tirto.id - Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 mengalami kontraksi 2,07%. Ini merupakan capaian terburuk sejak 22 tahun terakhir atau setelah krisis moneter 1998. Selama tiga kuartal berturut-turut di tahun 2020, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi yang berarti masuk resesi.
“Ini merupakan dampak pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia termasuk Indonesia dan kita juga melihat buruknya dampak pandemi ke seluruh sektor ekonomi,” jelas Kepala BPS Suhariyanto, Jumat (5/2/2021).
Pertumbuhan ekonomi terpukul karena konsumsi masyarakat yang selama ini memberikan kontribusi terbesar pada perekonomian anjlok tajam akibat pandemi COVID-19. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan konsumsi rumah tangga menyumbang 57,66 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Karena itu mengembalikan tingkat konsumsi masyarakat menjadi salah satu kunci untuk memulihkan ekonomi.
Namun, menggenjot konsumsi di tengah pandemi tampaknya bukan perkara mudah. Sebagian masyarakat kehilangan penghasilan atau mengalami penurunan penghasilan akibat pandemi. Sementara sebagian lainnya, terutama dari kelas menengah yang masih memiliki penghasilan, memilih jalur aman dengan menyimpan sebagian penghasilannya.
Hal itu mendorong peningkatan simpanan masyarakat di perbankan. Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyebutkan simpanan masyarakat pada 109 bank umum per Desember 2020 mengalami kenaikan sebesar 10,86% (YoY) dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya menjadi Rp6.737 triliun atau tumbuh 0,53% (MoM) dari bulan sebelumnya.
Adapun jumlah rekening simpanan pada Desember 2020 tumbuh 16,12% secara YoY menjadi 350.324.950 rekening dibandingkan Desember 2019. Apabila dibandingkan bulan sebelumnya, jumlah rekening perbankan naik 1,68% (MoM).
Perlunya Mendorong Sektor Properti
Pemerintah sendiri terus berupaya mendorong konsumsi masyarakat melalui berbagai insentif dan bantuan tunai, yang tertuang dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Salah satu yang perlu didorong untuk bisa mendorong konsumsi adalah pemberian stimulus di sektor properti.
“Karena sektor properti sangat strategis, melekat di berbagai dimensi, tidak hanya dimensi ekonomi, tapi juga dimensi sosial, keuangan dan juga fiskal,” kata Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan RI Andin Hadiyanto.
Sektor properti memang memberikan kontribusi besar pada perekonomian. Di ibu kota, misalnya, menurut data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, industri konstruksi dan real estate memberi sumbangan 17,61 persen kepada ekonomi Jakarta pada 2019.
Sumbangan juga diberikan dalam bentuk investasi dalam negeri mencapai Rp14,8 triliun atau 23,9 persen dari total investasi yang ada di DKI Jakarta. Sektor ini juga turut memberikan sumbangan investasi asing senilai Rp17,5 triliun atau 28,3 persen dari total investasi. Industri ini juga menyerap 425 ribu tenaga kerja pada 2018.
Secara nasional, peran sektor properti ini bisa lebih besar lagi. Menurut data Real Estate Indonesia (REI), sektor ini terhubung dengan 13 bidang usaha dan memiliki cakupan ke 174 industri turunan, serta menaungi sekitar 20 juta tenaga kerja. Dari situ bisa terlihat bagaimana peran sektor properti punya peranan yang cukup besar untuk perekonomian nasional.
“Jadi properti itu lokomotif ekonomi karena dari sektor itu bisnis turunannya banyak,” jelas Associate Director Coldwell Banker Commercial Dani Indra Bhatara kepada Tirto, Jumat (12/2/2021).
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal mengungkap andil sektor properti terhadap perekonomian memang cukup diperhitungkan. Secara nasional, kontribusi sektor properti terhadap PDB mencapai 2,9 persen.
"Lebih besar dibandingkan jasa kesehatan. Kesehatan hanya 1,3 persen," tutur dia kepada Tirto, Senin (15/2/2021).
Stimulus Perumahan
Dengan melihat data tersebut, maka pemberian insentif sektor properti memang menjadi sebuah keharusan. Pemerintah sendiri memang sudah merancang serangkaian insentif untuk mengatasi kelesuan sektor properti selama pandemi COVID-19. Asisten Deputi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Kemenko Perekonomian Bastary Pandji Indra menjelaskan, insentif yang diberikan itu ditujukan untuk meringankan baik pembeli maupun industri.
"Salah satu stimulus yang ditujukan untuk meringankan beban dari sisi pembeli adalah insentif perumahan berupa Subsidi Selisih Bunga (SSB) dan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM). Subsidi tersebut diberikan untuk bantu masyarakat berpenghasilan rendah dan sedang dalam Kredit Pemilikan Rumah (KPR)," katanya, Rabu (29/7/2020).
