tirto.id - Anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi Bidang Kesehatan, Hermawan Saputra mengatakan akan mengevaluasi pengelolaan jaminan kesehatan nasional berikut preminya.
Hermawan menyebut hal ini dapat menjadi jawaban atas defisit Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang terus membengkak.
Ia menyebutkan defisit terus meningkat dari Rp3,3 triliun pada 2014 jadi Rp9,8 triliun pada 2018. Bila hal ini tidak kunjung ditangani, maka berakibat masyarakat justru tidak terlayani lantaran jaminan kesehatan pemerintah terhambat persoalan biaya.
"Kami akan evaluasi besar-besaran penyelenggaraan dan tata kelola BPJS. Akan kami hitung ulang preminya yang memenuhi aspek kelayakan," ucap Hermawan dalam diskusi bertajuk 'Menuju Debat III: Menakar Visi Kesehatan' di D’ Consulate, Jakarta, Sabtu (9/3/2019).
Mengenai tata kelola BPJS Kesehatan, kata Hermawan, jika terpilih Prabowo-Sandi akan fokus mengedepankan aspek preventif dan layanan kesehatan primer seperti puskesmas.
Menurut dia, aspek pencegahan perlu diperbaiki. Sebab, lini terdepan dalam penanganan kesehatan yakni puskesmas dinilai tak maksimal.
"80 persen penanganan kesehatan itu harusnya di puskesmas. Tapi ini jebol [justru langsung ke rumah sakit],” ucap Hermawan.
Soal defisit defisit BPJS Kesehatan, anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Hasbullah Thabrany menilai tak perlu dipersoalkan. Menurut dia, masyarakat saat ini telah memperoleh layanan kesehatan.
Untuk mengatasi defisit, Hasbullah mengatakan hal itu dapat ditutupi pada periode berikutnya. Dengan demikian, defisit yang hampir mencapai Rp300 triliun itu, tak perlu dikhawatirkan.
"Defisit memang karena keluar masuk uang gak seimbang. Tapi berarti ada kenaikan pengguna BPJS. Di sisi lain masyarakat tertolong. Namanya program publik ada defisit itu biasa, bisa kita tutup di masa berikutnya,” ucap Hasbullah.
Menteri Kesehatan 2012-2014, Nafsiah Mboi mengatakan, persoalan defisit BPJS ini memang merupakan efek dari tinggi standar layanan yang diberikan.
Undang-undang, kata dia, tidak memperbolehkan pemerintah mengurangi layanan yang telah ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Namun, pengguna hanya dikenakan premi yang cukup rendah lantaran dikhawatirkan ide mengenai mekanisme asuransi masih sangat awam bagi masyarakat. Sehingga, imbuh dia, jangan sampai masyarakat tidak tertarik mengikuti program itu.
"Waktu itu dipikir kita kasih premi yang serendah mungkin dengan manfaat sebesr mungkin. Tapi memang biayanya sangat mahal," ucap Nafisah.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Zakki Amali