tirto.id - Bisnis jasa perhotelan di ibu kota tengah jadi sorotan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) DKI usai politikus Demokrat Andi Arief tertangkap dengan barang bukti alat konsumsi sabu. Ia ditangkap pada Minggu, 3 Maret 2019, di Hotel Menara Peninsula, Jakarta Barat.
Kasus yang merundung mantan "aktivis 98" itu menambah daftar nama politikus dan figur publik yang ditangkap karena kasus narkoba di hotel dan tempat hiburan malam di ibu kota.
Beberapa politikus yang jadi pendahulu Andi Arief antara lain: Nyoman Wirama Putra dan Indra J. Piliang. Keduanya adalah politikus Golkar dan tertangkap pada 2017. Nyoman ditangkap di Hotel kawasan Pecenongan, Jakarta Pusat, sementara Indra di salah satu tempat hiburan malam Jakarta.
Selain politikus, sejumlah artis juga pernah ditangkap menggunakan narkoba di hotel. Misalnya, pada 1 Maret 2019, Polsek Metro Menteng menangkap Sandy Tumiwa karena kedapatan mengkonsumsi narkoba di Hotel The Grove, Jakarta Pusat.
Sebelumnya, pada Juli 2017, Pretty Asmara juga ditangkap di Hotel Grand Mercure di Kemayoran, karena dugaan penyalahgunaan narkotika.
Kepala BNNP DKI Jakarta, Brigjen Johny Latupeirissa meminta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi peredaran narkoba di hotel dan tempat hiburan malam.
Pengawasan terhadap penggunaan serta peredaran narkoba di hotel-hotel di Jakarta, menurut dia, perlu kembali ditingkatkan. Sebab, barang haram tersebut kerap luput dari pengawasan lantaran mudah disembunyikan.
"Barang itu, kan, memang pengawasan sudah dilakukan pengelola hotel, tapi, kan, ini barang yang mudah disembunyikan. Jadi bagaimana mau diketahui, kecuali pengelola itu terlibat. Kami minta ini ditindaklanjuti, disesuaikan dengan peraturan daerah," kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (5/3/2019).
Meski demikian, kerja sama BNNP DKI dengan Disparbud dalam pencegahan narkoba ini sebenarnya sudah sejak lama dilakukan. Bahkan, kata Johny, sudah ada tanda "hitam di atas putih" antara dua instansi tersebut.
Selain kampanye anti-narkoba, kata dia, lembaganya juga melakukan penyuluhan kepada para pengusaha hotel dan hiburan malam di Jakarta terkait dengan pengawasan. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi potensi penyalahgunaan serta mengajak para karyawan hotel terlibat aktif dalam pengawasan.
"Imbauan bukan cuma kami saja. Tapi juga Polda dan Pemda. Bahkan kami sudah pernah kumpulan pemilik hotel dan tempat hiburan malam untuk lakukan sosialisasi," ujar Johny.
Bahkan, kata Johny, lima hari lalu BNN pusat baru saja menandatangani kerja sama pencegahan narkoba di sektor pariwisata dengan Menteri Pariwisata Arif Yahya. Artinya, pengetatan pengawasan di bisnis jasa perhotelan sudah jadi kewajiban yang tak boleh dilalaikan.
"Dengan dinas pariwisata sudah ada MoU, kepala BNN dengan Menteri Pariwisata juga baru saja menandatangani MoU di Hotel Sultan kemarin," kata Johny.
Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya DKI Jakarta Edy Junaedi menyampaikan Pemprov DKI Jakarta sebenarnya tak pernah lepas tangan atas pengawasan jasa perhotelan dan tempat hiburan malam di wilayahnya.
Namun, yang perlu diingat, pengawasan yang dilakukan Dinas Pariwisata saat ini masih terbatas. Karena itu, sejauh ini pengetatan pengawasan, terutama dalam pelarangan narkotika masih dilakukan atas inisiatif masing-masing hotel.
“Pelanggaran tamu bukan berarti kelalaian manajemen,” kata Edy kepada reporter Tirto, Selasa (5/3/2019). “Pengawasan sudah oleh manajemen hotel, tapi tidak mungkin sampai ke kamar karena sudah privacy. Manajemen hotel sudah lakukan pengecekan standar,” kata Edy.
Khawatir Okupansi Hotel Menurun
Sejauh ini, kerja sama dengan BNNP juga masih berjalan. Namun, kata dia, fokus Pemprov DKI saat ini adalah pengawasan tempat hiburan malam ketimbang bisnis perhotelan.
"Sekarang [kerja samanya] masih jalan untuk tempat hiburan," tutur mantan kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PM-PTPSP) tersebut.
Lagi pula, regulasi yang dimiliki Pemprov DKI saat ini sudah bisa memberikan efek jera bagi para pebisnis hotel dan tempat hiburan malam yang lalai dalam hal pengawasan.
Jika ditemukan pelanggaran dan pembiaran penggunaan narkoba di unit bisnis hiburan malam, misalnya, maka bisnis perhotelan yang masih satu grup dengannya akan ikut terkena sanksi. Mulai dari peringatan hingga pencabutan tanda daftar usaha pariwisata (TDUP).
Edy justru khawatir, jika kebijakan pemerintah terlalu restriktif atau terlalu ketat dalam hal pengawasan, maka okupansi bisnis perhotelan di Jakarta akan terus merosot.
"Okupansi kami masih 60 persen. Kalau terlalu ketat bakal makin turun," kata Edy.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Krisnandi menyampaikan, pengetatan pengawasan terhadap tamu-tamu hotel akan sangat sulit dilakukan pengelola hotel.
Sebab, kata dia, demi kenyamanan konsumen, pemeriksaan mendetail barang-barang pribadi tak mungkin dilakukan.
"Kami, kan, enggak bisa detail kayak gitu, dan mem-profile satu-satu siapa saja orangnya. Itu tugas kepolisian lah, kalau sudah target operasi, kami persilakan," kata Krisnandi.
Di samping itu, Krisnandi juga mengkhawatirkan kebijakan pengetatan pengawasan akan membuat bisnis perhotelan kembali lesu. Untuk tahun ini saja, kata dia, okupansi hotel masih jauh dari target yang diharapkan.
"Masih di bawah 50 persen," imbuhnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz