Menuju konten utama

Business Plan Tepat, Startup Kuat

Kewirausahaan sosial atau Social Enterprise (SE) tak memerlukan mukjizat. Selain keberpihakan, kesungguhan, pengelolaan yang tepat, dan konsistensi, ia butuh sumber pendanaan yang jelas. Apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan modal awal?

Business Plan Tepat, Startup Kuat
Ilustrasi anak muda berdiskusi membangun startup. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Dalam sebuah konferensi kewirausahaan sosial yang diselenggarakan Sinergi Indonesia di Cibubur pada 2014 lalu, Peraih Nobel Perdamaian 2006 asal Bangladesh, Muhammad Yunus, menyatakan bahwa kegembiraan membahagiakan orang lain jauh melampaui kegembiraan karena menghasilkan uang.

Pada 1971, Pakistan Timur (kini Bangladesh) memisahkan diri dari Pakistan Barat (kini Pakistan). Tiga tahun kemudian, Muhammad Yunus—kala itu asisten profesor di Middle Tennessee State University, Amerika Serikat—memutuskan untuk turut membangun tanah airnya, di mana rakyat kebanyakan rudin dan terlunta-lunta akibat berbagai masalah pascaperang.

Di Desa Jobra, dekat University of Chittagong tempat ia mengajar dan menjabat sebagai Kepala Departemen Ilmu Ekonomi Perdesaan, Yunus menemukan bahwa banyak orang miskin, termasuk kaum perempuan, berutang dengan bunga sekitar 10 persen per minggu atau 520 persen per tahun kepada lintah darat. Persis hukuman mati.

Yunus mulai dengan mengumpulkan data. Ia membuat daftar nama warga desa yang berhutang dan jumlah utang mereka. Ternyata, kata Yunus, jumlah utang yang menjerat mereka amatlah kecil, tak lebih dari USD27.

Namun, Yunus datang bukan buat berderma. Ia paham derma mustahil menyelesaikan persoalan sistemik. Maka, setelah melunasi utang warga Desa Jobra dengan uangnya sendiri, doktor ilmu ekonomi dari Vanderbilt University ini mendirikan Grameen Bank. Ia menawarkan pinjaman berbunga rendah dan tanpa agunan kepada masyarakat miskin yang memerlukan modal bisnis. Bermula dari 42 orang yang nyaris kehabisan darah di Desa Jobra, upaya Yunus meluas ke seantero Bangladesh.

Di Indonesia, contoh serupa dapat dilihat pada Inkubasi Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) yang didirikan Tri Mumpuni dan suaminya Iskandar Kuntoadji. Bertekad memeratakan akses listrik di Indonesia, mereka telah membantu masyarakat di lebih dari 60 desa untuk membangun pembangkit listrik mikro ramah lingkungan di desa masing-masing. Agar berkelanjutan, pembangkit-pembangkit listrik itu dikelola warga desa secara mandiri menggunakan koperasi, dengan tarif yang disepakati bersama.

Dalam sepuluh tahun, IBEKA berhasil menyalurkan listrik bertenaga air sebesar 2.260 kW, mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 7,4 ribu ton CO2 e per tahun, dan menerangi hidup 54 ribu orang.

Kerja yang luarbiasa itu mendatangkan pengakuan luas. Pada 2005, IBEKA mendapatkan penghargaan Climate Hero dari World Wildlife Fund for Nature (WWF). Berselang enam tahun, Tri Mumpuni mendapatkan Ramon Magsaysay Award, yang kerap dianggap “Hadiah Nobel Asia”, dan diapresiasi secara khusus oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Pada 2012, IBEKA memperoleh Ashden Award.

Namun, upaya besar tentu memerlukan dana besar pula. Pada 1981, misalnya, Grameen Bank yang mengejawantahkan keberpihakan Yunus terhadap rakyat miskin—dan bekerja secara konsisten karena dijalankan secara tepat—memperoleh bantuan dana jaminan pinjaman (loan guarantee fund) senilai USD770.000 dari Ford Foundation.

Adapun kegiatan IBEKA terutama didanai oleh hibah-hibah dari banyak sumber, termasuk pemerintah pusat dan daerah di Indonesia, kedutaan besar Jepang, serta Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasifik PBB (UN-ESCAP). Pada 2011, IBEKA mendapat pemasukan sebesar USD1,5 juta.

Business Plan adalah Kunci

Kisah-kisah itu menunjukkan bahwa kewirausahaan sosial atau Social Enterprise (SE) tak memerlukan mukjizat. Selain keberpihakan, kesungguhan, pengelolaan yang tepat, dan konsistensi, ia butuh sumber pendanaan yang jelas. Taruhlah urusan itu akan beres begitu bisnis telah berjalan dengan baik. Tetapi apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan modal awal? Jawaban kuncinya, sebagaimana tampak pada contoh-contoh yang telah berhasil, ada pada perencanaan bisnis alias business plan.

Bukankah tujuan tanpa rencana tak lebih dari keinginan?

Dalam konteks SE, business plan bisa diartikan sebagai dokumen perencanaan yang sifatnya teknis, isinya merupakan turunan dari ide, konsep, serta model bisnis yang sudah matang. Kita tahu, SE biasanya muncul akibat adanya suatu persoalan di masyarakat. Persoalan-persoalan itu diidentifikasi terlebih dulu, dicari akar masalahnya, lalu lewat bentuk usaha (model bisnis) ditawarkan solusi-solusinya.

Memang tidak semua bisnis memerlukan business plan. Namun bagi mereka yang berorientasi pada bisnis yang tumbuh dan berkembang (sustainable development and growth oriented), business plan jadi hal yang niscaya. Terlebih dalam konteks SE selalu ada sejumlah lembaga yang kerap ingin memberi bantuan dana baik berupa hibah, penanaman modal, maupun pinjaman. Untuk mendapatkan bantuan tersebut, business plan adalah salah satu syarat utama.

Semakin besar dana yang hendak diakses, semakin komprehensif business plan yang harus dibuat. Ia juga mesti dibuat sepadat dan semenarik mungkin. Pastikan bahwa setiap kalimat yang ada di dalamnya adalah kalimat yang memang harus ada karena mengandung informasi yang sangat penting. Di saat bersamaan, sebuah business plan yang efektif juga butuh daya yang tidak sedikit. Karenanya, banyak hal yang perlu diteliti dan diperhitungkan kembali, bahkan bila perlu, dibuat uji cobanya terlebih dulu.

Infografik Advertorial Business Plan Tepat Start Up Kuat

DBS BusinessClass

Salah satu cara menarik DBS menunjukkan komitmennya dalam penerapan business plan bagi SE adalah dengan membantu para wirausahawan sosial muda merancang dan menjalankan bisnis dengan aplikasi mobile BusinessClass, platform digital yang menyediakan berbagai fitur penting, mulai dari informasi terkini seputar industri hingga konsultasi.

Aplikasi ini berfungsi sebagai wadah untuk berjejaring dengan sesama pelaku usaha, calon investor, serta pakar-pakar bisnis. Pengguna DBS BusinessClass dapat terhubung dengan lebih dari 15.000 pelaku dan pakar bisnis regional dari Singapura, Cina, India, Hong Kong, dan Taiwan. Para anggota yang terhubung dapat melakukan chat langsung di aplikasi mobile DBS BusinessClass.

BusinessClass juga memberikan kesempatan untuk mengorganisir, mengundang, dan menghadiri acara-acara eksklusif bagi sesama pengguna—dilengkapi fitur konfirmasi kehadiran (RSVP). Sejak Maret 2018, DBS telah menyelenggarakan lebih dari 10 acara besar untuk membantu UKM se-Asia memahami hal-hal yang berkaitan dengan menjalankan bisnis, termasuk pendanaan, manajemen arus kas, model keuangan dan penggalangan dana. Lebih dari itu, BusinessClass dapat membantu perusahaan memperoleh informasi mendalam mengenai topik-topik penting industri dari DBS Group Research. Topik dapat dipilih pada saat mengunduh sehingga anggota hanya memperoleh informasi yang relevan dengan minat dan bidang bisnis mereka. Dengan demikian, para wirausahawan sosial dapat lebih mudah pula dalam melakukan promosi dan meraih eksposur.

Aplikasi BusinessClass dapat diunduh di Google Play, App Store, dan situs DBS.

Rancangan bisnis yang sempurna tentu tidak berhenti sebagai konsep belaka. Seiring maraknya kompetisi business plan untuk mendorong kewirausahaan sosial, hal yang harus diingat para pelaku SE adalah jangan terlalu fokus pada penyusunan business plan sehingga abai atau kedodoran dalam hal pelaksanaan. Saat sumber dana sudah didapat, Rhenald Kasali mengingatkan, “Wirausaha sosial itu bukan orang yang piawai membuat proposal dan mencari bantuan. Mereka mengatasi masalah sosial dengan kewirausahaan.”

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis