tirto.id - Selang beberapa waktu selepas berita Reynhard Sinaga merebak, beragam narasi negatif menguar di media sosial. Agaknya di Indonesia stigma soal pemerkosaan masih sembrono disematkan. Seolah hanya perempuan yang selama ini menjadi korban, dan laki-laki adalah pelakunya.
Saya baru saja menonton acara BBC di Youtube yang mengulas trauma psikologis para korban, sampai kemudian opini-opini “ngawur” mulai memenuhi kolom komentar. Para pemilik akun mempermasalahkan soal posisi ketika korban diperkosa dan mengapa mereka tidak curiga saat terjaga dari tidur.
“Aneh banget, memang nggak kerasa sakit sewaktu bangun?”
“Itu sih korbannya juga doyan katanya sampai ereksi? Kalau enggak suka pasti nggak bisa berdiri.”
“Sebenernya korban nggak cidera, harusnya jangan dikasih tahu.”
Padahal BBC jelas tak menyinggung masalah tersebut dalam laporannya. Fokus mereka tetap melaporkan tindak kejahatan Reynhard dan memberi ruang bagi para korban untuk bersuara agar tak ada stigmatisasi. Tapi nada minor dari komentar tersebut seolah menunjukkan rasa tidak percaya bahwa para korban--yang notabene laki-laki--dalam keadaan tidak sadar saat kejadian.
Konsensus umum selama ini selalu menempatkan laki-laki sebagai individu kuat yang muskil kena tindak kejahatan. Pandangan inilah yang membuat laki-laki sebagai korban perkosaan amat jarang melapor karena takut dianggap lembek, tak jantan, atau malah tidak dipercaya penegak hukum.
“Dari seluruh korban kekerasan seksual, hanya sekitar 30 persen korban perempuan dan 15 persen korban laki-laki yang melapor ke penegak hukum,” ungkap Karen G. Weiss (2008) dalam studi berjudul “Male Sexual Victimization: Examining Men’s Experiences of Rape and Sexual Assault.”
Perkosaan bisa terjadi oleh dan kepada siapa pun. Prinsip inilah yang kurang dipahami sebagian kelompok masyarakat. Sebaliknya, kepolisian Inggris telah menggolongkan semua jenis perkosaan dan kekerasan seksual sebagai kasus kejahatan serius. Mereka membuat definisi perkosaan secara umum tanpa memandang jenis kelamin.
Intinya perkosaan merupakan kondisi ketika seseorang dengan sengaja memasukkan sesuatu ke dalam alat reproduksi, anus, atau mulut orang lain tanpa persetujuan. Sementara kekerasan seksual dijabarkan sebagai tindak seksual tidak senonoh secara fisik, psikologis, atau emosional.
“Kejahatan terakhir termasuk memaksa atau memanipulasi seseorang untuk menonton atau berpartisipasi dalam tindakan seksual apa pun,” demikian penjelasan di laman kepolisian Inggris.
Laki-laki Korban Perkosaan
Perempuan enggan melaporkan kasus kekerasan seksual yang mereka terima lantaran malu, takut tak lagi dianggap suci/perawan, dan khawatir akan pembalasan. Sementara laki-laki ogah mendapat stigma soal kejantanannya karena dianggap tak bisa melindungi diri sendiri. Apalagi ketika pelakunya adalah perempuan.
Padahal menurut studi terbitan American Journal of Public Health (2014), dalam beberapa kasus, laki-laki menjadi korban kekerasan seksual sama seringnya dengan perempuan. Pelakunya pun tak terbatas jenis kelamin tertentu, sebanyak 46 persen korban melaporkan pelakunya sebagai perempuan. Sementara pelaku pelecehan seksual lainnya 76 persen diidentifikasi sesama jenis.
Kemudian dalam rentang 2010 hingga 2013, statistik National Crime Victimization Survey menunjukkan 28 persen kasus perkosaan dan serangan seksual terhadap laki-laki dan 4,1 persen terhadap perempuan dilakukan oleh perempuan tanpa bantuan laki-laki.
Tidak semua kasus kekerasan seksual atau perkosaan melibatkan kekerasan, membikin cedera fisik, atau meninggalkan luka kasat mata. Tindak kejahatan itu bisa mengoyak mental/psikis para korban dan menyebabkan cidera dalam (tidak terlihat). Tapi semuanya sama-sama membutuhkan waktu lama untuk pulih.
Korban-korban Reynhard rata-rata tidak mengetahui bahwa mereka mengalami perkosaan sampai kemudian kepolisian Inggris mendatanginya. Mereka tertidur pulas dan bangun keesokan hari setelah meminum alkohol yang dicampur obat bius GHB oleh Reynhard.
Seorang korban mengaku tak bisa mengingat segala peristiwa sebelum kejadian berlangsung. Tapi ia tak bisa mengorek memori soal kekerasan seksual yang dilakukan Reynhard. Korban-korban Reynhard menderita depresi parah, berniat bunuh diri, dan harus menjalani konseling serta meminum obat anti-depresan.
“Saya tidak pernah berada di titik buruk kehidupan seperti ini dan tidak tahu bagaimana bisa pulih.“
“Saya mau dia merasakan sakit dan penderitaan seperti yang saya rasakan. Dia menghancurkan sebagian hidup saya.”
“Saya ingin Sinaga membusuk di penjara karena apa yang ia perbuat membawa penderitaan dan stres.”
“Peristiwa malam itu memengaruhi hidup saya. Saya sulit mempercayai orang lagi di ruang publik.”
Kehidupan mereka terenggut seketika.
Belajar Berempati pada Korban
Masyarakat Inggris mengecam keras aksi keji Reynhard. Sementara para korban dikuatkan hatinya, dilindungi indentitasnya, diberi konseling, dan tak pernah disudutkan. Perlakuan yang selayaknya didapat korban perkosaan, apapun jenis kelaminnya, tanpa terkecuali.
Sebab korban perkosaan, perempuan maupun laki-laki mendapat goncangan psikologis yang sama. Hidup mereka tak akan sama lagi seperti sedia kala. Tapi apa yang terjadi di Indonesia?
Kelompok-kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer (LGBTQ) kembali kena risak. Jagat Twitter ramai mengangkat topik tentang bahaya LGBTQ. Sejak maraknya pemberitaan kasus Reynhard, muncul opini banyak predator adalah homoseksual.
Reynhard memang diidentifikasi sebagai homoseksual. Tapi, poin tersebut tak bisa dijadikan alasan untuk memukul rata perilaku sebuah kelompok dengan kecenderungan seksual serupa, karena perkosaan juga sering dilakukan oleh kelompok heteroseksual. Jadi yang perlu digarisbawahi adalah perilaku keji Reynhard sebagai predator, orientasi seksualnya hanya kebetulan semata.
Tanpa peduli orientasi seksual dan jenis kelamin, siapa pun yang melakukan aktivitas seksual tanpa kesepakatan pasangan adalah pelaku pemerkosaan/kekerasan seksual. Sampai di sini belum habis polemik turunan yang dimunculkan dari kasus Reynhard. Kami menemukan masalah lain soal minimnya empati terhadap korban.
Video, komik, bahkan kalimat-kalimat guyonan berseliweran di linimasa. Ada yang membuat parodi dan mereplika wajah Reynhard, mengeluarkan kalimat rayuan berisi ajakan mampir ke indekos. Kemudian muncul meme, menanyakan mengapa dalam kasus pemerkosaan kali ini tak ada warganet yang meminta link.
Ya, dalam setiap berita soal perkosaan, masyarakat kita memang seperti tak punya hati. Dengan santainya justru memberi komentar semacam “no link, no pict hoax” atau “bagi linknya gan”. Mereka tak berpikir bahwa perilakunya bisa melukai korban, atau orang lain yang memiliki pengalaman serupa korban. Yang lebih parah, komentar yang justru mendukung perkosaan terhadap perempuan. Misalnya: “Apa tak enak kerang berbulu bagi si kawan ini sampai yang diembatnya laki-laki semua?”
Lalu, apakah tindakan itu bisa dianggap normal jika korbannya perempuan?
Editor: Windu Jusuf