Menuju konten utama

Bundaran HI yang Terlarang untuk Massa Buruh Saat May Day

Kawasan Bundaran HI secara formal tak termasuk wilayah yang terlarang untuk berkumpulnya massa, tapi kenyataannya wilayah ini harus steril dari titik kumpul massa.

Bundaran HI yang Terlarang untuk Massa Buruh Saat May Day
Masa KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia) melakukan longmarch memperingati Hari Buruh Sedunia atau Mayday melintas di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Senin (1/5). tirto.id/Arimacs Wilander.

tirto.id - Bundaran Hotel Indonesia (HI) menjadi daerah terlarang bagi kaum buruh untuk merayakan Hari Buruh Internasional atau May Day, pada Selasa, 1 Mei 2018. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) dan Gerakan Buruh untuk Rakyat (Gebrak) tidak mendapat tanda terima dari pihak kepolisian terkait pemberitahuan keramaian pada peringatan hari buruh mendatang.

Sekretaris Jenderal KPBI, Damar Panca Mulya menyatakan, surat pemberitahuan yang diajukan pihaknya ditolak oleh Polda Metro Jaya. Ini karena mereka hendak menjadikan Bundaran HI sebagai titik kumpul.

“Kemarin [Selasa, 24/4/2018], kami bersama Prili dari LBH Jakarta mau masukan surat pemberitahuan aksi May Day 2018 ke Polda Metro Jaya. Saya masukan suratnya KPBI, Prili masukan suratnya Gebrak,” kata Damar saat dihubungi Tirto, Rabu (25/4/2018).

Pria yang akrab disapa Oncom ini mengatakan, Polda Metro Jaya menolak mengeluarkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) karena KPBI dan Gebrak ingin menjadikan Bundaran HI sebagai titik kumpul massa. Padahal sampai 2015, Bundaran HI masih digunakan sebagai titik kumpul atau rute pergerakan massa dari berbagai macam aksi demonstrasi.

Setiap jelang peringatan May Day, perwakilan perserikatan atau perkumpulan buruh selalu diundang berdiskusi bersama Polda Metro Jaya dan Kapolri. Pada 2016 misalnya, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengundang perwakilan massa dan meminta agar Bundaran HI steril dari pergerakan massa di hari buruh.

Alasannya kala itu, peringatan hari buruh bersamaan dengan car free day. Oncom mengatakan, argumen polisi adalah pergerakan massa di Bundaran HI bisa mengganggu padatnya aktivitas warga. “Tapi setelah siang hari [car free day selesai], beberapa buruh melewati Bundaran HI dan tidak masalah,” kata Oncom.

Pada peringatan May Day 2017, pembicaraan ini berulang. Saat itu, KPBI setuju mengalah dengan melewati daerah Salemba untuk menuju Istana Negara. Sedangkan perserikatan buruh lain, misalnya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) langsung memenuhi patung kuda Arjuna Wiwaha sebagai tempat berkumpul.

“Tapi sebetulnya ini melanggar demokrasi kebebasan berpendapat,” kata Oncom menegaskan.

Namun, pada peringatan May Day 2018 ini, Oncom enggan mengalah. Ia meminta petugas untuk menunjukkan aturan yang melarang Bundaran HI tidak boleh dijadikan titik kumpul massa. Menurut Oncom, petugas Polda Metro Jaya menolak dan mempersilakan Oncom memberitahu persoalan kegiatannya kepada Mabes Polri.

“Tapi pas kami di Mabes Polri, justru malah disodori surat pernyataan yang harus diisi dan ditandatangani oleh koordinator lapangan aksi setiap 100 orang di atas materai. Surat tersebut tidak kami isi dan kami tinggalkan Mabes,” kata Oncom.

Penolakan ini karena korlap aksi diharuskan menandatangani pernyataan “akan bertanggung jawab atas segala kerusakan apabila terjadi kericuhan” dan jumlah korlap adalah 1 setiap 100 orang perwakilan buruh.

“Jadi jika ada 2.000 orang, maka ada 20 orang yang harus tanda tangan,” kata Oncom. “Kami tidak mau kalau isinya begitu.”

Dasar Hukum Pelarangan Aksi di Bundaran HI

Dalam Pergub Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta, lokasi yang diperbolehkan untuk demo adalah Parkir Timur Senayan, Alun-alun Demokrasi DPR/MPR RI, dan Silang Selatan Monumen Nasional, Jakarta Pusat. Nama Bundaran HI tak disebut tapi wilayah ini tidak dilarang menjadi tempat kumpul atau rute orasi massa.

