tirto.id - Rencana Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok menjadi direktur utama di salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dipersoalkan beberapa pihak. Ada dua hal yang dianggap masalah: status Ahok sebagai mantan narapidana dan anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Rekam jejak Ahok yang pernah dipenjara karena kasus penodaan agama pada 2017 menjadi sorotan Persaudaraan Alumni 212 (PA 212). Seteru lama Ahok itu mempertanyakan kebijakan Menteri BUMN Erick Thohir dan Presiden Joko Widodo.
"Apa di Indonesia enggak ada lagi orang yang track record-nya baik, sopan, tidak kasar, tidak terindikasi korupsi," kata Slamet kepada reporter Tirto, Jumat (15/11/2019).
Slamet menilai penunjukan Ahok sebagai petinggi perusahaan BUMN hanya politik bagi-bagi kekuasaan. Ia mewanti-wanti Jokowi agar menjaga perasaan umat Islam di tengah suasana kondusif seperti saat ini.
"Hati-hati Pak [Jokowi], jaga perasaan umat biar kondusif ini Negara," ucapnya.
Meski begitu, PA 212 tidak berencana menggelar aksi unjuk rasa menolak Ahok jadi Dirut salah satu perusahaan BUMN--seperti halnya aksi 212 yang menuntut Ahok dipenjara--.
"Kami kan bukan karyawan BUMN, biarkan saja nanti karyawannya yang menolak," kata Slamet.
PA 212 merupakan kelompok yang terbentuk hasil unjuk rasa pada 2 Desember 2016 silam atau lebih dikenal sebagai aksi 212. Beberapa ormas yang dimotori Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI--sekarang GNPF Ulama-- mengerahkan massa untuk memprotes pernyataan Ahok yang dinilai menghina ayat Al-Quran saat menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Ditentang PKS dan Demokrat
Sementara status Ahok sebagai kader PDIP menuai sorotan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat yang notabene lawan politik Ahok saat Pilkada DKI Jakarta 2017. PKS dan Demokrat tampak tak setuju apabila Ahok menjadi direktur utama di salah satu perusahaan BUMN.
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menilai Ahok tak patut menjadi pimpinan perusahaan BUMN karena tercatat sebagai anggota PDIP.
"Menurut saya kalau aturan diikuti monggo saja. tetapi Pak BTP (Basuki Tjahaja Purnama) setahu saya sudah jadi anggota partai politik. Jadi menurut saya apakah patut anggota partai politik [jadi pimpinan perusahaan BUMN]," kata Mardani saat ditemui di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (14/11/2019).
Usai menjalani hukuman sebagai terpidana kasus penistaan agama, Ahok memilih PDIP yang diketuai Megawati Soekarnoputri sebagai kendaraan politiknya.
Mardani mengakui memang tidak ada aturan yang menyebut direksi maupun komisaris BUMN tidak boleh diduduki kader partai politik.
Dua aturan Peraturan Menteri BUMN yakni Nomor Per-02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN dan Permen nomor Per-03/MBU/02/2015 tidak menyebut anggota parpol harus mundur.
Meski begitu, Mardani mengingatkan agar Ahok konsisten dalam memilih jalan politiknya tersebut. Jika ingin menjadi komisaris ataupun direksi, lanjut Mardani, Ahok harus melepas posisinya sebagai kader PDIP.
"Kalau mau jalur politik ya di jalur politik, jangan di jalur yang lain. Ini baik buat edukasi publik. Etika-etika moralitas kepentingan-kepentingan," ungkapnya.
Sementara Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarif Hasan menuntut pemerintah lebih selektif memilih pimpinan BUMN: yakni berdasarkan integritas, bukan berdasarkan partai pendukung. Ia menyinggung Ahok sebagai kader PDIP yang merupakan partai pendukung pemerintah.
Syarif juga menyinggung soal ketentuan eks narapidana maju dalam Pilkada 2020.
"Saya pikir, kalau saja sekarang ini pilkada sudah ada pandangan dari KPU bahwa eks narapidana tak boleh [maju Pilkada], dan itu kan sudah pernah dilakukan, jadi saya memberikan contoh bahwa pejabat-pejabat negara itu betul-betul harus selektif," ujar Syarief di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (15/11/2019).
Didukung Gerindra
Dari seteru-seteru Ahok, hanya Partai Gerindra yang menanggapi rencana Ahok menjadi pimpinan perusahaan BUMN secara positif. Gerindra juga merupakan lawan politik Ahok saat Pilkada DKI Jakarta 2017.
Hal itu disinyalir karena posisi Gerindra yang balik mendukung pemerintahan Jokowi, bahkan ketua umumnya Prabowo Subianto diangkat menjadi Menteri Pertahanan.
Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Andre Rosiade menyatakan partainya menghormati keputusan Jokowi dan Erick Thohir menjadikan Ahok sebagai direksi atau komisaris perusahaan BUMN.
Andre hanya memperingatkan Ahok agar mengubah perilakunya yang suka marah-marah. Perilaku "petantang-petenteng", menurut Andre tak perlu ditunjukkan saat memimpin salah satu perusahaan BUMN.
"Melakukan perubahan, perbaikan, transparan tidak perlu dilakukan dengan memaki-maki dan marah-marah di publik, gitu loh," kata Andre kepada reporter Tirto, Jumat (15/11/2019).
Gerindra juga tidak mempersoalkan status Ahok sebagai mantan narapidana. Bagi Andre, hal itu tidak masalah selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah juga melihat tak ada aturan yang melarang mantan narapidana menjadi pimpinan perusahaan BUMN.
Apalagi menurut Trubus, kasus yang menimpa Ahok lebih terlihat seperti korban kriminalisasi ketimbang mantan pelaku kriminal.
"Kasusnya bukan persoalan korupsi, tapi lebih ke arah politik. Bukan korupsi atau kriminal lain seperti perampokan, pembunuhan, penganiayaan," kata Trubus.
Sementara soal statusnya sebagai anggota partai politik, menurut Trubus hanya persoalan etika. Trubus menilai pimpinan BUMN sebaiknya bukan kader partai politik.
"Idealnya memang mengundurkan diri, tapi menurut saya enggak harus dipersoalkan dalam arti bahwa apa-apa yang dilakukan Ahok juga didukung partai. Jadi itu soal etis dan tak etis saja," imbuh Trubus.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Gilang Ramadhan