Pada 2020, anggaran pemerintah untuk SBUM mencapai Rp600 miliar dan SSB Rp3,87 triliun. Sedangkan PMN untuk SMF (PT Sarana Multigriya Finansial) Rp1,75 triliun, PEN Perumahan Rp1,3 triliun dan DAKF (Dana Alokasi Khusus Fisik) Rp1,42 triliun. Sementara pada 2021, pemerintah lewat kementerian PUPR menaikkan alokasi anggaran SBUM menjadi Rp630 miliar dan SSB menjadi Rp5,97 triliun. Sedangkan PMN untuk SMF turut naik menjadi Rp2,25 triliun, tetapi DAKF menjadi Rp1 triliun.
Insentif tak hanya diberikan untuk mempermudah masyarakat membeli rumah, akan tetapi juga pelaku usaha. Pemerintah memberikan insentif berupa relaksasi pajak PPh 21 dan PPh 25 untuk berbagai bidang industri termasuk konstruksi dan beberapa sektor real estate. Ada pula beberapa kebijakan pemerintah yang berpotensi mendorong pemulihan industri real estate, yakni insentif dan stimulus untuk UMKM dan BUMN.
"Insentif tersebut diharapkan dapat menjadi roda penggerak ekonomi untuk mendorong normalisasi kegiatan sosial ekonomi masyarakat sehingga meningkatkan demand untuk industri real estate dan menyiapkan iklim investasi untuk investor pasca pandemi," kata Bastary, seperti dilansir Antara.
Skema bantuan perumahan tersebut melengkapi skema yang sudah ada sebelumnya yakni Kredit Pemilikan Rumah Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (KPR BP2BT) yang pelaksanaannya dilakukan pemerintah bekerja sama dengan Bank Tabungan Negara (BTN). Direktur Consumer and Commercial Lending Bank BTN Hirwandi Gafar mengatakan melalui skema KPR BP2BT, masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dapat memiliki hunian dengan bantuan hingga Rp40 juta dari pemerintah.
Pemerintah juga telah menyediakan bantuan pembiayaan perumahan lainnya bagi masyarakat yakni lewat skema dana bergulir fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan atau FLPP. Dukungan melalui dana bergulir FLPP terus meningkat dari Rp9 triliun pada 2020 menjadi Rp16,62 triliun pada 2021. FLPP merupakan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan kepada MBR yang pengelolaannya dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Untuk penyalurannya dilakukan melalui 37 bank yang menyalurkan KPR, salah satunya BTN.
Plt Direktur Utama BTN Nixon L.P. Napitupulu mengungkapkan, dana FLPP disalurkan dalam bentuk KPR Sejahtera yang hanya bisa diakses MBR. Melalui fasilitas KPR subsidi tersebut, MBR bisa memiliki rumah dengan uang muka mulai 1% dan suku bunga 5% fixed hingga 20 tahun.
Hingga akhir 2020, BTN telah menyalurkan dana FLPP sebesar Rp4,46 triliun untuk 34.367 unit rumah subsidi. Hingga triwulan III/2020, Bank BTN masih menempati posisi nomor pertama di pangsa KPR subsidi dengan porsi lebih dari 90%. Pada 2021, BTN dipercaya menyalurkan dana FLPP senilai Rp8,73 triliun. Dana tersebut akan disalurkan perseroan melalui program KPR subsidi konvensional senilai Rp7,76 triliun dan KPR subsidi syariah senilai Rp965 miliar.
"Dengan dana FLPP total sebesar Rp8,73 triliun kami akan menyalurkannya untuk pembiayaan 81.000 unit rumah subsidi pada tahun 2021," tutur Nixon.
Nixon melanjutkan, dukungan terhadap program-program stimulus sektor properti yang diberikan pemerintah itu tak akan mungkin bisa direalisasikan bila BTN tidak melakukan terobosan. Terobosan yang dimaksud berkaitan dengan upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan pembiayaan perumahan yang diberikan BTN. Nixon mengatakan, percuma saja pemerintah memberikan banyak stimulus bila sulit dijangkau atau sulit diakses.
BTN sendiri, lanjut Nixon, tengah mendorong keterjangkauan akses perumahan bagi lebih dari enam juta masyarakat Indonesia.
“Tahun 2021, kami masih terus memperkuat inovasi dan digitalisasi karena target yang kami canangkan menyesuaikan visi Bank BTN. Adapun target tersebut di antaranya kredit dapat tumbuh sekitar 8 persen, DPK dapat ditingkatkan kurang lebih 10 persen sementara laba kita harapkan dapat menembus sekitar Rp3 triliun dan rasio coverage bisa menyentuh sekitar 125 persen,” jelas Nixon.
Mohammad Faisal melihat bahwa sebenarnya kebutuhan hunian terutama di kalangan masyarakat kelas menengah bawah masih tinggi. Artinya, bila sektor properti ini memperoleh stimulus yang tepat, berupa keringanan skema bayar DP atau kemudahan skema lainnya, bukan tidak mungkin upaya pemerintah memulihkan ekonomi nasional bisa dipercepat.
"Bisa dipermudah skema DP atau pendekatannya ke masyarakat lebih intens, pasti [pertumbuhan dari sektor perumahan] akan lebih baik. Memang masih banyak kalangan menengah ke bawah yang masih belum punya rumah sendiri dan masih tumbuh jumlah keluarganya jumlah masyarakatnya, sehingga kebutuhan untuk rumah tinggal itu masih naik," bebernya.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Windu Jusuf