tirto.id - Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris meminta kejelasan hukum dari kebijakan pemerintah RI berkaitan pembiayaan pasien positif corona.
"Solusinya sederhana. Selesaikan aspek hukumnya. Perlu ada diskresi khusus agar Pasal 52 Huruf O bisa diterobos. Hal itu cukup dengan Instruksi Presiden atau Perpres khusus, yang memberi kewenangan pada BPJS Kesehatan untuk menalangi pendanaan pelayanan kesehatan untuk pasien COVID-19," kata dia lewat rilis, Kamis (19/3/2020).
Fahmi juga mengatakan, setelah aturan tersebut sudah baku, selanjutnya BPJS Kesehatan akan melakukan penagihan ke pemerintah RI, atau melalui mekanisme lainnya yang diatur secara internal oleh pemerintah.
"Yang pasti, fasilitas kesehatan ada loket untuk menagihkan, dalam hal ini BPJS Kesehatan," terang dia.
Ia juga mengatakan, karena situasi wabah pada akhirnya akan memiliki batas waktu, Inpres dan Perpres khusus tersebut bisa saja masa berlakunya terbatas dan dengan tujuan tertentu.
Peran baru BPJS Kesehatan ini, kata dia, sejalan dengan arahan Presiden Jokowi, yakni saat situasi seperti ini, semua pihak harus bergotong royong, bahu membahu dan bersatu.
Pembiayaan BPJS Kesehatan diatur dalam Pasal 52 Perpres Nomor 82/2018 yakni pelayanan kesehatan yang tidak dijamin program Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan BPJS Kesehatan.
Pada Pasal 52 Huruf O berisi tentang pelayanan kesehatan yang tidak dijamin termasuk pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar biasa/wabah.
"Dengan demikian, pasal ini mengatur larangan. Sesuai regulasi, BPJS Kesehatan dilarang menjamin pelayanan kesehatan akibat wabah. Karena biaya ini ditanggung oleh pemerintah secara langsung," kata dia.
Jika payung hukum sudah siap, maka BPJS Kesehatan bersedia untuk melayani pasien positif cotona di dalam negeri.
"Mereka [rumah sakit] butuh kepastian. Ini menyangkut dana. Bisa saja pemerintah memberi kepastian tentang mekanisme dan tata caranya, juga administrasi dan verifikasinya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Zakki Amali