tirto.id - Saban tahun, menjelang 10 November dalam peringatan Hari Pahlawan, salah satu nama pahlawan yang kerap muncul ke permukaan adalah Bung Tomo. Ia terkenal dengan aksinya melantangkan orasi melalui radio, mengobarkan semangat para pejuang melawan Sekutu.
Pidato Bung Tomo tersebut dikenal masyarakat di masa kini, terutama lantaran ada foto ikonik ketika sang pahlawan berorasi di depan mikrofon.
Orasi tersebut digelorakan oleh Bung Tomo sehari sebelum Pertempuran Surabaya pecah pada 10 November 1945, tanggal yang kemudian dikuduskan sebagai Hari Pahlawan.
Kisah Bung Tomo dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dimulai sejak itu. Untuk memahami lebih jelas tentang sejarah Bung Tomo, simak biografi dan biodatanya berikut.
Biografi Bung Tomo
Sebagai salah satu pahlawan Peristiwa 10 November yang namanya paling sering disebut, biodata Bung Tomo termuat dalam berbagai buku. Kisah Bung Tomo juga sering dituliskan di bangku sekolah.
Bung Tomo lahir di Kampung Blauran, pinggiran Kota Surabaya, pada 3 Oktober 1920. Nama asli Bung Tomo adalah Sutomo.
Ia sempat mengenyam pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah zaman Belanda setara sekolah dasar. Namun, memasuki 1930-an, di tengah krisis dunia kala itu, Sutomo terpaksa putus sekolah untuk membantu ekonomi keluarganya.
Pendidikan Bung Tomo sebenarnya sempat dilanjutkan lagi hingga ke Hoogere Burgerschool (HBS). Ia menempuh sekolah di sana lewat jalur korespondensi tetapi tidak pernah resmi lulus.
Dalam catatan Abdul Waid, Pekik Bung Tomo (2014), Bung Tomo sempat bergabung dengan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Organisasi tersebut bisa dibilang sebagai pengganti untuk pendidikan formal yang ditinggalkannya.
Sejarah Bung Tomo dalam Peristiwa 10 November bermula ketika ia menjadi redaktur mingguan Pembela Rakjat, 1938.
Harsya Bachtiar menjelaskan melalui bukunya, Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1989), setelah kantor berita Antara berdiri, Bung Tomo ditunjuk sebagai pemimpin redaksi biro Surabaya.
Meskipun berlatar belakang sebagai wartawan, Bung Tomo tidak antipati terhadap militer. Ia bahkan mendirikan laskar Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) pada 12 Oktober 1945. Jabatan pemimpin laskar diembannya selama kurang lebih dua tahun, yakni hingga 1947.
Di masa-masa ketika Sekutu mendarat di Surabaya dan berpotensi merebut kembali kemerdekaan dari tangan bangsa Indonesia, Bung Tomo bertindak cepat. Dengan keahliannya di bidang pemberitaan dan jurnalisme, Bung Tomo membentuk Radio Pemberontak, yang berada di bawah koordinasi BPRI.
Radio itu juga yang kemudian menjadi wadah Bung Tomo untuk menyuarakan pesan penyemangat untuk para pejuang di Surabaya, sehari sebelum Pertempuran Surabaya pecah.
Bung Tomo wafat saat menunaikan ibadah haji pada 7 Oktober 1981. Namun, kematian Bung Tomo tidak membuat kisahnya pudar.
Sejarah perjuangannya Bung Tomo tak lekang oleh waktu. Hampir semua generasi mempelajari kisahnya, mengingat perannya yang amat besar bagi bangsa.
Dikutip dari buku Horizon Ilmu Pengetahuan Sosial oleh Sudjatmoko Adisukarjo (2006:82), berikut ini fakta-fakta menarik yang menjadi bagian dari sejarah Bung Tomo:
- Bung Tomo menjabat Wakil Pemimpin Redaksi Kantor Berita Domei di Surabaya pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945.
- Bung Tomo aktif bekerja di Kantor Berita Antara, yaitu kantor berita milik pemerintah Indonesia pada 1945.
- Bung Tomo menjabat sebagai Ketua Umum barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI). Melalui BPRI, Bung Tomo selalu mengobarkan semangat juang rakyat Indonesia.
- Bung Tomo pernah diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi salah seorang pemimpin di TNI yang bertugas mengoordinasikan Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU) di bidang informasi dan perlengkapan perang.
- Dalam Pertempuran Surabaya, Bung Tomo mendapatkan berita bahwa Sekutu mulai menembak dan bergerak di luar daerah pelabuhan. Bung Tomo pun menyerukan perang terhadap Sekutu.
- Dalam pemerintahan Presiden Sukarno, Bung Tomo menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Indonesia pada 12 Agustus 1955-24 Maret 1956.
- Bung Tomo juga dipercaya duduk sebagai Menteri Sosial pada 18 Januari 1956-24 Maret 1956.
- Bung Tomo wafat tanggal 7 Oktober 1981. Tahun 2008, pemerintah RI menetapkan Bung Tomo sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan bernomor 041/TK/Tahun 2008.
Perjuangan Bung Tomo dalam Pertempuran 10 November 1945
Perjuangan Bung Tomo tidak seperti prajurit yang bergerilya dalam konfrontasi fisik atau adu moncong senjata. Ia berjuang sesuai dengan keahlian yang ditekuninya sebagai wartawan.
Kendati begitu, peran Bung Tomo tidak bisa dianggap enteng dalam Pertempuran Surabaya. Salah satunya ialah peran dalam mendirikan BPRI dan Radio Pemberontak.
Perjuangan Bung Tomo bermula ketika Surabaya kedatangan Inggris dan Belanda, yang tergabung dalam Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI). Kedatangan Sekutu pada periode September-Oktober itulah yang menjadi salah satu penyebab Pertempuran Surabaya. Perang pertama di Surabaya pecah pada 27 Oktober hingga tiga hari berikutnya.
Presiden Sukarno dan wakilnya, Hatta, sempat turun tangan untuk berunding dengan pihak Sekutu. Namun, pihak Inggris dan Belanda mengingkari perjanjian tersebut. Mereka marah lantaran pemimpinnya, Jenderal Mallaby, tewas dalam suatu insiden di Jembatan Merah, sekitar Gedung Internatio.
Maka itu, pecahlah Pertempuran 10 November. Sehari sebelumnya, demi membangkitkan keberanian para pemuda yang bertempur melawan Sekutu, Bung Tomo berorasi di Radio Pemberontak.
Peran Bung Tomo dalam membangkitkan semangat para pejuang RI sebenarnya tidak hanya dilakukan sehari menjelang Pertempuran Surabaya. Dikutip dari Pekik Bung Tomo (2014), agitasi dan propaganda Bung Tomo menjadi menu setiap hari bagi para pejuang, khususnya sejak Oktober hingga peperangan berlangsung.
Isi Pidato Bung Tomo
Berikut adalah isi pidato Bung Tomo ketika mengusir tentara Inggris dalam perang 10 November 1945.
Bismillahirrohmanirrohim..
Merdeka!!!
Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia terutama saudara-saudara penduduk Kota Surabaya. Kita semuanya telah mengetahui. Bahwa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua. Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan, menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangan tentara Jepang. Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan. Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka.
Saudara-saudara,
Di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau, kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya.
Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi, pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali, pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan, pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera, pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. Di dalam pasukan mereka masing-masing. Dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung.
Telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol. Telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana.
Hanya karena taktik...
Hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara. Dengan mendatangkan presiden dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini. Maka kita ini tunduk untuk memberhentikan pertempuran. Tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri. Dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya.
Saudara-saudara kita semuanya. Kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu, dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya, ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia, ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini, dengarkanlah ini tentara Inggris.
Ini jawaban kita. Ini jawaban rakyat Surabaya. Ini jawaban pemuda Indonesia kepada Kau sekalian.
Hai tentara Inggris!
Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu. Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu. Kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kita rampas dari tentara Jepang untuk diserahkan kepadamu. Tuntutan itu, walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada, tetapi inilah jawaban kita. Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih. Maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga.
Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah keadaan genting!
Tetapi saya peringatkan sekali lagi. Jangan mulai menembak. Baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka. Itulah, kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.
Dan untuk kita...
Dan untuk kita saudara-saudara.
Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!
Dan kita yakin saudara-saudara,
Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara. Tuhan akan melindungi kita sekalian.
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Merdeka!!!
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Fadli Nasrudin