tirto.id - Presiden Jokowi pada 1 Agustus 2017 menyatakan dukungannya terhadap program imunisasi Measles-Rubella (MR). Targetnya, pada 2020 Indonesia bisa bebas dari penyakit virus menular itu. Namun, target tinggallah target. Muncul tantangan penolakan terhadap program imunisasi MR. Salah satu alasannya adalah kabar soal kandungan enzim babi di dalam vaksin.
Di Aceh, penundaan pemberian vaksin MR terjadi. Alasannya, belum adanya sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk vaksin itu. Sementara itu, di Kabupaten Siak, Riau, penundaan pun dilakukan. Alasannya sama. Bahkan, menariknya, penundaan tidak hanya untuk anak-anak muslim saja, namun berlaku pula untuk anak-anak non-muslim.
Bagaimana cakupan imunisasi di Indonesia? Apakah hanya imunisasi MR saja yang mendapat kendala dalam pelaksanaannya? Bagaimana dengan cakupan dari jenis imunisasi lainnya?
Imunisasi Dasar Lengkap
Program imunisasi di Indonesia tidak sebatas program imunisasi MR saja. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menjalankan kewajiban imunisasi terhadap anak-anak di Indonesia dengan dasar amanat UU Kesehatan No 36 Tahun 2009. Program imunisasi itu awalnya dikenal sebagai imunisasi dasar lengkap, yang kemudian diperkuat kembali konsepnya menjadi imunisasi rutin lengkap.
Kemenkes sendiri menyatakan bahwa setiap bayi di Indonesia wajib mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Rinciannya adalah bayi berusia kurang dari 24 jam diberikan imunisasi Hepatitis B (HB-0), usia 1 bulan diberikan (BCG dan Polio 1), usia 2 bulan diberikan (DPT-HB-Hib 1 dan Polio 2), usia 3 bulan diberikan (DPT HB-Hib 2 dan Polio 3), usia 4 bulan diberikan (DPT-HB-Hib 3, Polio 4 dan IPV atau Polio suntik), dan usia 9 bulan diberikan (Campak atau MR).
Data Kemenkes memperlihatkan bahwa selama lima tahun terakhir, cakupan imunisasi dasar lengkap tidak selalu menunjukkan hasil optimal. Cakupan imunisasi yang melebihi target hanya terjadi pada tahun 2013 dan 2016.
Pada 2013, dengan target renstra 88 persen, hasil cakupan imunisasi dasar lengkap pada saat itu mampu mencapai 90 persen. Sementara itu, pada 2016, dari target 91,50 persen, capaian imunisasi mampu melebihi dengan angka tipis, 91,58 persen. Hasil tidak optimal terlihat jelas pada 2014 dan 2015. Angka cakupan imunisasi berada di kisaran 80 persen dari target renstra di kisaran 90 persen.
Banyak faktor menjadi penyebab tidak optimalnya cakupan imunisasi dasar lengkap di Indonesia. Selain terkait dengan kesadaran aktif orangtua anak, ada faktor komunikasi pemerintah terhadap jenis vaksin dan ketersediaannya. Keberhasilan cakupan imunisasi pun ditopang oleh keterjangkauan pelayanan kesehatan seperti Puskesmas/Posyandu ataupun peran serta sekolah-sekolah setempat.
Angka cakupan imunisasi dasar lengkap untuk total tujuh jenis vaksin secara nasional rataannya mencapai 85 persen. Pada masing-masing jenis vaksin, di beberapa wilayah provinsi dan tahun tertentu, cakupan imunisasi dasar lengkap terkadang rendah, yakni di kisaran 50-60 persen.
Rendahnya cakupan imunisasi pada 2014, salah satunya, disebabkan tidak adanya pelaksanaan imunisasi untuk jenis hepatitis B dalam bentuk kombinasi pentavalen lima antigen [DPT-HB-HiB 1 dan 3] di Jawa Barat, Bali, dan NTB.
Beberapa wilayah juga terlihat memiliki tingkat keberhasilan cakupan yang rendah. Misalnya kasus imunisasi DPT-HB-HiB 1 di Lampung (47,20 persen), DI Yogyakarta (6,30 persen), Jawa Tengah (26,60 persen), Kalimantan Selatan (59,90 persen), Sulawesi Tengah (48,10 persen), Sulawesi Tenggara (43,40 persen). Bahkan, rataan cakupan nasionalnya pun tidak sampai 50 persen (data: PDF).
Imunisasi DPT-HB-HiB 3 di wilayah Aceh pada tahun 2015 hanya berhasil mencatat capaian sebesar 69,50 persen. Angka ini pun masih terlihat rendah pada 2016 dan 2017. Patut dicatat, Aceh pada 2015 masih mengalami proses rekonstruksi pasca-bencana Tsunami 2014 (data: PDF).
Selain itu, faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah masih barunya jenis vaksin atau program imunisasi itu. Imunisasi Inactivated Polio Vaccine (IPV) yang data cakupannya hanya tercantum pada 2017 dengan angka sebesar 41,5 persen, misalnya, memang baru dicanangkan pemerintah sebagai imunisasi dasar bagi bayi pada 2016.
Berdasarkan tujuh jenis vaksin dalam cakupan imunisasi dasar lengkap, BCG dan Hepatitis B (HB0) (HB<7 hari) adalah dua vaksin yang angka capaian nasionalnya cenderung stabil. Namun, DPT-HB-HiB 1 dan 3 fluktuatif karena situasi yang terjadi pada 2014.
Untuk imunisasi Campak/MR1, angkanya relatif stabil sejak 2013 dengan rataan di atas 90 persen. Namun, pada 2017, capaian imunisasi itu turun dan menyentuh level 89 persen.
Dari sisi waktu imunisasi, jenis imunisasi yang diberikan pada rentang usia bayi 2-4 bulan ternyata menjadi tantangan tersendiri. Artinya, selain berbagai faktor eksternal seperti komunikasi program vaksin dan ketersediaan, pemerintah juga perlu memperhatikan keterjangkauan pelayanan kesehatan setelah bayi lahir.
Persoalan Wilayah
Angka capaian nasional yang tinggi tidak lantas membuat capaian suatu imunisasi merata di seluruh Indonesia. Jika dilihat berdasarkan provinsinya, Papua selalu menjadi wilayah yang harus diperhatikan. Angka cakupan imunisasi-dasar-lengkap-bagi-bayi di provinsi ini selalu rendah dalam lima tahun terakhir. Cakupannya tidak ada yang melebihi 75 persen.
Dari data imunisasi HB bagi bayi berusia <7 hari, setidaknya ada 6 provinsi lain selain Papua yang cakupannya rendah. Provinsi itu adalah Riau, NTT, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Maluku, dan Maluku Utara.
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa bukan hanya imunisasi vaksin MR saja masalah dalam pencapaian imunisasi di Indonesia. Apalagi, dalam urusan vaksin MR, MUI—melalui Fatwa MUI No 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin MR produk dari Serum Institute India (SII) untuk Imunisasi—telah menetapkan bahwa hukumnya mubah alias boleh.
Yang perlu Kemenkes upayakan adalah pembaharuan kampanye vaksin agar dapat diterima dengan baik di masyarakat. Salah satunya dengan mempertimbangkan informasi dan data capaian per karakteristik wilayah di Indonesia.
Editor: Maulida Sri Handayani