Menuju konten utama

BNPT Usul Kelompok Bersenjata Papua sebagai Organisasi Teroris

Kepala BNPT Boy Rafli Amar, mantan Kapolda Papua, mengusulkan kelompok bersenjata Papua dikategorikan sebagai organisasi teroris.

BNPT Usul Kelompok Bersenjata Papua sebagai Organisasi Teroris
Prajurit Batalyon Intai Amfibi (Taifib) 3 Marinir dan kru pesawat melaksanakan briefing simulasi pembebasan sandera di menara Air Traffic Controller (ATC) Bandara DEO Kota Sorong, Papua Barat, Rabu (9/12/2020). Simulasi ini bentuk pelatihan tempur dan kesiapan prajurit marinir membantu pengamanan objek vital dari berbagai ancaman, salah satunya teror terhadap ruang pengendali lalu lintas udara (ATC). ANTARA FOTO/Olha Mulalinda/wsj.

tirto.id - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar, seorang perwira tinggi polisi dan mantan Kapolda Papua, mengusulkan kelompok bersenjata Papua dikategorikan teroris. Hal itu ia sampaikan dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR RI, Senin (22/3/2021).

“Kami terus menggagas diskusi dengan beberapa kementerian/lembaga berkaitan dengan nomenklatur kelompok bersenjata, untuk kemungkinan 'Apakah ini bisa dikategorikan sebagai organisasi terorisme?'” kata Boy.

Ia menilai ulah apa yang dia sebut "kelompok bersenjata Papua" layak disejajarkan aksi-aksi teror karena menggunakan kekerasan, ancaman, pemakaian senjata api, menimbulkan ketakutan bagi publik.

Ia menilai perlu ada "Forum Koordinasi Penanggulangan Teroris" di Provinsi Papua dan Papua Barat, tetapi badan semacam ini belum terbentuk karena "perbedaan pemahaman soal kelompok bersenjata" di Papua. BNPT berencana mengundang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk membahas usulan ini, katanya.

Forum Koordinasi Penanggulangan Teroris perlu dibuat di Papua supaya bisa memperlakukan "kelompok bersenjata Papua" dengan memakai pasal tindak pidana terorisme, menurut Boy.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Politik dan Kebijakan Strategis Indonesia, Stanislaus Riyanta, menyoroti rencana BNPT. Berdasarkan definisi teroris sesuai Undang-Undang No 5 Tahun 2018, aksi-aksi yang dilakukan kelompok bersenjata di Papua sudah masuk dalam kategori teroris, ujarnya.

Undang-undang ini menyebut terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

“Saya tidak concern dengan diskursus mengenai penyebutan karena saya menganggap yang lebih penting adalah penanganannya. Jangan sampai debat soal istilah tidak selesai-selesai sementara aksi kelompok bersenjata semakin masif,” ujar Riyanta kepada Tirto, Selasa (23/3/2021).

Teroris atau bukan, katanya, perseteruan aparat Indonesia dan kelompok bersenjata Papua telah memakan korban di kedua belah pihak dan masyarakat Papua. Maka, penanganan perlu hati-hati karena kelompok ini biasa menggunakan masyarakat sebagai tempat persembunyian dan tameng sehingga masyarakat rawan menjadi korban, ujarnya.

“Jika ada korban dari masyarakat, maka kelompok ini akan propaganda terkait pelanggaran HAM oleh pemerintah Indonesia. Apa pun istilahnya, penanganan harus hati-hati dan harus mengurangi risiko serendah mungkin terhadap masyarakat. Pendekatan terhadap masyarakat dan kemampuan intelijen sangat penting agar ketika terjadi aksi [penggunaan bersenjata], aparat keamanan Indonesia melakukan tindakan tepat sasaran,” kata Riyanta.

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara berkata BNPT belum mengajak lembaga membahas usulan ini tapi “kami siap mendiskusikan hal ini.”

Baca juga artikel terkait KELOMPOK BERSENJATA DI PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri