu, karena terlalu sering dicuci, warna seragam Juventus mulai memudar. John Savage, salah satu anggota tim asal Inggris, lantas meminta bantuan temannya di Inggris untuk mengirimkan seragam baru. Karena temannya itu merupakan penggemar Notts Country, ia pun mengirim warna seragam yang tak jauh berbeda dengan klub idolanya tersebut: hitam dan putih.
Dari situ, jati diri Juventus mulai terbentuk. Bianconeri juga mulai dikenal di Italia. Pada 1905, untuk pertama kalinya dalam sejarah, mereka berhasil menjadi jawara di Italia. Keluarga Agnelli kemudian datang dan mengubah Juventus lebih dari apa yang dibayangkan oleh para perintisnya.
Meraih Popularitas dan Kesuksesan
Dalam sebuah wawancara dengan Simon Kuper pada 2013, Andrea Agnelli, bos Juventus, pernah mengatakan, "Tidak membawa nama kota telah membawa kami [Juventus] mendapatkan popularitas yang cukup besar. Itu membuat kami menjadi idola nasional."
Nama Juventus yang tidak merepresentasikan daerah tertentu memang memudahkan mereka untuk diidolakan orang-orang Italia dari luar Turin. Meski begitu, prestasi yang diraih Juventus lah yang sebenarnya menjadi alasan utama mengapa Bianconeri bisa digandrungi banyak orang.
Menurut John Foot dalam Calcio: A History of Italian Football (2006), radio dan pers di Italia mulai memberitakan olahraga secara nasional pada awal 1930-an. Saat itu Juventus sedang hebat-hebatnya. Setelah menjadi juara nasional pada 1905, mereka berhasil kembali menjadi juara pada 1930. Setelah itu, hingga 1935, gelar nasional tak pernah lepas dari genggaman Giampiero Combi dan rekan-rekannya.
Prestasi tersebut membuat pemain-pemain Juventus diandalkan timnas Italia di Piala Dunia 1934. Terlebih, timnas Italia saat itu dilatih Vitorio Pozzo, yang pernah menyebut Carlo Carcano, pelatih Juventus saat itu, sebagai “seorang jago strategi dan seorang guru teknik yang luar biasa”. Italia menang dalam gelaran Piala Dunia tersebut dan Juventus memperoleh imbasnya.
Di luar kota Turin, Juventus mulai mendapatkan banyak penggemar. Masih menurut John Foot, tak sedikit anak-anak di daerah Italia Selatan yang mengenakan seragam Juventus saat bermain bola. Saat Juventus bertanding melawan tim-tim dari daerah tersebut, orang-orang berbondong-bondong datang ke stadion untuk melihat aksi Juventus. Kata Gianni Agnelli, mantan bos Juventus, “Di daerah Selatan, orang-orang mulai bermimpi untuk menonton aksi Juventus.”
Prestasi Juventus memang sempat menurun setelah itu. Tapi keluarga Agnelli yang mulai mengelola Juventus pada 1923 tak tinggal diam. Mereka terus menggelontorkan uang agar Juventus tetap berprestasi. Pemain-pemain berkelas dari berbagai negara terus didatangkan untuk kembali mengatrol prestasi Juventus. Pada akhirnya, "terbantu" oleh kecelakaan pesawat yang menimpa generasi terbaik Torino, tetangga sekaligus saingan berat Juventus, mereka kembali meraih gelar Serie A pada musim 1949/1950.
Yang menarik, sementara di dalam lapangan keluarga Agnelli terus memacu Juventus untuk mencapai kesuksesan, di luar lapangan mereka juga mempunyai andil membawa klub berlogo kuda jingkrak ini kembali meraih popularitas. Di antara 1951 sampai 1967, populasi kota Turin meningkat pesat, dari 719.300 hingga 1.124.714. Alasannya: banyak orang dari luar Turin datang untuk bekerja di FIAT, perusahaan milik keluarga Agnelli. Orang-orang itu lantas sering menyaksikan Juventus beraksi dan mulai menyukainya.
Saat pulang ke kampung halaman, mereka mengisahkan kehebatan Juventus kepada kerabat dekat. Para penggemar Juventus pun meningkat dalam jumlah yang tak terkira. Karena alasan itulah Juventus kerap dijuluki "La Fidanzata d'Italia" (kekasih Italia).
Pada 2013, menurut Simon Kuper, estimasi penggemar Juventus di Italia bahkan mencapai 11 juta orang.
Setelah Juventus meraih beberapa gelar Serie A pada periode 1940-1950, pemain-pemain bintang datang silih berganti untuk membawa Juventus berprestasi. Bersama Giampiero Boniperti, John Charles, pemain impor asal Britania Raya, menjadi andalan Juventus pada akhir 1950-an. Pemain yang bisa bermain sebagai penyerang maupun pemain bertahan tersebut berhasil mempersembahkan tiga scudetto dan dua gelar Coppa Italia. Bersama Juventus, Charles berhasil mencetak 108 gol dari 155 penampilan.
