Menuju konten utama

Bisikan Leluhur yang Membimbing Keputusan Politik HB IX

Wisik menjadi dasar keputusan politik Sultan HB IX ketika ia mantap memilih republik dan memperjuangkannya sepenuh hati.

Bisikan Leluhur yang Membimbing Keputusan Politik HB IX
Hamengkubuwono IX. Foto/koleksikunoanggoro

tirto.id - Dorojatun gagal menyelesaikan kuliahnya di Universitas Leiden, Belanda. Pada Oktober 1939, ayahnya, Sultan Hamengkubuwana (HB) VIII, mendadak memanggilnya pulang ke Hindia Belanda.

Dorojatun memenuhi panggilan mendadak itu. Ia bertemu sang ayah di Hotel Des Indes—kini kompleks pertokoan Duta Merlin, Jakarta. Di situlah Sultan HB VIII menyerahkan sebilah keris Joko Piturun kepada Dorojatun. Dalam tradisi suksesi keraton Yogyakarta, keris Joko Piturun hanya diwariskan Sultan kepada putra mahkota calon penggantinya.

Tepat tiga hari setelah Joko Piturun diterima Dorojatun, HB VIII jatuh sakit. Sehari kemudian, 22 Oktober 1939, sang raja mangkat.

Sebagai putera mahkota, Dorojatun tak serta merta menjadi raja. Keraton Yogyakarta masih terikat kontrak politik dengan Belanda yang dimulai sejak Pangeran Mangkubumi alias Hamengkubuwana I mendirikan Yogyakarta. Kontrak politik keraton Yogyakarta-Belanda harus diperbaharui setiap ada pergantian sultan.

Sesuai kesepakatan, sebelum Dorojatun dinobatkan sebagai raja, Gubernur Belanda di Yogyakarta mengambilalih sementara kekuasaan keraton. Saat itu, jabatan gubernur dipegang oleh Lucien Adam, seorang pegawai kolonial berpengalaman. Lucien terus bernegosiasi dengan Dorojatun untuk mendapatkan kontrak politik baru.

Baca juga: Hamengkubuwana IX Melawan Soeharto dengan Diam

Perundingan berjalan alot dari November 1939 sampai Februari 1940. Ada tiga perkara yang tak kunjung disepakati kedua belah pihak: pepatih dalem, dewan penasihat, dan prajurit keraton.

Belanda menginginkan jabatan patih harus melalui persetujuan Gubernur Lucien Adam. Hal ini tidak disepakati Dorojatun, karena patih secara tidak langsung menjadi kepanjangan tangan Belanda di lingkungan istana. Sebaliknya, Dorojatun menginginkan jabatan patih dihilangkan dari struktur birokrasi keraton.

Dorojatun juga menolak keinginan Belanda soal dewan penasehat. Lucien Adam menghendaki komposisi dewan penasihat berasal separuh dari orang Belanda dan separuh dari lingkungan keraton.

Soal prajurit, Belanda menginginkannya menjadi bagian tentara Hindia Belanda. Atas keinginan ini, Dorojatun juga enggan menuruti.

Wisik Sebagai Dasar Keputusan Politik

Tiga masalah pelik ini belum terpecahkan sampai awal 1939 dan membuat Dorojatun berada dalam tekanan batin. Baginya, kontrak itu akan membawa konsekuensi politik jangka panjang terhadap keraton Yogyakarta. Tapi pada suatu petang di bulan Februari 1940, saat dirinya terbaring di antara setengah tidur dan bangun, tiba-tiba mendengar wisik atau bisikan gaib dari mendiang ayahnya.

Tole, tekena bae, Landa bakal lunga saka bumi kene” (Nak tandatangi saja, Belanda akan pergi dari wilayah sini), demikian wisik itu berbunyi seperti dituturkan Dorojatun dalam Takhta Untuk Rakyat (1982).

Usai mendengar wisik dari leluhurnya, Dorojatun segera menemui Lucien Adam malam itu juga. Perundingan hanya berlangsung 10 menit. Tanpa membaca isinya, Dorojatun menyepakati kontrak politik yang disodorkan Belanda.

Selo Soemardjan, pakar sosiologi terkemuka yang pernah menjadi asisten pribadi Dorojatun, menyampaikan kepada Abrar Yusra dalam Komat Kamit Selo Soemardjan (1995) bahwa konflik tertutup antara Dorojatun dengan Lucien Adam akhirnya selesai setelah sang calon raja mengalah dalam persoalan pepatih dalem. Tetapi di sisi lain, ia berhasil membatalkan persoalan Balai Agung dan legiun keraton.

Setelah kontrak diteken pada 18 Maret 1940, akhirnya Dorojatun dinobatkan sebagai raja Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono (HB) IX. Gelar panjangnya: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ingalogo Abdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping IX.

Butuh tiga tahun bagi Sultan HB IX untuk kembali meneguhkan wisik yang ia terima. Jepang menunjukkan diri sebagai kekuatan baru di Asia-Pasifik. Invasi Jepang ini membuat ketar-ketir kekuasaan Belanda.

Dalam hitungan penguasa Belanda, Jepang akan segera tiba di Indonesia. Pada masa-masa inilah Belanda merayu Sultan HB IX untuk melarikan diri ke Australia bila Jepang benar-benar datang. Sultan HB IX menolak. Ia beralasan ingin tetap berada di Yogyakarta apa pun kondisinya. Ia berpikir, jika dirinya bersedia ikut melarikan diri ke Australia, maka hanya akan menjadi “sandera politik” sebagai alat negosiasi Belanda kepada Jepang.

Baca juga: Kisah-Kisah Pahit dan Menarik dari Masa Pendudukan Jepang

Lantaran Sultan bersikukuh dengan pendiriannya, Belanda berniat menculiknya dari keraton. Untuk mewujudkan rencana tersebut, Belanda memerintahkan Camat Wates menebang pohon kelapa di area calon tempat pendaratan pesawat dan penempatan pasukan penculik Sultan.

“Peristiwa ini masih mudah dicek, karena yang menjadi camat waktu itu adalah Selo Soemardjan. Penculikan ini gagal hanya karena pada waktu rencana akan dilaksanakan, bala tentara Jepang keburu masuk Yogyakarta,” kata HB IX.

Jepang akhirnya masuk ke Yogyakarta pada 5 Maret 1942, tiga hari sebelum Belanda resmi menyerah di Kalijati, Subang.

Ada dua keputusan politik yang ditempuh Sultan HB IX ketika Jepang mulai bercokol di Yogyakarta. Pertama, segala hal ihwal yang dilakukan Jepang di Yogyakarta harus melalui dirinya. Kedua, ia ingin mengendalikan keraton Yogyakarta secara penuh tanpa ada campur tangan pepatih dalem, seperti dilakukan Belanda. Keinginan Sultan ini dipenuhi Jepang. Ia bahkan dinobatkan untuk kedua kali sebagai Raja Yogyakarta pada 1 Agustus 1942 oleh Panglima Pendudukan Bala Tentara Jepang di Jakarta.

Baca juga: Serdadu Jepang Terakhir di Indonesia

Sultan bahkan bisa meyakinkan Jepang untuk tidak menjadikan rakyat Yogyakarta sebagai tenaga romusha seperti terjadi di daerah-daerah lain. Dengan dalih kemiskinan dan kekeringan di Yogyakarta, Sultan bernegosiasi dengan Jepang supaya memberikan dana untuk pembangunan saluran irigasi. Proyek ini menghindarkan rakyat Yogyakarta untuk dijadikan romusha di daerah lain, karena tenaga mereka terserap untuk pembangunan kanal yang kini akrab disebut Selokan Mataram (baca: Muda dan Jadi Romusha Bersama Saudara Tua).

Selokan tersebut membentang dari Sungai Progo di sebelah barat hingga Sungai Opak di sebelah timur keraton. Keberhasilan Sultan HB IX ini juga meneguhkan ramalan yang sebelumnya dipercaya masyarakat Yogya bahwa “Bumi Mataram akan sejahtera bila nanti Kali Progo dan Opak bertemu.”

Selain itu, masyarakat Jawa percaya kepada ramalan Prabu Jayabaya, raja Kediri di abad 11, yang menyebutkan, “Orang Jawa dijajah oleh bangsa kulit kuning, tetapi umur penjajahannya hanya seumur jagung.” Kedatangan Jepang seolah-olah membenarkan ramalan tersebut.

Jepang yang berkuasa 3,5 tahun pada akhirnya kalah dari sekutu, dan Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. “Kenyataannya, ramalan Prabu Jayabaya benar-benar terlaksana, asalkan kita tahu bagaimana mengartikan kata-kata penuh kiasan itu,” kata Sultan.

Infografik HL Indepth Yogyakarta

Tiga hari setelah pembacaan teks Proklamasi, 20 Agustus 1945, Sultan HB IX mengirimkan telegram kepada Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Isinya menegaskan bahwa Kasultanan Yogyakarta “sanggup berdiri di belakang pimpinan” mereka. Surat telegram ini kemudian ditindaklanjuti dengan amanat Sultan HB X pada 5 September 1945. Amanat inilah yang kemudian turut menentukan nasib Yogyakarta di masa depan.

Ada tiga poin pokok dalam amanat sultan. Pertama, Ngayogyakarta Hadiningrat berbentuk kerajaan yang merupakan Daerah Istimewa, bagian dari RI. Kedua, segala kekuasaan dalam negeri dari urusan pemerintahan berada di tangan Hamengku Buwono IX. Ketiga, hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah negara Republik Indonesia bersifat langsung dan Sultan bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.

Sikap Sultan untuk tegas mendukung Republik disambut Sukarno dengan sangat tangan terbuka. Presiden pertama itu mengeluarkan Piagam Penetapan tertanggal 19 Agustus 1945. Menyusul Piagam Penetapan itu, Sultan berpidato di depan corong radio untuk menegaskan sikapnya mendukung penuh Republik.

Dengan sikap politik Sultan HB IX ini, Kasultanan Yogyakarta sebagai swapraja nyaris bebas dari revolusi sosial sebagaimana terjadi di daerah-daerah lain, seperti di Sumatera Timur dan Aceh.

Baca juga: Bagaimana Amir Hamzah Dibunuh 71 Tahun Lalu

Di awal Januari, Sultan yang menjabat sebagai Kepala sekaligus Gubernur Militer DIY, menerima keputusan rapat kabinet bahwa ibukota negara dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Alasannya, kondisi keamanan di Jakarta tak lagi memungkinkan karena sudah diduduki Belanda. Pada 4 Januari 1946, Yogyakarta mulai menjadi ibukota negara dan menjadikan kota ini sebagai basis perjuangan politik, militer, dan diplomasi Republik.

Selama masa Revolusi (1945-1949), Sultan berperan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia menyerahkan sebagian harta kekayaan keraton untuk membiayai Republik yang merdeka tanpa modal. Menurut perhitungan Hatta, harta yang diserahkan Sultan ke Republik menembus sekurang-kurangnya 6 juta gulden.

Selama revolusi itu pula ia menjadi sosok patriot yang setia. Ketika ibukota negara Yogyakarta hampir jatuh akibat agresi militer Belanda II pada 29 Desember 1948, Sultan tetap bersikukuh membela republik. Ia menampik tawaran yang menjanjikannya menjadi pemimpin Jawa di bawah kekuasaan Belanda.

Sebaliknya, ia malah melindungi para tentara republik dan menggagas Serangan Umum 1 Maret 1949. Serangan balasan selama enam jam itu telah membuka mata internasional untuk bersimpati kepada Indonesia. Dari situ, Sultan HB IX mengantarkan Indonesia pada Perundingan Roem-Royen hingga Konferensi Meja Bundar (baca: Ketika Sukarno Kembali ke Jakarta).

Ketika akhirnya Belanda menyerahkan kedaulatan kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), 27 Desember 1949, di Istana Rijkswik (sekarang Istana Merdeka), Sultan HB IX diberi kepercayaan untuk menerima penyerahan kedaulatan itu sebagai wakil dari pemerintah RIS.

Baca juga: Merdeka tanpa Modal

Apa yang membuat Sultan teguh dengan perjuangannya membela republik? Kepada penulis buku Takhta untuk Rakyat, ia berujar, wisik dari leluhur pada Februari 1940 itulah yang membuatnya yakin terhadap semua keputusan-keputusan politiknya.

“Saya memang yakin dan percaya penuh terhadap wisik itu. Dan anehnya makin lama makin begitu yakin sehingga seterusnya menjadi sumber dasar sikap saya dalam menghadapi Belanda, jaman Jepang dan proklamasi kemerdekaan. Saya tak tahu mengapa demikian, dan tak dapat menerangkannya secara ilmiah,” ujar Sultan.

Baca juga artikel terkait KERATON YOGYAKARTA atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Humaniora
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Zen RS