tirto.id - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mempertanyakan keputusan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang kelewat cepat mengakhiri peringatan dini tsunami atas gempa berkekuatan 7,4 skala richter di Donggala, Sulawesi Tengah dengan kedalaman 11 kilo meter.
“Kalau melihat kecepatan mereka menyampaikan peringatan dini begitu cepat saat itu, tapi kenapa berakhirnya juga cepat, itu juga menjadi tanda tanya kami,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB, Sutopo Purwo Nugroho dalam konfrensi pers di Graha BNPB, Jakarta, Sabtu (29/9/2018).
Sutopo mengatakan keputusan BMKG menghentikan peringatan dini tsunami atas gempa yang terjadi di Donggala tidak lazim. Sebab biasanya pernyataan berakhirnya tsunami baru akan dilakukan satu jam setelah gempa. Apalagi menurutnya BNPB sedang menyampaikan peringatan kepada masyarakat, sehingga informasi dari BMKG membuat masyarakat lengah.
"Saat itu kami berusaha menyampaikan peringatan kepada masyarakat dengan penggunaan bahasa yang sederhana, ketika itu belum selesai itu sudah berakhir. Artinya berakhir dipahami oleh masyarakat tidak ada tsunami, tiba-tiba selang berapa lama kami dapat laporan video dari sosial media" ujar Sutopo.
Namun Sutopo menolak jika lembaganya kecolongan menyampaikan informasi berakhirnya gempa. Ia meminta wartawan menanyakan langsung kepada BMKG. “Silakan tanya pada BMKG saja untuk lebih lanjut,” kata Sutopo.
Dampak Gempa
Hinggap pukul 10.00 WIB, gempa yang disusul tsunami di Donggala-Palutelah menyebabkan 48 orang meninggal dunia dan 356 orang luka. Para korban meninggal dan luka dirawat di sejumlah rumah sakit. Seperti: Rumah Sakit Woodward Palu (2 meninggal, 28 luka), Rumah Sakit Budi Agung Palu (10meninggal, 114 luka), Rumah Sakit Samaritan Palu (6 meninggal, 54 luka), Rumah Sakif Undata Palu (30meninggal, 160 luka).
Sutopo mengatakan pendataan korban berjalan lambat karena putusnya sinyal komunikasi. Selain itu, aliran listrik di Palu dan Donggala jugat terputus. Dari 7 gardu induk PLN yang tersebar di 2 kota tersebut hanya dua gargu yang dihidupkan, lima lainnya dalam kondisi padana padam. Putusnya aliran listrik ini mengakibatkan 276 base station tidak dapat digunakan akibatnya jaringan komunikasi terputus.
“Komunikasi lumpuh akibat listrik padam menyebabkan pendataan dan pelaporan dampak gempa dan tsunami di Kota Palu dan Donggala tidak dapat dilakukan dengan cepat,” ujar Sutopo.
“Diperkirakan puluhan hingga ratusan orang belum dievakuasi dari reruntuhan bangunan.”
Sejumlah bangunan yang mengalami rusak berat adalah Mal Tatura, mal terbesar di Kota Palu yang ambruk, Hotel Roa-Roa yang memiliki 8 lantai juga ambruk saat 80 kamar yang tersedia 76 di antaranya diisi oleh tamu. Rumah Sakit Anutapura, Kota Palu yang memiliki 4 lantai pun roboh akibat diterjang gempa dan tsunami. Jalan trans Palu-Poso-Makassarjuga terputus karena tertutup longsor, Jembatan Ponulele yang menghubungkan antara Donggala Barat dan Donggala Timur roboh akibat diterjang tsunami, dan Bandara SIS Al-Jufri Palu ditutup hingga 29 September 2018 pukuk 19.20 WITA karena bagian tower lantai 4 runtuh, peralatan komunikasi rusak, pemancar radio rusak, jaringan Usat down, radar & VOR belum berfungsi, 500 meter dari 2.500 meter landas pacu atau runway retak akibat gempa. Landas pacu yang tersisa sepanjang 2.000 meter tersebut tidak dapat didarati pesawat jet berukuran besar, seperti Boeing 747 dan sejenisnya.
Saat gempa terjadi juga sedang diselenggarakan Festival Pesona Pulau Nomoni. “Puluhan hingga seratusan orang pengisi acara, sebagian merupakan para penari, belum diketahui nasibnya,” ujar Sutopo.
Berbagai upaya penanggulangan bencana pun langsung dilakukan sejumlah kementerian dan lembaga. TNI mengerahkan 7 SSK dari Yonkes, Yonzipur, Yonif, dan Yonzikon menggunakan 2 pesawat Hercules C-130. Heli Superpuma dari Makassar pun dikerahkan dengan membawa peralatan navigasi portabel. Polri pun menggerakkan personil, logistik, peralatan dan obat-obatan untuk penanganan darurat. Sementara Kementerian Komunikasi dan Informasi melakukan penanganan jaringan komunikasi.
Penjelasan BMKG
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan pihaknya telah mengeluarkan peringatan dini tsunami lima menit setelah gempa terjadi. “Kami keluarkan peringatan dini tsunami pada lima menit setelah gempa terjadi,” kata Dwikorita dalam siaran pers BMKG, pada Jumat malam (28/9/2018).
Menurut Dwikorita, kronologi tsunami itu terjadi beberapa menit setelah gempa besar berkekuatan 7,7 SR mengguncang Kabupaten Donggala, Kota Palu dan sekitarnya pada pukul 17.02 WIB. Titik pusat gempa itu berada di kedalaman 10 km, tepatnya di 27 km Timur Laut Donggala. Data gempa pada pukul 17.02 WIB itu kemudian diperbarui menjadi berkekuatan 7,4 SR. Pusat gempa di kedalaman 11 Km dan pada arah 26 km utara Donggala
Tsunami akhirnya benar-benar terjadi sekitar pukul 17.22 WIB. Berdasar data pantauan BMKG ditambah informasi dari saksi lapangan, ketinggian tsunami mencapai 1,5 meter. Sementara di pesisir Mamuju tinggi kenaikan air mencapai 6 cm. Setelah tsunami surut, BMKG kemudian mencabut peringatan dini tsunami pada Jumat (28/9) pukul 17.36 WIB.
“Namun, setelah kami pantau, terlihat setelah tsunami datang, air naik semakin surut. Akhirnya, dengan surutnya kenaikan air, maka peringatan dini tsunami ini kami akhiri pada pukul 17.36 WIB [18.36 WITA],” kata dia.
Berdasarkan pengamatan BMKG, Dwikorita menyebutkan telah terjadi 22 kali gempa susulan setelah gempa utama terjadi pada pukul 17.02 WIB. Kekuatan gempa susulan tercatat berkekuatan 6,3-2,9 SR. Gempa susulan ini sebenarnya diawali dengan gempa pertama kekuatan sekitar 6 atau 5,9 SR pada pukul 14.00 WIB.
Minim Sosialisasi dan Mitigasi Bencana
Ketua Ekspedisi Sesar Palu-Koro pegiat LSM Perkumpulan Skala Trinirmalaningrum mengkritik pemerintah daerah yang abai dalam memberikan pendidikan mitigasi bencana ke masyarakat di Sulawesi Tengah. Rini berkata, selama ia melakukan ekspedisi sesar Palu-Koro banyak ditemukan warga yang tidak mengetahui keberadaan sesar itu dan bahaya yang mengancam mereka. Ia juga menyebut minimnya sosialisasi dari pemda ihwal sesar Palu-Koro dan sejarah gempa di Donggala atau Sulawesi Tengah.
"Panduan kalau mau evakuasi kumpul di titik mana, itu juga minim. Padahal kalau terjadi gempa itu wilayah-wilayah yang bakal terkena dampak," kata Rini.
Pegiat LSM yang bergerak di bidang bencana itu menyebut, selama ini masyarakat di Sulteng hanya mengandalkan insting saat melarikan diri kala gempa terjadi. Menurut Tri, ketika gempa besar terakhir kali melanda 1968 lalu, warga di Donggala dan Sulteng menyelamatkan diri tanpa mengandalkan panduan dari pejabat pemerintah setempat.
"Umumnya warga itu cerita, yang menggerakkan mereka ketika terjadi gempa tuh pasti goyangannya. Bukan panduan lari ke mana dan ke mana. Pokoknya berhamburan saja ke luar," kata Rini.
Editor: Muhammad Akbar Wijaya