tirto.id - Sembilan ledakan bom yang terjadi di gereja, hotel, dan lokasi lainnya pada Minggu Paskah di Sri Lanka menewaskan lebih dari 200 orang dan melukai ratusan lainnya. Kejadian ini merupakan yang paling mematikan di Sri Lanka sejak perang saudara satu dekade lalu.
Dikutip dari Associated Press News (AP News) pada Senin (22/4/2019), Menteri Pertahanan Ruwan Wijewardena menyebut ledakan itu sebagai serangan teroris para ekstremis agama.
Juru bicara kepolisian Ruwan Gunasekara mengatakan sedikitnya 207 orang tewas dan 450 lainnya luka-luka. Dia mengatakan polisi menemukan rumah dan sebuah van yang digunakan oleh para pelaku.
Polisi mengatakan 13 terduga pelaku ditangkap, meskipun belum ada klaim pertanggungjawaban langsung dari para tersangka. Wijewardena mengatakan sebagian besar ledakan bom itu diyakini sebagai serangan bunuh diri.
Ledakan bom, sebagian besar terjadi di sekitar ibu kota Kolombo meruntuhkan langit-langit bangunan dan meledakkan jendela-jendela. Ledakan menewaskan jemaah dan tamu hotel dalam satu. Asap, darah, dan pecahan kaca bercampur usai ledakan bersamaan dengan jeritan para korban.
"Orang-orang dibawa keluar," kata Bhanuka Harischandra, dari Kolombo, pendiri perusahaan pemasaran teknologi berusia 24 tahun yang akan pergi ke Shangri-La Hotel untuk pertemuan ketika bom itu dibom. "Orang-orang tidak tahu apa yang sedang terjadi. Itu seperti mode panik."
"Banyak darah di mana-mana," katanya, menambahkan.
Sebagian besar dari mereka yang tewas adalah orang-orang Sri Lanka. Akan tetapi tiga hotel yang dibom dan salah satu gereja, St Anthony's Shrine, sering dikunjungi wisatawan asing.
Kementerian Luar Negeri Sri Lanka mengatakan setidaknya terdapat 27 jenazah warga negara asing dari berbagai negara yang menjadi korban ledakan.
Amerika Serikat menyatakan "beberapa" korban adalah orang AS, termasuk yang tewas. Inggris, Cina, Jepang, dan Portugal menyatakan mereka juga kehilangan warga negara.
Sejak peristiwa ledakan ini, Pemerintah Sri Lanka memberlakukan jam malam nasional mulai pukul 06.00 sore ke 06.00 pagi. Pemerintah juga memblokir sebagian besar media sosial termasuk Facebook dan YouTube untuk mengurangi penyebaran informasi palsu dan ketegangan di negara yang berpenduduk sekitar 21 juta orang itu.
Uskup Agung Kolombo, Kardinal Malcolm Ranjith, meminta pemerintah Sri Lanka untuk "tanpa ampun" menghukum mereka yang bertanggung jawab "karena hanya hewan yang dapat berperilaku seperti itu."
Pertumpahan darah ini mengingatkan kembali pada hari-hari terburuk perang saudara 26 tahun di Sri Lanka. Tamil Tigers, kelompok pemberontak dari etnis minoritas Tamil, mencari kemerdekaan dari negara mayoritas Buddha itu. Orang-orang Tamil adalah Hindu, Muslim, dan Kristen.
Pasukan Sri Lanka mengalahkan pemberontak Tamil Tigers pada 2009, mengakhiri perang saudara yang merenggut lebih dari 100 ribu korban jiwa, dengan kedua belah pihak dituduh melakukan pelanggaran HAM berat.
Enam ledakan yang hampir bersamaan terjadi pada pagi hari di kuil dan Hotel Cinnamon Grand, Shangri-La dan Kingsbury di Kolombo, serta di dua gereja di luar Kolombo, menurut juru bicara militer Sri Lanka, Brigjen Sumith Atapattu.
Beberapa jam kemudian, dua ledakan terjadi di luar Kolombo, salah satunya di sebuah wisma, di mana dua orang tewas, yang lain di dekat jalan layang, kata Atapattu.
Tiga petugas polisi tewas dalam pencarian di rumah yang diduga jadi tempat pelaku di pinggiran Kolombo ketika penghuni rumah itu meledakkan bahan peledak untuk mencegah penangkapan, kata pihak berwenang.
Usai ledakan, restoran lantai dua Shangri-La hancur, dengan langit-langit dan jendela pecah. Kabel-kabel menggantung tak beraturan dan meja-meja terbalik di ruangan yang menghitam.
Editor: Agung DH