tirto.id - Bank Indonesia (BI) baru saja merilis kebijakan makroprudensial berupa Rasio Pendanaan Luar Negeri Bank (RPLN). Kebijakan yang akan mulai berlaku 1 Agustus 2024 ini dimaksudkan untuk memperkuat pengelolaan pendanaan luar negeri perbankan dalam mendukung kredit atau pembiayaan bagi masyarakat dan dunia usaha.
Selain itu, kebijakan ini dihadirkan BI untuk memperlancar arus modal asing masuk ke dalam negeri.
“RPLN merupakan inovasi instrumen makroprudensial kontrasiklikal Bank Indonesia untuk memperkuat pengelolaan sumber pendanaan luar negeri jangka pendek bank,” kata Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, di Jakarta, Kamis (20/6/2024).
Dalam kebijakan ini, BI mengatur batas maksimum kewajiban pinjaman luar negeri jangka pendek terhadap modal bank, yang dapat disesuaikan dengan kondisi perekonomian nasional berdasarkan asesmen Bank Sentral. Pada kebijakan ini, pendanaan luar negeri jangka pendek terhadap modal bank (threshold RPLN) dibatasi sebesar 30 persen.
“Dengan parameter kontrasiklikal 0 persen atau kurang lebih 5 persen yang ditetapkan berdasarkan asesmen forward looking Bank Indonesia atas siklus keuangan, risiko eksternal, dan risiko stabilitas sistem keuangan SSK,” ujar Perry.
Selain itu, dalam kebijakan yang ditujukan untuk mengerek penyaluran kredit bank ini, juga mengatur soal definisi dan cakupan pendanaan luar negeri untuk perhitungan batas maksimum pendanaan luar negeri jangka pendek bank (threshold RPLN) dan pengaturan batas maksimum.
Dalam pelaksanaannya, BI akan melakukan peninjauan secara berkala setiap 6 bulan sekali atau sewaktu-waktu jika diperlukan kepada bank. Menurut Perry, hal ini dilakukan untuk menjaga agar implementasi RPLN ini tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian.
“Yang antara lain mencakup manajemen risiko kredit, risiko pasar dan permodalan, sesuai dengan aturan yang berlaku,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Deputi Gubernur BI Juda Agung menjelaskan, pendanaan maksimum 30 persen dari modal diperuntukkan untuk pembiayaan luar negeri dengan jangka waktu di bawah satu tahun. Sedangkan pendanaan jangka panjang dengan jatuh tempo lebih dari satu tahun membutuhkan perizinan lebih lanjut dari Bank Sentral.
“Yang kita sempurnakan ini adalah untuk pinjaman jangka pendek. Berbeda dari yang sekarang yang 30 persen, yang 80 persen. Nah, instrumen kebijakan RPLN ini sifatnya kontrasiklikal. Dinamis, ya. Artinya ketika ekonomi sedang membutuhkan pendanaan bank dari luar negeri, maka bisa dinaikkan dari 30 persen ke 35 persen,” jelasnya.
Sebaliknya, jika BI memandang pendanaan yang didapatkan bank dari luar negeri sudah berlebihan, maka dapat diturunkan menjadi 25 persen dari modal.
“Jadi tergantung siklus ekonominya dan siklus keuangannya. Karena pinjaman luar negeri ini mengandung risiko nilai tukar, tentu saja faktor-faktor ini dipertimbangkan. Apakah akan dinaikkan atau diturunkan atau tetap,” ujar Juda.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Irfan Teguh Pribadi