tirto.id - NU akan menggelar peringatan hari lahir (Harlah) ke-101 pada 29-31 Januari 2024 di Yogyakarta. Lebih dari 1 abad silam, organisasi Islam ini dibidani 8 kiai pendiri, termasuk KH Abdul Chalim. Bagaimana sejarah hidup dan perjuangan KH Abdul Chalim?
Kiai Haji Abdul Chalim merupakan salah satu dari beberapa nama kyai pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Pria asal Leuwimunding (salah satu kecamatan di Majalengka) ini pernah berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
KH Abdul Chalim sempat mendirikan pasukan Hizbullah Majalengka untuk menambah kekuatan tempur pasukan nasionalis. Ia juga hadir dalam gerilya 10 November 1945 di Surabaya, sebagaimana dilansir Antaranews. Hal ini dilakukan olehnya untuk menyikapi Resolusi Jihad yang dikumandangkan KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945.
Kiai Haji Abdul Chalim dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 115-TK-TH-2023 tanggal 6 November 2023. Ia memperoleh gelar pahlawan nasional pada 2023 bersama dengan 5 nama tokoh lain.
Biografi Kiai Haji Abdul Chalim dan Sejarah Perjuangannya
Ada delapan orang yang tercatat namanya sebagai kiai pendiri NU, salah satunya KH Abdul Chalim. Tokoh pahlawan nasional dari Jawa Barat ini lahir di kecamatan Leuwimunding, Majalengka, pada 2 Juni 1898.
Nama orang tua KH Abdul Chalim adalah Nyai Suntamah dan Mbah Kedung Wangsagama. Putra dari pasangan tersebut ini pernah memperdalam pengetahuan di Mekkah. Selama menempuh pendidikan di sana, Abul Chalim bertemu dengan sejumlah kiai lain.
Salah tokoh yang ditemui Abdul Chalim adalah Kiai Abdul Wahab Chasbullah atau kerap dikenal sebagai Bapak atau Pendiri NU. Wahab Casbullah membentuk organisasi NU bersama beberapa kiai lain pada 31 Januari 1926, termasuk KH Abdul Chalim dan KH Hasyim Asy'ari.
Sejak kelahiran NU, KH Abdul Chalim cukup memiliki peran penting. Dikutip dari NU Online, ia memperoleh tugas menjadi Wakil Katib di organisasi tersebut.
Selepas itu, KH Abdul Chalim juga dikenal sebagai juru bicara (komunikator kunci) di kalangan ulama Jawa-Madura. Tak ayal, ia juga mengemban tugas sebagai pembuat sekaligus pengantar surat undangan untuk berbagai kiai di Pulau Jawa ketika akan diadakan rapat Komite Hijaz.
Saat Jepang datang ke Indonesia mulai 1942, pergerakan organisasi Islam disetop. KH Abdul Chalim pun menyiasati pembentukan Hizbullah Majalengka. Pasukan yang berisi santri dan pemuda itu diklaim mempunyai perang penting dalam perjuangan memperoleh kemerdekaan.
Pasca Indonesia merdeka, tepatnya pada 22 Oktober 1945 di Surabaya, KH Hasyim Asy’Ari mengeluarkan “Resolusi Jihad”. Tokoh penting NU itu mengajak para kiai, ulama, dan para santri untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan negara.
Salah satu bunyi keputusan dalam Resolusi Jihad adalah “Supaja memerintahkan melandjutkan perdjuangan bersifat ‘sabilillah’ untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam”. Menyikapi hal tersebut, KH Abdul Chalim mengorganisasi pasukan ulama yang disebut Mujahidin.
Selain Mujahidin bentukan KH Abdul Chalim, bala tentara dari kalangan santri juga berasal dari Laskar Hizbullah dan Sabilillah. Ketiganya ikut serta dalam Pertempuran Surabaya tanggal 10 November 1945 silam.
Setelah melewati masa perang, KH Abdul Chalim masih tetap menjalankan kewajibannya di NU. Ia sempat berperan sebagai pendiri Persatuan Guru NU (Pergunu) pada 1958. Kemudian pada tahun yang sama, Abdul Chalim juga mendirikan Persatuan Petani NU (Pertanu).
KH Abdul Chalim juga mencatatkan kiprahnya di dunia perpolitikan tanah air. Ia pernah bergabung ke dalam Masyumi dan NU ketika organisasi Islam ini menjadi partai politik.
KH Abdul Chalim memegang jabatan di MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) hingga 1972 silam. Pendiri NU ini pun wafat tanggal 11 April 1972 kala masih memegang posisi tersebut. Ia dimakamkan di kompleks Pesantren Sabilul Chalim Leuwimunding, Majalengka.
Selama masa hidupnya, KH Abdul Chalim tergolong ulama yang produktif. Sejumlah karya lahir dari tangan Kiai Chalim, termasuk 13 judul naskah yang berbentuk syi'ir. Mayoritas karya Kiai Chalim berbahasa Arab-Indonesia, sedangkan sisanya tertulis dalam bahasa Arab-Sunda.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Ahmad Yasin & Iswara N Raditya