Menuju konten utama

BMKG Pantau Titik Panas yang Makin Bertambah Akibat Kemarau

Peningkatan jumlah hotspot diakibatkan kondisi atmosfer dan cuaca yang relatif kering sehingga mengakibatkan tanaman menjadi mudah terbakar.

BMKG Pantau Titik Panas yang Makin Bertambah Akibat Kemarau
Api membakar pepohonan dan semak belukar ketika terjadi kebakaran lahan di Desa Kualu, Kampar, Riau, Minggu (14/8). ANTARA FOTO/Rony Muharrman.

tirto.id - Jumlah titik panas (hotspot) mengalami peningkatan seiring semakin meluasnya pengaruh musim kemarau di sejumlah wilayah di Indonesia.

"Wilayah yang cukup signifikan mengalami peningkatan titik panas yaitu Kalimantan Barat [798 titik], Kalimantan Tengah [226 titik], Jambi [19 titik] dan Sumatera Selatan [13 titik]," kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati dalam rilisnya di Jakarta, Kamis (23/8/2018).

Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi pengaruh musim kemarau yang berlangsung Agustus-September hanya mencakup sebagian besar Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.

Namun pengaruh musim kemarau meluas ke wilayah Sumatera bagian Selatan, Kalimantan, dan sebagian Sulawesi.

Dwikorita mengungkapkan, informasi titik panas tersebut disusun oleh LAPAN, berdasarkan citra satelit Terra dan Aqua.

Peningkatan jumlah hotspot tersebut, menurut Dwikorita, diakibatkan kondisi atmosfer dan cuaca yang relatif kering sehingga mengakibatkan tanaman menjadi mudah terbakar.

Kondisi tersebut diperparah dengan maraknya pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertanian dengan cara membakar.

Oleh karena itu, BMKG terus berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Daerah, Instansi terkait, dan masyarakat luas untuk terus meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap potensi kebakaran lahan dan hutan, bahaya polusi udara dan asap, potensi kekeringan lahan dan kekurangan air bersih.

"Yang perlu diwaspadai adalah dampak kabut asap karena berpotensi mengganggu kesehatan. Untuk meminimalisasi risiko akibat paparan kabut asap tersebut kami mengimbau masyarakat menggunakan masker untuk menutup mulut dan hidung," katanya.

Sementara itu, Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Herizal menerangkan hasil monitoring yang dilakukan BMKG menunjukkan hingga pertengahan Agustus 2018 hampir seluruh wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau yaitu sebanyak 95.03 persen.

Sedangkan sisanya 4.97 persen masih mengalami musim hujan. Adapun musim kemarau diprediksikan akan berlangsung hingga akhir Oktober 2018.

Herizal memaparkan, pantauan BMKG terhadap deret hari tanpa hujan sebagai indikator kekeringan meteorologis awal menunjukkan, deret hari tanpa hujan (HTH) kategori sangat panjang (31-60 hari) hingga ekstrem (lebih 60 hari) umumnya terjadi sebagian besar di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, meskipun di beberapa daerah sudah terpantau terdapat jeda hari hujan.

Di sebagian Sumatera bagian Selatan, Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, pengaruh meluasnya musim kemarau itu juga ditunjukkan oleh munculnya beberapa daerah yang telah mengalami HTH kategori menengah (11-20 hari) hingga panjang (21-30 hari).

"Kondisi kering itu diikuti oleh kemunculan hotspot yang memicu kejadian kebakaran hutan dan lahan yang pada akhirnya menimbulkan asap dan penurunan kualitas udara. Jumlah hotspot di Kalimantan Barat sendiri mengalami peningkatan 17,6 persen dibandingkan pekan lalu," kata Herizal.

"Awal pekan ini, pantauan alat kualitas udara di Stasiun Klimatologi Mempawah menunjukkan konsentrasi Particulate Matter (PM10) tertinggi sebesar 356.93 mikrogram/m3 yang artinya masuk dalam kategori berbahaya. Pengamatan jarak pandang mendatar (visibility maksimum) tercatat kurang dari 100 meter," tambah dia.

BMKG memprediksi kondisi tersebut akan relatif berkurang dalam waktu beberapa hari kedepan. Namun demikian, lanjut Herizal, tetap diperlukan kewaspadaan dan langkah antisipatif untuk meminimalisasi dampak.

Baca juga artikel terkait TITIK PANAS KARHUTLA

tirto.id - Sosial budaya
Sumber: Antara
Penulis: Maya Saputri