Oncom menganggap, pemilihan Bundaran HI menjadi titik kumpul karena dinilai sesuai sebagai tempat menyuarakan aspirasi para buruh. Sebagai kawasan bisnis, Bundaran HI memang menjadi tempat lalu lalang berbagai kalangan masyarakat. Sehingga, aspirasi mereka tersampaikan dengan jelas.

“Di Bundaran HI adalah tempat yang cocok. Kalau dari patung kuda ke Istana Negara, long march juga terlalu pendek. Dengan berjalan dari Bundaran HI, orang bisa membaca aspirasi kami,” kata dia.

Berdasarkan Pasal 9 UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum secara tegas mengatur soal ini. Ayat (1) misalnya berbunyi, penyampaian pendapat bisa dilaksanakan salah satunya dalam bentuk unjuk rasa.

Sedangkan Ayat (2) Pasal 9 UU No 9/1998 menyatakan, penyampaian pendapat bisa dilaksanakan di tempat terbuka untuk umum, kecuali di lingkungan Istana Kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkatan darat, dan objek-objek vital nasional.

Direktur Pengamanan Objek Vital Polda Metro Jaya, Kombes Pol Usman HP menjelaskan, Bundaran HI tidak termasuk dalam objek vital nasional. Dari kacamata Usman, Bundaran HI adalah ruang publik yang ramai karena termasuk dalam kawasan bisnis dan pusat perbelanjaan.

“Bundaran HI fasilitas umum. Bukan objek vital itu,” kata dia.

Namun demikian, ia menyatakan, Bunderan HI merupakan ruang publik yang terlalu ramai untuk dijadikan tempat kumpul peserta massa atau jalur pergerakan massa. Menurut dia, demonstrasi tidak boleh mengganggu kepentingan orang lain ataupun hak-hak orang lain.

Usman mengakui bahwa tidak ada Peraturan Kapolri ataupun Peraturan Daerah yang menjadi dasar bagi Polri untuk menjadikan Bundaran HI sebagai objek vital atau daerah terlarang untuk dijadikan tempat kumpul peserta aksi demonstrasi dan pergerakan massa, termasuk pada acara hari buruh.

“Bukan Polda melarang, tapi ‘kan nanti orang lain terganggu. Yang diurusi polisi, kan, bukan hanya buruh saja,” kata Usman.

Usman menegaskan, Polri telah menganalisa bahwa Bundaran HI terlalu padat sebagai tempat untuk melakukan demonstrasi sejak 2015. Oleh sebab itu, kata dia, dengan pertimbangan tersebut, sejak 2016 Bundaran HI dijadikan tempat yang steril dari peserta aksi massa.

“Negara ini ada karena Polri-nya kuat. Kalau Polri tidak bisa bertindak mengambil diskresi kepolisian, negara ini tinggal nama,” kata Usman berdalih.

Infografik current issue syarat syarat demonstrasi

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Argo Yuwono menerangkan, Bundaran HI menjadi steril dari massa para buruh pada 2016 karena bersamaan dengan berlangsungnya peringatan car free day. Menurut Argo, hal ini lumrah karena ada Peraturan Gubernur Nomor 12 tahun 2016 tentang Pelaksanaan Hari Bebas Kendaraan Bermotor.

Namun, Argo belum bisa menjelaskan dengan detail penyebab pemberitahuan unjuk rasa KPBI dan Gebrak tidak direspons oleh pihak kepolisian dalam rencana hari buruh 1 Mei 2018 nanti. Ia justru menuding ada persyaratan yang tidak lengkap dari KPBI dan Gebrak.

“Berarti ada ketentuan atau syarat yang belum terpenuhi,” katanya saat dihubungi Tirto.

Argo tidak menjawab pertanyaan mengenai boleh atau tidaknya Bundaran HI menjadi tempat kumpul massa ataupun rute pergerakan aksi massa. “Nanti saya tanya dulu kenapa,” kata dia.

Dengan penolakan Polri terhadap pemberitahuan KPBI dan Gebrak, mau tidak mau buruh tidak bisa berkumpul atau melewati Bundaran HI untuk menyuarakan aspirasinya. Namun berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 9 tahun 1998 seharusnya Polri segera memberikan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP).

Menanggapi hal ini, Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto juga tidak mau menjawab. Ia mengatakan kewenangan mengenai izin demo Hari Buruh Internasional ada di Polda Metro Jaya.

“Ke Pak Argo saja,” kata Setyo.

Ketika didesak soal kejelasan aturan mengenai pelarangan Bundaran HI sebagai titik kumpul massa, ia juga mengaku kurang tahu. “Saya cek dulu ke Badan Intelijen dan Keamanan Mabes Polri,” kata mantan Wakil Kepala Baintelkam Polri ini.

Baca juga artikel terkait HARI BURUH 2018 atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz