tirto.id - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyarankan pasangan muda dan pasangan berusia subur yang baru menikah menunda kehamilan hingga enam bulan ke depan. Imbauan BKKBN ini disampaikan lantaran Indonesia saat ini masih dalam masa kritis penularan COVID-19.
"BKKBN tidak melarang orang untuk hamil, hanya kita memberikan saran dan masukan agar ditunda dulu jika tidak terlalu mendesak mendapatkan momongan," kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo di Jakarta, Jumat, saat menyampaikan keterangan pers berkenaan dengan Hari Kependudukan Dunia, Jumat (10/7/2020) dilansir dari Antara.
BKKBN menyarankan penundaan kehamilan pada perempuan berusia muda, sekitar 21 tahun. Namun BKKBN tidak menyarankan penundaan kehamilan pada perempuan yang usianya sudah 34 tahun karena memang usia tersebut sudah terlalu tua dan lebih berisiko bagi kesehatan bagi ibu dan janinnya.
"Sebab kalau sudah masuk usia 34 tahun, sudah masuk usia yang terlalu tua," kata Hasto.
Bila memang sudah dalam kondisi hamil, Hasto menyarankan mereka membentengi diri dari risiko penularan COVID-19 dengan menjaga daya tahan tubuh.
Perempuan yang sedang hamil, menurut dia, harus ekstra berhati-hati pada pekan pertama hingga ketiga kehamilan karena pada masa itu proses pembentukan organ sedang berlangsung.
BKKBN, lanjut Hasto khawatir adanya pandemi COVID-19 membawa dampak lahirnya sumber daya manusia (SDM) yang kurang berkualitas.
"Kalau COVID-19 dampaknya terhadap proses reproduksi serius maka lahirlah SDM yang kurang berkualitas yang akan memengaruhi ke depan," kata Hasto.
BKKBN juga menyoroti kehamilan yang tidak atau belum dikehendaki oleh pasangan subur akibat dampak pandemi COVID-19 yang terjadi sejak beberapa bulan terakhir di Tanah Air.
Menurutnya, dampak kehamilan yang tidak atau belum dikehendaki oleh pasangan usia subur tersebut imbas dari pandemi COVID-19 sehingga kelompok itu terganggu atau terhambat dalam mengakses layanan kontrasepsi.
Ia mengatakan sebelum pandemi COVID-19, angka kehamilan yang belum atau tidak dikehendaki tersebut 17,5 persen. Bahkan di beberapa kota besar di antaranya DKI Jakarta justru lebih tinggi lagi yakni 26 persen dan Yogyakarta 24 persen.
Tidak hanya itu, kehamilan yang tidak atau belum dikehendaki oleh pasangan subur tersebut juga berdampak pada kekerasan dalam rumah tangga, perceraian dan "stunting" (kekerdilan anak) yang sama sekali tidak diharapkan.
"Imbas berikutnya adalah kematian ibu dan bayi," katanya.
Menurut dia, masalah-masalah kependudukan tersebut perlu dicermati terutama pada saat Hari Kependudukan Dunia. Sebagai lembaga yang mengacu pada Undang-Undang nomor 52 tahun 2009 BKKBN mengemban amanat tidak hanya sebagai badan koordinasi keluarga berencana nasional tapi juga badan kependudukan.
Oleh karena itu, kata Hasto Wardoyo, fungsi BKKBN secara nasional terkait dengan masalah kependudukan juga terus dioptimalkan termasuk memberikan peran yang terbaik agar berdampak besar terutama dalam memecahkan masalah kependudukan.
Senada dengan itu, Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Dr. Dwi Listyawardani mengatakan sesuai tema global Hari Kependudukan Dunia, BKKBN masih mengusung hal-hal berkaitan dengan pandemi COVID-19 yang berimbas pada pelayanan dasar kesehatan ibu dan anak.
"Termasuk pula kekerasan tehadap perempuan, karena hal ini muncul tidak hanya di Indonesia tapi juga menjadi masalah dunia," kata Dwi.
Oleh sebab itu, beragam persoalan kependudukan tersebut menjadi perhatian serius BKKBN di tengah pandemi COVID-19.
Kemudian dalam rangka memperkuat peran lembaga yang mengelola kependudukan, BKKBN sedang menyusun naskah akademik sebuah Rancangan Undang-Undang guna memperkuat UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Kependudukan dan Peraturan Presiden yang berkaitan dengan pembangunan kependudukan.