Pertengahan 1970-an hingga akhir 1980-an adalah milik Gaetano Scirea dan Michel Paltini, legiun asing asal Perancis. Puncak prestasi kedua pemain tersebut terjadi pada musim 1984/1985. Saat itu, mereka berhasil membawa Juventus menggenggam gelar Piala Champions Eropa (saat ini menjadi Liga Champions Eropa) untuk pertama kalinya dalam sejarah. Bertanding melawan Liverpool, Juventus menang lewat gol tunggal dari titik penalti yang dilesakkan Platini.
Pada 1996, Juventus kembali meraih gelar Liga Champions Eropa. Berada di bawa asuhan Marcello Lippi, Juventus berhasil mengalahkan Ajax Amsterdam lewat drama adu penalti. Namun, sekitar satu dekade setelahnya, popularitas dan ketenaran Juventus yang dibangun sedemikian rupa dihancurkan oleh skandal mengagetkan yang bernama Calciopoli—sebuah skandal pengaturan skor terbesar dalam sepakbola level atas di Italia.
Calciopoli
“Segalanya yang telah aku lakukan di atas lapangan menghilang begitu saja. Rasa-rasanya aku mendapatkan tendangan di kepala tanpa tahu dari mana itu berasal,” kata Gianluga Pessotto, mantan pemain Juventus, pada 2008. “Saya berada di kantor pusat [Juventus], mematikan lampu dan saya bangun delapan atau sembilan hari kemudian.”
Tendangan yang membuat Pessotto kehilangan akal sehat terjadi saat skandal Calciopoli yang melibatkan Juventus terungkap pada 2006. Pada akhir Juni 2006, seperti diwartakan Guardian, Pessotto, yang saat itu menjabat sebagai manajer Juventus, naik ke lantai atas kantor pusat Juventus dan mencoba bunuh diri dengan melompat dari ketinggian 15 meter. Beberapa minggu setelahnya, tepatnya pada 14 Juli 2006, FIGC (Federasi Sepakbola Italia) menjatuhkan hukuman kepada Juventus, Fiorentina, Lazio, AC Milan, dan Reggina yang menjadi tersangka skandal memalukan tersebut.
Hukuman yang diterima Juventus paling berat di antara yang lain: Bianconeri didegradasi ke Serie B, mendapatkan pengurangan sembilan angka, gelar juara Juventus pada musim 2004/2005 dan 2005/2006 dicabut, dan Luciano Moggi—Manajer Umum Juventus yang menjadi aktor utama skandal tersebut—dilarang beraktivitas di dunia sepakbola seumur hidup.
Kejadian itu merusak reputasi besar Si Nyonya Tua. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Juventus akan bermain di Serie B. Sejumlah pemain bintang pun memilih hengkang, hanya beberapa yang memilih tinggal. Alessandro Del Piero, bintang utama sekaligus kapten Juventus pada saat itu, adalah salah satu yang tetap bertahan. Alasan Del Piero memilih bertahan pun cukup menggetarkan. Katanya, “Laki-laki sejati tak akan pernah meninggalkan wanitanya.”
Bagi para penggemar Juventus, kejadian itu tak kalah menggetarkan. Menurut Simone Stenti, penggemar Juventus seumur hidup yang saat itu bekerja sebagai editor Juventus TV, berlaga di Serie B adalah periode yang sangat aneh dan sulit diterima oleh akal sehat.
“Saya ingat pertandingan pertama melawan Rimini dan melihat pemain-pemain terbaik di dunia berada di dalam ‘arena’ yang unik—tidak seperti di tempat biasanya Juventus bermain. Tetapi sesulit apa pun itu, itu juga menarik, dan sangat lucu jika dingat-ingat pada saat ini,” kata Stenti kepada Telegraph pada 2017.
Di bawah asuhan Didier Deschamps, bersama Gianluigi Buffon, David Trezeguet, serta Pavel Nedved, Juventus pun memulai petualangan di Serie B. Meski memulai musim dengan minus sembilan angka, Juventus masih terlalu tangguh bagi lawan-lawan mereka. Juventus berhasil menjadi juara dan langsung kembali ke Serie A.
Namun, setelah kembali di Serie A, Juventus tak lagi bisa menjadi tim yang sama. Sementara Juventus tampil melempem, Serie A didominasi duo Milan. Inter Milan menjadi juara selama tiga musim berturut-turut dari 2007 hingga 2010, sementara Milan menguasai panggung Serie A pada musim 2010/2011.
Pada periode tersebut, Claudio Ranieri, Ciro Ferrara, Alberto Zaccheroni, hingga Luigi Del Neri yang ditunjuk mengembalikan prestasi Juventus gagal total. Pada musim 2011/2012, Antonio Conte, mantan kapten Juventus era 1990-an, akhirnya dipilih untuk menjadi juru selamat.
Hebatnya, Conte langsung terlihat akan membawa perubahan sejak sesi latihan pertama Juventus pada musim itu. Ia berpidato di depan para pemainnya,”Anak-anak, kita telah menyelesaikan dua musim sebelumnya dengan finis di peringkat ketujuh. Gila, benar-benar mengerikan.”
“Aku tidak datang ke sini untuk capaian seperti itu. Sudah waktunya kita berhenti menjadi sampah.”
Siapa yang mengira jika ocehan Conte tersebut kemudian menjadi langkah awal bagi Juventus untuk meraih tujuh gelar Serie A secara berturut-turut.
Editor: Ivan Aulia Ahsan