tirto.id - Pada kampanye pemilihan kepala daerah DKI Jakarta di tahun 2016 silam, Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY selaku calon gubernur menyampaikan berbagai cara untuk mengatasi banjir tanpa harus menggusur perumahan. Salah satunya adalah rumah apung—yang seperti namanya, mengapung di perairan.
Walaupun AHY mengaku ini hanya salah satu contoh dari kota-kota di negara lain dan tidak diimplementasikan ke programnya, kritik langsung dilontarkan oleh masyarakat.
Apa itu rumah apung? Arti sederhananya adalah elemen bangunan yang berdiri di atas permukaan air. Konsep itu terbagi menjadi dua jenis yaitu houseboat atau rumah kapal yang dapat bergerak sendiri, dan floating house atau rumah mengapung yang menetap di sebuah lokasi.
Menurut Duane Newcomb dalam buku The Wonderful World of Houseboating (1974), rumah kapal bagaikan mobil karavan di darat karena memaksimalkan ruang kecil sambil bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan rumah mengapung biasanya tidak bisa bergerak sendiri dan harus ditarik oleh kapal lain.
Dengan fondasi yang lebih besar dan stabil, rumah mengapung dapat mempunyai konstruksi layaknya rumah di darat. Selain itu, para penghuni rumah yang berada di lokasi permanen ini biasanya adalah sekumpulan orang yang terbentuk menjadi komunitas.
Rumah apung memang hadir sebagai opsi hunian di negara lain seperti yang disampaikan oleh AHY. Namun, alasan pemerintah dan pengembang membangun rumah-rumah di atas air ini bukanlah semata mengatasi banjir dan menghindari penggusuran.
Contohnya adalah Amsterdam, Belanda yang mendirikan rumah apung bukan hanya untuk mengatasi kepadatan penduduk, tetapi juga karena tingkat air laut yang semakin meninggi. Sebut saja 18,000 hunian yang sedang dibangun di danau Ij—sebuah distrik bernama perumahan Ijburg.
Muncul proyek-proyek rumah apung lain yang bertujuan untuk menarik beragam masyarakat serta menyelesaikan berbagai permasalahan hunian. Di Finlandia, Marintek menerima proyek-proyek pembangunan rumah mengapung sejak perusahaanya dibentuk pada tahun 2007. Beberapa karyanya adalah desa mengapung di Reposaari Village dan Villa Helmi yang lebih mewah.
Inggris sendiri sedang mencoba untuk membangun desa mengapung pertama di London, mengubah 15 hektare air di bagian timur Emirates Airline menjadi hunian. Sedangkan rencana pembangunan perumahan mengapung yang menggunakan energi matahari di Ediburgh, Skotlandia juga sempat digagas pada tahun 2014.
Hidup Bohemian dan Realita di Atas Air
Kapal yang dimodifikasi agar berfungsi sebagai rumah dapat ditemukan di perairan Amerika Utara, Australia, Eropa, bahkan Asia. Buku Houseboats from Floating Places to Humble Dwellings (1979) mengatakan bahwa rumah kapal di negara-negara barat dahulu kala dipergunakan untuk akhir pekan, liburan,atau disewakan.
Namun sebelum buku ini dirilis, orang-orang yang menggunakan rumah kapal untuk menjalani hidup sehari-harinya memang sudah ada. Menyusuri perairan kota-kota Eropa seperti Paris, London, dan Amsterdam—mengembara dan hidup bebas bagaikan bohemian di tahun 1960-an dan 1970-an
Seperti yang dilansir dari situs A City Made By People, hunian menjadi permasalahan besar di Amsterdam pada tahun 1980-an. Dengan protes warga merajalela, solusi berupa rumah kapal sebagai tempat tinggal pun hadir.
Salah satunya adalah pasangan Elisabeth dan Hans Taseelar Schlager yang harus menetap di rumah kapal saat mendapatkan tempat tinggal di daratan ibukota Negeri Kincir Angin ini sulit. Selain itu, Elisabeth memang menyukai gaya hidupnya karena dekat dengan alam dan kebebasan .
30 tahun lebih berlalu, keduanya menganggap kapal yang berada di kanal Da Costakade ini sebagai sebuah pulau pribadi. Kini mereka hidup dengan seorang anak dan dua kucing—satu keluarga di atas air yang tidak berencana untuk menetap di darat.
Alasan pribadi juga dapat memengaruhi seseorang untuk akhirnya tinggal di rumah apung. Selain hidup bebas bagaikan bohemian, harga yang lebih murah daripada hidup di darat memang menjadi faktor utama.
Sebut saja Claira Watson Parr yang tinggal di rumah apung sejak tahun 2014 karena mahalnya uang sewa di London. Bernama Bobbie’s Girl, bentuknya masih seperti kapal namun interiornya telah diubah agar bisa dihuni setiap hari dan sepanjang tahun.
Sebelum memutuskan untuk membeli kapal, wanita yang bekerja sebagai aktris ini melakukan riset selama 6 bulan; berbicara dengan teman, mencari informasi di internet, dan melihat kapal-kapal yang sesuai.
Dilansir dari In Your Area, Parr mengaku perbedaan utama dari hidup di darat dan air adalah air, listrik, dan kamar mandi. Untuk air ia harus mengisi tanki di setiap pemberhentian sungai atau kanal sedangkan kebutuhan listrik berasal dari baterai serta panel energi matahari miliknya. Sistem kompos digunakan aktris ini untuk membersihkan kotoran di kamar mandi karena tidak ada bau dan diklaim lebih mudah.
Faktanya, tidak semua rumah apung terdengar indah atau bahkan tertata dengan rapih. Layaknya di darat, perumahan apung kumuh pun hadir termasuk di ibukota negara maju seperti London.
Pada tahun 2013, The Guardian meliput perumahan apung kumuh di sungai Thames. Dalam artikelnya, Sam Forbes mendeskripsikan tiga rumah apung yang sesak diisi oleh 20 orang. Tanpa mesin dan struktur bangunannya terlihat reyot, rumah-rumah ini bagaikan gubuk mengapung.
Di bulan Februari tahun yang sama, Forbes pindah ke salah satu rumah apung kumuh ini saat bekerja di restoran. Tempat tinggalnya dikelilingi oleh kelembaban, residu bahan bakar dari kompor, jamur di dinding, serta paku dan baut yang dapat melukainya. Karena kotor, basah, dan terekspos udara dingin ia berpindah-berpindah ke rumah apung lain yang lebih bersih dan kering.
Terakhir ia pindah di rumah apung seharga £280 atau sekitar Rp5,3 juta dengan tinggi 2,1 meter dan panjang 2,8 meter. Tetangganya yang betah tinggal lama mengaku menyukai hidup bebas di sungai. Pekerja gaji minimum, peminum berat, pengguna narkoba, orang-orang yang berpesta hingga pagi hari; semuanya ada.
Dua setengah bulan berlalu, setelah pemeriksaan keamanan menemukan enam pelanggaran yang berbahaya, Forbes akhirnya meninggalkan rumah apungnya.
Rumah Lanting, Rumah Apung Asli Indonesia
Di Indonesia rumah apung juga bisa ditemukan tetapi bukan terletak di ibukota dan tidak modern atau canggih. Lokasinya ada di Kalimantan Selatan: rumah mengapung tradisional bernama rumah lanting.
Berfungsi sebagai penahan erosi, rumah lanting tidak bisa terkena banjir atau tenggelam. Menurut Indah Mutia dan Dahliani dalam jurnal bertajuk "Eksistensi dan Preferensi Bermukim di Rumah Lanting" (2014), bagian dasar rumah yang ditopang oleh bambu atau kayu gelondong diikat dengan kuat sebagai penyokong agar rumah mampu terapung di sungai saat surut maupun pasang air sungai.
Namun seiring waktu, rumah lanting pun termakan oleh zaman. Menurut jurnal Muhammad Zaini asal Universitas Negeri Malang berjudul "Upaya Mengenalkan Model Rumah Lanting yang Ramah Lingkungan Untuk Mengurangi Laju Abrasi Sungrai Martapura Dalam Wilayah Kota Banjarmasin" (2008), sarana dan prasarana transportasi darat yang semakin baik berakibat rumah lanting kurang diminati oleh penghuninya.
Saat jurnal ini dibuat, rumah lanting masih ada sebanyak 132 buah di sepanjang Sungai Martapura dan hanya 11 buah di Sungai Barito dekat muara Sungai Kuin.
Dilema pun muncul bagi para pengambil kebijakan. Pada satu sisi pengakuan hadir, contohnya adalah usulan pembenahan pemukiman terapung pada tanggal 26 September 2000 oleh Badan Perencanaan Pembangunan Kota (BAPPEKO) Banjarmasin. Di sisi lain penggusuran rumah lanting terus berlangsung.
Dilansir dari KompasProperti, Wijanarka Arka selaku Arsitek dan Dosen Jurusan Arsitektur Universitas Palangkaraya mengatakan apabila di Kalimantan rumah apung berada di sungai, di DKI Jakarta bisa dibangun di pantai untuk nelayan yang terdampak naiknya muka air laut. Jadi kemungkinan pembangunan rumah apung di Indonesia itu ada, termasuk di ibukota.
Tertarik untuk tinggal di rumah apung?
Penulis: Rama Indirawan
Editor: Nuran Wibisono