tirto.id - Sejumlah poster berisi kampanye program pasangan Prabowo-Sandiaga Uno menyebar di sejumlah grup percakapan WhatsApp, Jumat (8/3/2019). Poster tersebut berisi sejumlah program kerja yang konon bakal diusung Prabowo-Sandiaga jika kelak terpilih.
Ada 14 poster dan beberapa berisi program ekonomi. Namun belakangan, poster tersebut diklaim bukan bikinan resmi tim kampanye yang tergabung dalam Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga.
Kepala Media Center BPN Prabowo-Sandiaga, Ariseno Ridhwan mengatakan poster yang beredar itu berbeda dengan visi-misi Prabowo-Sandiaga. Ia balik menyebut, poster tersebut buatan relawan dan karena itu BPN tidak bertanggung jawab terhadap konten yang dipublikasikan.
“Buatan relawan. Janji Pak Prabowo dan Pak Sandi, kan, ada di visi misi mereka,” kata Ariseno saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (8/3/2019).
Program Pajak Dinilai Tak Mendidik
Di antara 14 poster itu, ada poster yang berisi soal program pajak bagi UMKM misalnya bebas pajak penghasilan pas-pasan, pajak UMKM 0 persen bagi yang baru berdiri dan terdaftar, dan tarif pajak pribadi (PPh) dikurangi.
Sekilas, program dari relawan itu tampak meyakinkan. Namun menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, kampanye tersebut tak mendidik.
Ia menilai konsep PPh 0 persen bagi penghasilan pas-pasan sulit diterima, sebab batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang ditetapkan pemerintah saat ini senilai Rp4,5 juta dan merupakan yang tertinggi di ASEAN. Angka ini lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya yang menetapkan ambangnya di angka Rp 3 juta.
“(PTKP) Ini sudah di atas UMP DKI. Kampanye yang tidak mendidik menurut saya. PTKP kita paling tinggi di ASEAN. Waktu menaikkan PTKP, kita kehilangan Rp18 triliun,” ucap Prastowo kepada Tirto, Jumat (8/3/2019).
Anggapan serupa, kata Prastowo, juga berlaku bagi ide penghapusan pajak UMKM. Ia mempertanyakan pada nilai omzet berapa penghapusan itu ditujukan. Pertanyaan itu diajukan Prastowo lantaran pemerintah telah menetapkan PPh UMKM sebesar 0,5 persen.
Sementara itu, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai program pengurangan pajak bagi PPh dan UMKM belum tentu sepenuhnya baik. Ia mengatakan penerapannya harus disertai juga komitmen pemerintah selanjutnya untuk menambah jumlah wajib pajak.
Menurutnya, dengan sistem pajak progresif yang notabene besaran tarifnya bergantung pada seberapa kaya seseorang, jumlah wajib pajak relatif stagnan. Ia mengatakan pada tahap ini penurunan tarif pajak tidak hanya cukup sampai iming-iming mendongkrak konsumsi, tetapi pemerintah perlu menjamin ada redistribusi.
Dalam hal ini, Eko menyebutkan pemerintah perlu meyakinkan masyarakat bahwa mereka akan menikmati juga manfaat dari uang yang mereka bayarkan kepada pemerintah.
“Mungkin menurunkan tarif PPh bisa meningkatkan jumlah wajib pajak. Tapi antusiasmenya harus diukur, harus diantisipasi jangan sampai terjadi sebaliknya,” ucap Eko saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (9/3/2019).
Bisa Bikin Resah Dunia Usaha
Selain soal pajak, ada program ketenagakerjaan (tenaker) yang dikampanyekan poster yang diklaim BPN sebagai bikinan relawan itu. Poster itu berisi soal buruh asing tidak lagi mengambil lapangan kerja masyarakat dan pencabutan PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan untuk menaikkan upah minimum.
Kampanye itu juga dinilai mengkhawatirkan oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah. Ia bahkan menyebut, gagasan yang ditawarkan tentang buruh asing hanya cenderung ingin meresahkan masyarakat, padahal kehadiran buruh asing merupakan hal wajar.
Dalam perhitungannya, Piter berkata, jumlah tenaga kerja asing di Indonesia jauh lebih sedikit dibanding negara-negara ASEAN lainnya. Ia pun mencontohkan Malaysia dan Singapura yang jumlah tenaga kerja asingnya masing-masing mencapai 1,8 juta dan 1,4 juta orang. Keduanya memegang porsi masing-masing 12 persen dan 60,9 persen dari total angkatan kerja.
Keberadaan tenaga kerja asing di Indonesia memang meningkat dari 2008 hingga 2017. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, pada 2008, tercatat ada 38.634 TKA. Jumlahnya meningkat menjadi 73.624 orang pada 2014, dan kembali naik menjadi 85.974 orang pada 2017.
Namun, jika dibandingkan dengan jumlah masyarakat Indonesia berusia 15 tahun yang bekerja, proporsi TKA masih sangat kecil di angka 0,07 persen dari total 127 juta angkatan kerja Indonesia per Februari 2018.
“Kalau dilihat, kita [Indonesia] termasuk sangat sedikit orang asingnya. Dibandingkan Malaysia di mana-mana bisa ada orang asing. Jadi ini sebenarnya ujung-ujungnya nyalahin Jokowi padahal izinnya ada di level Pemda,” ucap Piter kepada reporter Tirto, Sabtu siang.
Piter juga menjelaskan, kehadiran tenaga kerja ini berkaitan erat dengan kebutuhan tenaga ahli. Hal ini menurutnya menepis anggapan bahwa sebagian besar pekerja asing seolah-olah menguasai juga pekerjaan kasar yang menjadi domain masyarakat.
“Seperti di Sulawesi itu memang pekerja [asing] itu dibutuhkan karena skill. Di tambang nikel, ya, kita enggak punya skill-nya,” ucap Piter.
Pada sisi lain, Piter juga menyoroti gagasan untuk mencabut pencabutan PP 78/2015 tentang pengupahan yang ia anggap keliru, lantaran pencabutan PP tersebut berpotensi meresahkan iklim usaha.
Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal berpandangan serupa. Menurutnya, persoalan kesejahteraan tidak cukup hanya dipandang sebagai kenaikan upah. Jika demikian aturan mainnya, kata Faisal, langkah pencabutan PP bisa bikin banyak perusahaan minggat dari Indonesia sehingga malah jadi masalah baru karena mengurangi lapangan pekerjaan.
“Banyak sebetulnya intervensi pemerintah agar kesejahteraan tidak murni dengan menaikan upah. Kalau semua dibebankan ke perusahaan, bisa enggak baik untuk iklim usaha juga," ucap Faisal kepada reporter Tirto.
Faisal menyarankan persoalan kesejahteraan ini diintervensi dengan pendekatan biaya hidup yang lebih terjangkau. Meski tidak berarti murah, ia menyebutkan kebutuhan dasar seperti transportasi publik, biaya pendidikan, hingga rumah tinggal harus mudah diakses masyarakat.
Upaya lain juga dapat dilakukan dengan menjaga fluktuasi atau volatilitas harga pangan sehingga tidak membebani masyarakat berpenghasilan rendah.
“Daya beli tidak semua bisa dijawab dengan kenaikan upah buruh. Di negara negara lain masalah kesejahteraan ini sebagian bisa diambil perannya oleh pemerintah,” ucap Faisal.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Mufti Sholih