Menuju konten utama

Buku Bajakan Masif, Kok Polisi Tak Segarang Kayak Razia Buku Kiri?

Konsorsium Penerbit Jogja telah melaporkan pembajakan buku yang makin marak, tapi polisi tak responsif karena terkendala delik aduan.

Buku Bajakan Masif, Kok Polisi Tak Segarang Kayak Razia Buku Kiri?
Suasana Penjualan buku "Shopping Center" yang berlokasi di kompleks taman pintar Yogyakarta. Antarafoto/Riski Apriliani Johan.

tirto.id - Sejumlah penerbit asal Yogyakarta mulai resah. Mereka cemas buku terbitan penerbit tersebut tak laku lantaran para pembajak mulai masif menguasai pasar buku di Yogyakarta. Kegelisahan ini akhirnya menuntun mereka datang ke Polda DIY untuk melaporkan pembajakan buku, akhir Agustus lalu.

Hisworo Banuarli, salah satu anggota Konsorsium Penerbit Jogja (KPJ) sekaligus pelapor pembajakan buku, bercerita kepada reporter Tirto soal masifnya pembajakan ini. Menurut dia, pembajakan buku sudah seperti industri penerbitan resmi.

"Pembajakan ini sudah seperti industri. Polisi harus bergerak untuk mengungkapkannya. Kami sudah tak bisa menoleransi, karena pembajakan ini sudah terang-terangan beberapa tahun terakhir," kata Hino, sapaan akrabnya di kalangan industri buku kepada reporter Tirto, akhir pekan lalu.

Hino memberi contoh empat buku saat melaporkan pembajakan ini: Aroma Karsa karya Dewi Lestari, buku Dibawah Bendera Revolusi karya Sukarno, buku Seni, Politik, dan Pembebasan karya Goenawan Mohamad, dan buku Sejarah Dunia Yang Disembunyikan karya Jonathan Black.

Buku-buku bajakan itu, kata Hino, dijual pada kisaran Rp15 ribu hingga Rp100 ribu, padahal harga aslinya mulai dari Rp125 ribu hingga Rp400 ribu. Keempat buku itu pun cuma bagian kecil dari keseluruhan bukti yang mereka siapkan.

Ia menaksir, kerugian yang diderita penulis dan penerbit mencapai Rp200 juta per judul. Namun, angka ini sulit diukur, karena jumlah buku bajakan tak dapat dihitung. "Asumsinya per judul ini dicetak dua ribu eksemplar. Selisih harga per buku bajakan dengan asli asumsinya Rp100 ribu. Angka perkiraannya Rp200 juta dari sini," kata Hino.

Namun, pembajakan itu tak cukup berhenti sampai di situ. Hino menyebut, para pembajak bahkan mengincar buku-buku yang baru direncanakan terbit. Ini seperti yang terjadi kepada buku Seni, Politik, dan Pembebasan karya Goenawan Mohamad.

"Bukunya Goenawan Mohamad itu malah bajakannya sudah beredar duluan sebelum buku asli dirilis," ucap Hino.

Situasi ini jelas merugikan KPJ yang berisi 12 penerbit di Yogyakarta: CV Gava Media, Media Pressindo, Pustaka Pelajar, CV Pojok Cerpen, PT Gardamaya Cipta Sejahtera, PT Galang Media Utama, PT LkiS Pelangi Aksara, Penerbit Ombak, PT Bentang Pustaka, CV Kendi, CV Relasi Inti Media, dan CV Diva Press.

Selain karena industri buku tengah menggeliat, sejumlah festival buku juga mulai semarak di Yogyakarta. Namun, di antara semua itu, yang bikin Hino miris adalah sikap aparat kepolisian yang selama ini rajin dan garang merazia buku kiri tapi 'memble' memberantas pembajakan buku.

"Kami tak mendukung razia buku genre apa pun. Tapi tolonglah ini ada pembajakan. Ayo dong digerebek. Kami siap, kok, mendampingi aparat gerebek pembajak," imbuhnya.

Polisi Tak Responsif

Sejak laporan dilakukan pekan lalu, polisi belum tampak bergerak mengungkap kasus. Saat reporter Tirto mengonfirmasi kepada Kabid Humas Polda DIY Kombes Yulianto dan Wakil Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda DIY AKBP Endriadi, akhir pekan lalu, keduanya kompak menjawab “sedang tugas di Jakarta.”

Endriadi lantas bilang akan memeriksa kelanjutan kasus yang teregister dengan nomor LP/0634/VIII/2019/DIY/SPKT bertanggal 21 Agustus 2019.

Sementara itu, Kombes Yulianto, tak mau menjawab soal kelanjutan kasus saat kembali diklarifikasi reporter Tirto, Senin (2/9/2019) kemarin.

Muhiddin M Dahlan, salah seorang penulis yang bukunya banyak dibajak, berkata kepada reporter Tirto, hampir semua buku yang telah ditulisnya ada versi bajakannya di Shopping Center, Yogyakarta.

Tanpa menyebut nama, ia menyebut para pembajak buku dapat keuntungan besar hingga dapat berkali-kali umrah dan berganti-ganti mobil.

"Lebih banyak buku bajakan yang beredar daripada yang dikeluarkan oleh penerbit resminya," kata Muhidin.

Sikap polisi yang cenderung tertutup soal kelanjutan kasus pelaporan pembajakan ini terkesan janggal, lantaran Indonesia sebenarnya punya UU tentang kekayaan Hak Intelektual lewat UU Nomor 28 Tahun 2014.

Dalam Pasal 1 ayat 23 UU 28/2014 dituliskan definisi pembajakan adalah "penggandaan ciptaan secara tak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi."

Pelakunya diancam dengan pidana penjara maksimal 10 tahun atau denda Rp4 miliar, sesuai Pasal 112, 113 ayat 3, dan Pasal 114 UU Nomor 28 Tahun 2014.

Butuh Langkah Luar Biasa

Menurut ahli Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Prayudi Setiadharma, pendekatan pidana untuk memberantas pembajakan buku terkendala asas delik aduan. Ini bikin polisi tak leluasa bergerak tanpa aduan dari penulis sebagai pihak yang dirugikan.

Namun, kandidat doktor bidang HKI di University of Newcastle Australia ini berpandangan polisi seharusnya merumuskan langkah kongkret ketika dihadapkan dengan pembajakan buku yang masif. Mereka tak bisa sekadar berlindung di balik dalih hukum.

"Aparat penegak hukum perlu kerja sama dengan Ditjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham [untuk] membuat semacam pusat pengaduan," kata Prayudi kepada reporter Tirto.

Dalam kasus ini, kata Prayudi, tak semua penulis punya pengetahuan dan kesadaran untuk melaporkan pembajakan ini. Itu kenapa, kata dia, KJP menjadi pelapornya.

Dengan adanya pusat pengaduan, ia menyebut, penulis bakal mengetahui langkah yang perlu dilakukan saat mengetahui bukunya dibajak orang lain.

"Selama ini semua orang bingung. Pengetahuan ini masih belum merata. Jangkauan sosialisasi belum luas," imbuh Prayudi.

Baca juga artikel terkait PEMBAJAKAN BUKU atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Zakki Amali & Irwan Syambudi
Penulis: Zakki Amali
Editor: Maya Saputri & Mufti Sholih