tirto.id - Pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah hari-hari sibuk. Bukan hanya bagi pemerintahan baru Indonesia atau pejuang bersenjata, tetapi juga bagi para seniman, tak terkecuali pelukis Affandi. Dari tangannya terciptalah sebuah poster propaganda revolusi paling ikonik hingga kini.
Alkisah, Presiden Sukarno meminta kepada pelukis S. Sudjojono untuk membuat poster bertema patriotisme pejuang Indonesia. Poster itu rencananya akan dicetak sebanyak mungkin dan disebar ke seluruh penjuru Indonesia. Sudjojono—kala itu organisator seniman di Jakarta—menyanggupi permintaan Bung Karno.
Sudjojono lantas mendelegasikan titah Sukarno kepada karibnya, Affandi. Dalam konsepnya poster itu akan diisi gambar lelaki gagah yang berteriak dengan kedua tangan terkepal dan dililit rantai yang terputus. Latar belakanganya: bendera merah-putih.
Disebutkan dalam bunga rampai Riwayat yang Terlewat (2011), pelukis muda Dullah dipilih Affandi sebagai modelnya. Tak perlu waktu lama Affandi melukisnya. Hanya saja poster itu terasa kurang tanpa adanya teks yang kuat (hlm. 91).
Lalu datanglah penyair Chairil Anwar, yang kemudian diminta Sudjojono untuk membuat kata-kata singkat tapi menggugah untuk dipajang di poster. Kontan saja Chairil berujar, “Bung Ayo Bung”. Itulah kalimat yang sering didengarnya dari para pekerja seks di sekitar Planet Senen.
Affandi merasa kata-kata itu cocok sebagai penyemangat. Maka diterakanlah “Boeng, Ajo Boeng!” di poster itu.
Suhatno—penulis biografi Affandi—menyebutkan bahwa poster “Boeng Ajo Boeng!” diperbanyak dengan cara ngeblat. Selembar kertas pastoor kosong diletakkan di atas poster asli lalu digambar ulang. Setiap perupa yang membantu ngeblat dibayar sebungkus nasi.
Tak sia-sia, poster itu sedemikian terkenal di daerah-daerah luar Jakarta.
“Banyak utusan daerah yang datang ke Jakarta selalu minta poster "Boeng, Ajo Boeng" untuk disebarkan di daerahnya masing-masing. Untuk memenuhi kebutuhan poster tersebut maka Walikota Jakarta Suwiryo memutuskan untuk membuat klise yang akan dicetak di percetakan,” tulis Suhatno dalam Dr. H. Affandi: Karya dan Pengabdiannya (1985: 62).
Menangkap Realitas
Pelukis Affandi lahir di Cirebon pada 1907, bukan dari keluarga seniman. Bapaknya adalah pegawai pabrik gula. Pendidikan formalnya pun sama sekali tak berhubungan dengan seni. Awalnya, ia menggambar untuk kesenangan saja.
Akan tetapi, meski tak pernah secara serius mendalami seni rupa, tekniknya bagus. Motivasinya menjadi pelukis profesional tumbuh sejak ia bersekolah di Algemeene Middelbare School (AMS) Jakarta dan numpang hidup di rumah keluarga pelukis Yudhokusumo.
Di Jakarta inilah ia mulai berlatih melukis dengan lebih serius secara otodidak. Ia rajin mengunjungi pameran dan membaca buku-buku teknik melukis. Di rumah Yudhokusumo ini pula ia pertama kali berkenalan dengan Sudjojono.
Jalannya menjadi pelukis profesional tak mulus. Affandi tak mendapat restu dari kakaknya untuk menempuh pendidikan seni rupa di Belanda. Karenanya, di tahun terakhir AMS ia memutuskan untuk hidup sendiri dan lebih serius melukis.
Sambil melukis, Affandi kerja serabutan demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Usai menikah pada 1933, Affandi memutuskan pindah ke Bandung. Di sana ia pernah jadi guru, pembuat papan nama toko, tukang cat, pelukis reklame, hingga portir di bioskop. Seringnya, penghasilan dari kerja serabutan itu tak cukup untuk hidup sebulan.
Mencari uang dengan menjual lukisan sebenarnya bukan hal yang sulit di Bandung. Pelukis-pelukis Bandung umumnya melukis pemandangan dengan gaya Mooi Indie—gaya dan tema lukisan pemandangan yang sedang tren saat itu. Mooi Indie (Hindia molek) menggambarkan negeri Hindia yang penuh keindahan alam, sesuai dengan selera eksotisme dunia Timur ala orang Eropa. Tapi Affandi tak menyukai Mooi Indie.
“Lukisan-lukisan tersebut kalau dijual laku lebih kurang sepuluh gulden sebuah. Tetapi Affandi tidak ingin menjadi pelukis pemandangan untuk dijual. Ia ingin melukis yang benar-benar melukis. Ingin melukis menurut kata hatinya,” tulis Suhatno (hlm. 16).
Kedekatannya dengan kehidupan yang rudin plus pengaruh Sudjojono agaknya ikut membentuk pemikirannya itu. Yang menggugah Affandi bukanlah keindahan alam, melainkan realitas kehidupan rakyat kecil lebih. Dan ia ingin menggambarkan realitas itu sejujur-jujurnya.
Idealisme ini pula yang kemudian mendekatkannya dengan pelukis-pelukis muda lainnya yang sama-sama fokus pada realitas orang kere. Seperti dikisahkan Suhatno, Affandi-lah yang membimbing Soedarso dari kurir susu ke pelukis jempolan dan mendekatkannya dengan Hendra Gunawan yang dalam banyak hal sepemikiran dengan Affandi (hlm. 44-45).
Bersama dengan kedua kawannya itu, ditambah pelukis Barli dan Wahdi, Affandi membentuk Kelompok Lima pada 1935. Kelompok ini awalnya dirancang sebagai “kelompok belajar”, lantaran mereka semua tak pernah mengenyam pendidikan formal seni rupa. Kelompok Lima diharapkan jadi wadah bersama untuk belajar bersama, baik untuk urusan teknis maupun wacana.
“Meski perkumpulan ini pada satu sisi hanyalah sarana untuk membina pertemanan dan persaudaraan, masyarakat seni menganggap Kelompok Lima sudah menawarkan peran yang kelihatan penting. Yakni untuk menandai bahwa pada kurun itu sudah ada segelintir pelukis Indonesia yang punya hasrat kuat mewujudkan eksistensi seni Indonesia,” tulis Agus Dermawan T. dalam Surga Kemelut Pelukis Hendra (2018: 14).
Pada waktu itu, menurut Suhatno, Affandi sebenarnya telah matang secara teknik. Salah satu buktinya adalah lukisan berjudul “Potret Ibuku” yang ia selesaikan pada 1936. Affandi mengaku bahwa lukisan itulah yang paling memuaskannya secara teknik maupun emosional (hlm. 45).
Sejak itulah proses kreatif Affandi berpijak pada pencarian bentuk seni rupa yang menurutnya khas Indonesia. Ia tak sendirian, karena kecenderungan untuk mencari gaya ungkap “ketimuran” itu juga melanda pelukis-pelukis muda pada zamannya. Lebih-lebih ketika pelukis-pelukis dari Persagi mulai berani muncul dengan gagasan baru tersebut pada paruh kedua dekade 1930-an.
Menurut M. Agus Burhan dalam Seni Lukis Indonesia Masa Jepang sampai Lekra (2013: 20) kecenderungan realisme itu mulai jadi arus utama pada masa pendudukan Jepang. Suasana kehidupan sosial yang penuh derita dan kekerasan mengilhami karya-karya Affandi. Ia banyak menghasilkan lukisan keluarga, potret diri, dan aktivitas kehidupan sosial.
Pada masa inilah lahir lukisan-lukisan seperti “Ayam Jantan yang Mati Menggeletak” (1943), “Poelang Membawa Bebek Pincang” (1943), “Tiga Jajaran Potret Pengemis” (1943), dan “Burung Gereja Mati di Tangan” (1943).
Di Tengah Kancah Revolusi
Ketika ibu kota berpindah ke Yogyakarta pada Januari 1946, Affandi pun tak ketinggalan hijrah ke sana. Dikisahkan Suhatno, di Yogyakarta ia berkumpul lagi dengan Hendra Gunawan dan Sudarso. Ketiganya mendirikan sebuah sanggar yang dinamai Seniman Masyarakat. Tak lama kemudian, ia bergabung dengan Seniman Indonesia Muda (hlm. 65).
Affandi tak lama bertahan di SIM. Pada 1947, ia dan Hendra keluar dari SIM dan mendirikan sanggar Pelukis Rakyat di Kampung Sentulharjo, Yogyakarta. Sama seperti Hendra Gunawan, Affandi keluar karena merasa tak sejalan dengan metode pembinaan Sudjojono yang cenderung dogmatis.
Affandi kemudian fokus membina pelukis-pelukis muda yang bersemangat namun tak punya biaya untuk belajar formal. Sanggar ini menghidupi dirinya dari mengerjakan proyek-proyek seni. Dalam mengajar, trio Affandi-Hendra-Sudarso menerapkan metode lama yang telah dipraktikkan sejak masa Kelompok Lima: rajin-rajin blusukan.
Dalam Seni Lukis Indonesia Masa Jepang sampai Lekra, Agus Burhan menulis, “Dalam berlatih anggota sanggar sering keluar dalam kelompok-kelompok kecil untuk melukis atau membuat sketsa di berbagai sudut kota, di desa-desa, pantai dan gunung, maupun di candi atau kraton. Demikian pula mereka menggambar model lewat sesama wajah pelukis dan masyarakat bawah. Usaha itu merupakan jalan untuk menggali keterampilan teknis dan empati terhadap kehidupan rakyat” (hlm, 60).
Pada masa ini, pamor Affandi kian kuat dengan cita rasa humanisnya. Namun, berkelindan dengan tumbuhnya semangat bangsa yang baru merdeka, karya-karyanya mengungkap pula semangat nasionalisme.
Menurut Agus Burhan, Affandi juga kian mapan dengan gaya ekspresionisme. Jika di masa-masa awal ia melukis dengan gaya realis dan impresionis, kini Affandi menukik lebih dalam. Ia menolak penggambaran segala sesuatu secara dangkal dan mulai menggali berbagai problem yang ada di balik objek lukisannya.
“Affandi mulai melahirkan beberapa karya yang memperlihatkan tahap invention [...] Para kritikus mengungkapkan bahwa Affandi telah bergeser dari gaya impresionisme ke ekspresionisme,” tulis Agus Burhan (hlm. 85).
Pergeseran gaya dan kedalaman itu sebenarnya sudah mulai kelihatan pada masa pendudukan Jepang dalam lukisan “Karosel” (1943) dan “Kamarkoe” (1943). Karya-karyanya dari masa revolusi yang merepresentasikan ekspresionisme khas Affandi di antaranya “Burung Mati di Tanganku” (1945), “Laskar Rakyat Mengatur Siasat” (1946), dan “Mata-mata Musuh” (1947).
Lukisan “Mata-mata Musuh” agaknya bisa mewakili kedalaman empati sekaligus nasionalisme Affandi. Objek lukisan itu adalah seorang mata-mata yang ditangkap laskar di front Karawang-Bekasi. Si mata-mata adalah seorang pemuda Indonesia yang membelot. Dalam lukisan, ia digambarkan duduk memagut lutut yang menutupi mukanya.
“Affandi merasa sangat sedih dan kasihan melihat manusia menderita, yang akan dihukum mati. Rasa dan derita inilah yang dipindahkan Affandi ke atas kanvas,” tulis Suhatno dalam bukunya (hlm. 67).
==========
Sepanjang Oktober hingga November, Tirto menayangkan edisi khusus bertajuk "Seri Para Pelukis Revolusi". Serial ini ditayangkan setiap Kamis.
Editor: Ivan Aulia Ahsan