tirto.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menerbitkan beleid untuk memperketat ketentuan produk asuransi yang dikaitkan investasi (PAYDI) atau unit link pada Q2 2021. Akan diatur investasi apa yang bisa dibelikan perusahaan dari dana pemegang polis. Tujuannya untuk meminimalisasi kerugian pemegang polis serta potensi pemilihan saham yang sarat spekulasi.
“Nanti kami mau kasih rambu-rambu apa yang boleh dibeli perusahaan,” ucap Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2A OJK Ahmad Nasrullah, Rabu (21/4/2021).
Pemberitahuan ini disampaikan OJK usai sejumlah pemegang polis mengeluh rugi. Nilai uang yang mereka setorkan dalam asuransi unit link turun drastis hingga menarik perhatian masyarakat luas.
Ahmad memastikan OJK tak akan membuat ketentuan menjadi kaku, sebab mereka tak bisa memaksa setiap perusahaan asuransi memilih kelompok saham atau emiten tertentu saja. “Kita kan harus fair juga,” katanya.
Portofolio investasi asuransi komersial yang ditempatkan di instrumen pasar modal cukup besar jumlahnya. OJK mencatat per Februari 2021 investasi saham memiliki porsi 25,93% dari total portofolio, kedua tertinggi setelah reksa dana sebesar 31,9%. Tingginya porsi ini menyebabkan investasi asuransi komersial cukup rentan terhadap gejolak pasar keuangan.
Koordinator Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi menilai upaya ini “ini sangat-sangat terlambat, sudah jatuh banyak korban, baru dilakukan.” Kata terlambat juga menjadi semakin relevan karena bisnis unit link sendiri sudah hadir di Indonesia sejak 1988. YLKI sendiri sudah menerima banyak pengaduan terkait sejak 2010. Selama periode itu, ia tak kunjung melihat langkah tegas dari pemerintah dan otoritas terkait.
Meski begitu, saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (22/4/2021), dia bilang lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. “Tak ada kata terlambat untuk perlindungan konsumen.”
Di sisi lain, peraturan yang diterbitkan OJK menurutnya berpotensi tak menjawab masalah. Sebabnya peraturan OJK belum menjawab sumber masalah yang terletak pada kurangnya transparansi perusahaan pada konsumen dan fakta banyak konsumen yang belum memahami apa itu unit link.
Agen maupun pekerja pemasaran kerap menjelaskan secara tidak jujur risiko dan manfaat unit link secara proporsional, apalagi soal potensi kerugian akibat fluktuasi pasar keuangan. Informasi yang diberikan selalu mengarah keuntungan di masa depan, seakan-akan pemegang polis pasti mendapat imbal hasil besar.
Oleh karenanya perlu ada pengaturan tegas pada agen sampai perusahaan asuransi. Perlu ketentuan jelas agar agen tak sembarang memasarkan dan mengejar target closing juga komisi.
“Perlu diatur: apa tanggung jawab agen, perusahaan juga tak boleh lepas tangan,” ucap Sularsi.
Bagaimanapun juga OJK perlu tegas untuk memastikan perusahaan bertanggung jawab alih-alih kerap menyalahkan agen atau oknum sebab mereka bekerja atas nama perusahaan dan keuntungannya juga dinikmati perusahaan.
Hentikan Unit Link
Pengamat asuransi sekaligus arbiter Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia Irvan Rahardjo menilai OJK sebenarnya bisa berbuat lebih tegas lagi, sebagaimana janji mereka untuk mereformasi industri asuransi. “Hentikan jual unit link di asuransi jika mau lakukan reformasi,” ucap Irvan kepada reporter Tirto, Kamis.
Irvan beralasan perusahaan asuransi sedari awal memang tidak diperuntukkan mengelola investasi tetapi hanya sebagai manajer risiko. Fungsi mengelola investasi sudah ditangani oleh manajer investasi.
“Jangan sekali-kali beli produk investasi di asuransi. Asuransi pada dasarnya manajer risiko bukan manajer investasi. Kok menaruh uang di asuransi malah nasabah harus tanggung risiko? Kan, aneh,” ucap Irvan.
Ia menyarankan agar masyarakat hanya pergi ke perusahaan asuransi jika mereka memerlukan layanan proteksi entah itu kesehatan, kecelakaan, hingga kematian. Jika memiliki kebutuhan di masa depan seperti pendidikan, menikah, hingga pensiun, maka jalan yang tepat adalah manajer investasi.
Usulan Irvan bisa jadi tidak mudah dilakukan, sebab unit link termasuk 'lahan basah' karena menyumbang pendapatan besar bagi industri asuransi. OJK mencatat unit link memberi kontribusi setidaknya 50 persen dari total penerimaan premi asuransi. Pada 2020 total premi unit link menyentuh Rp98,25 triliun.
Selain itu, Irvan juga menilai OJK perlu bersikap tegas pada aktivitas penawaran produk asuransi di bank. Menurutnya ini juga tidak boleh dicampuradukkan karena konsumen datang ke bank untuk menitipkan uangnya, bukan mengasuransikan apa pun. Ia bilang banyak nasabah akhirnya memutuskan menerima tawaran dengan mindset yang salah, yaitu produk asuransi sama dengan bank. Tak sedikit yang akhirnya terkejut karena tabungannya terdebit secara otomatis untuk biaya asuransi yang tak disadarinya.
Di lapangan, peringatan Irvan ini ada benarnya. Sejumlah nasabah telah mengalami langsung tabungannya tergerus. Sementara nasabah lain menerima tawaran seorang agen di bank sebagai semacam 'tabungan pendidikan', tetapi ia malah didaftarkan asuransi jiwa unit link.
Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2A OJK Ahmad Nasrullah tak menampik bila otoritas menemui kendala ketika menyusun aturan itu, salah satunya dari industri asuransi itu sendiri. “Mohon maaf agak lama karena diskusinya cukup panjang dengan asosiasi. Ya, karena terus terang mereka tentunya akan sangat keberatan kalau banyak diatur,” ucap Ahmad, Rabu, dikutip dari Antara.
Ahmad menyatakan dalam peraturan ini otoritas juga perlu mencari keseimbangan. Satu sisi untuk melindungi konsumen, di sisi lain berupaya tidak sampai mematikan lini usaha industri asuransi.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah & Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino