tirto.id - Periode 1950-an menjadi periode yang diisi dengan sejumlah konferensi penting, diawali dari Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 di Bandung. KAA berlangsung pada 18 hingga 24 April dengan dihadiri oleh perwakilan dari 29 negara yang terdiri atas 23 negara Asia (termasuk Timur Tengah) dan 6 negara Afrika.
Wildan Sena Utama dalam Konferensi Asia-Afrika 1955: Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme (2017) menjelaskan bahwa KAA dibuka dengan pidato Soekarno yang bertajuk “Let a New Asia and Africa be Born! (Lahirkan Asia Baru dan Afrika Baru)” yang menggemakan soal (1) kolonialisme; (2) perdamaian dunia; dan (3) pentingnya solidaritas Asia-Afrika.
Rosihan Anwar selaku jurnalis yang meliput KAA menuangkan pengalamannya dalam Sejarah Kecil, Petite Historie Indonesia: Jilid 2 (2014). Ia menyampaikan bahwa Chou En Lai selaku Perdana Menteri Tiongkok tampil menjadi bintang konferensi. Dia lah yang menyelamatkan konferensi dari kebrutalan dan menjadi salah satu tokoh penting di balik Deklarasi Perdamaian (Dasa Sila Bandung).
Pasca KAA 1955, semangat solidaritas Asia-Afrika menggelora di mana-mana. KAA yang awalnya merupakan konferensi tunggal, kemudian disusul oleh konferensi-konferensi lain yang membawa semangat solidaritas serupa.
Sebut saja, Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika (KMAA) yang diadakan pada 1956, Konferensi Solidaritas Asia-Afrika (KSAA) di Kairo, dan ada pula Konferensi Wanita Asia-Afrika (KWAA) di Kolombo pada 1958. Mengenai KWAA, wanita Indonesia sangat antusias menyambutnya. Mereka menyadari bahwa sekalipun berlokasi di Kolombo, tetapi sejatinya “tuan rumah” dari gelora solidaritas Asia-Afrika adalah Indonesia.
Antusiasme ini salah satunya ditunjukan oleh Nyonya S. Suharti melalui tulisannya dalam kolom Ruangan Wanita di surat kabar Harian Rakjat. Dalam tulisannya yang berjudul "Menjambut Konferensi Wanita Asia Afrika" (29 Januari 1958) Suharti menyampaikan berbagai catatan sejarah yang menggaris bawahi peran wanita dalam perjuangan nasional di masing-masing negara.
Oleh sebab itu, penting untuk membahas permasalahan yang menyengsarakan wanita di Asia-Afrika, seperti kewarganegaraan, kesejahteraan sosial-ekonomi, pendidikan, perburuhan, serta perbudakan dan perdagangan wanita. Lebih lanjut lagi, Suharti menekankan pentingnya pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk menaruh perhatian lebih pada KWAA, karena bisa memberikan sumbangan bagi implementasi Dasa Sila Bandung, utamanya bagi perjuangan anti-kolonialisme.
KWAA: Dari Perdebatan sampai Perempuan Aljazair
KWAA diselenggarakan di Kolombo pada 15-24 Februari 1958. Panitia KWAA mengirimkan undangan kepada 29 negara, tetapi hanya 18 negara yang bisa hadir. Ke-18 negara itu adalah Afghanistan, Burma, Jepang, Filipina, India, Indonesia, Iran, Mesir, Mongolia, Muangthai, Pakistan, Sailan, Singapura, Tiongkok, Tunisia, Turki, Uganda, dan Vietnam.
Harian Rakjat pada 17 Februari 1958 menyampaikan bahwa 18 negara tersebut, ditambah dengan delegasi tamu, jika ditotal ada 116 delegasi. Mutiah Amini dalam Sejarah Organisasi Perempuan Indonesia (1928-1998) (2021) merinci nama-nama wanita yang menjadi delegasi Indonesia. Delegasi dipimpin oleh Maria Ulfah Santoso dengan beranggotakan Nyonya dr. Hurustiati Subandrio, Nyonya Nani Suwondo, Nyonya Kartini K. Radjasa, Soehartini, Nyonya Suyono Prawirobismo, S.K. Trimurti, dan Nyonya Iljas Sutan Pangeran.
Maria Ulfah sebagai ketua delegasi Indonesia sempat “beraksi” di KWAA. Begitu sampai di Kolombo, ia langsung berdebat dengan steering committee yang menyampaikan aturan bahwa permasalahan politik dilarang untuk diperbincangkan. Perdebatan tersebut terjadi karena Maria Ulfah bermaksud berbicara mengenai permasalahan Irian Barat.
Gadis Rasid melalui karangannya, Maria Ulfah Subadio: Pembela Kaumnya (1982) menuliskan bahwa di saat perdebatan inilah Maria Ulfah mulai mempertunjukkan kemampuan diplomasinya untuk melobi orang-orang di steering committee. Ia mengatakan bahwa sangat tidak mungkin untuk menyortir 40 pidato yang sudah disiapkan dari negara asalnya. Menyortirnya akan memakan waktu yang terlampau banyak. Lebih baik, biarkan saja para perwakilan delegasi menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Nanti, apabila ada yang membahas mengenai permasalahan politik, cukuplah tidak perlu disertakan dalam dokumen resolusi.
Steering commitee pun merasa bahwa apa yang dikatakan oleh Maria Ulfah ada benarnya dan mereka menyetujuinya. Akhirnya, Indonesia pun bisa membicarakan Irian Barat, begitu pula negara lain dengan permasalahan politiknya masing-masing.
Keesokan harinya, Maria Ulfah dilabrak oleh delegasi Turki. Gara-gara lobi yang dilakukannya, Tiongkok bisa berpidato tentang Taiwan dan pidatonya diterbitkan di surat kabar. Maria Ulfah pun menanggapinya dengan tenang. Ia mengatakan bahwa pidato Tiongkok merupakan pesan dari orang-orang Tiongkok. Pesan yang tidak akan dimuat dalam resolusi, sehingga tidak akan mempengaruhi konferensi. Sikap tenang dari Maria Ulfah dipuji oleh Adisheshah, perwakilan dari Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).
“Tanpanya, konferensi bisa menjadi kacau dan buruk,” begitulah kira-kira ucapan dari Adisheshah.
Aksi lain juga datang dari delegasi Tiongkok. Setiap kali perwakilan PBB menyampaikan laporannya mengenai peran mereka di negara-negara Asia-Afrika, delegasi Tiongkok justru keluar dari ruangan (walk out).
Laporan perwakilan PBB berisi tentang (1) peranan United Nations Educational, Scientific, and Culture Organization (UNESCO) di Asia-Afrika; (2) pekerjaan World Health Organization (WHO) dan United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) di Asia-Afrika; (3) usaha-usaha komisi kedudukan wanita dan PBB; (4) usaha PBB dalam pemberantasan perbudakan; serta (5) pekerjaan International Labour Organization (ILO) dan persoalan buruh wanita.
Mengutip dari Harian Rakjat, pada 3 Maret 1958 ketua delegasi Tiongkok, Shih Liang menyampaikan keberatannya terhadap PBB. Menurutnya, PBB terlalu ikut campur dalam urusan negaranya. Tidak semua hal perlu dicampuri oleh PBB, karena negara juga membutuhkan otoritasnya sendiri. Kendati begitu Tiongkok menegaskan bahwa aksi walk out mereka, tidak akan mempengaruhi konferensi. Mereka tetap mendukung penuh suksesnya konferensi.
KWAA juga membahas soal prostitusi. Dalam sidang istimewa yang dipimpin oleh Nona Kyi Yi Min dari Burma, Nona Theo Mangtjun dari Tiongkok beranggapan bahwa kemelaratan ekonomi menjadi penyebab munculnya prostitusi di sana-sani. Sedangkan, Nyonya F.B. Demel dari Sri Lanka mengatakan akar prostitusi ialah nafsu laki-laki yang berlebihan. Nyonya Lakshmi Menon dari India juga menambahkan bahwa selama ini orang-orang hanya berfokus pada rumah-rumah bordil yang secara tidak langsung justru melanggengkan prostitusi. Urusan prostitusi perlu diselesaikan dari akarnya, bukan dari sesuatu yang terlihat di permukaan. Begitulah yang tertulis dengan tegas dalam Harian Rakjat, 22 Februari 1958.
Selain suara orang-orang Asia, orang-orang Afrika juga menunjukkan tajinya dengan menyampaikan permasalahan di Aljazair. Delegasi Tunisia menceritakan tentang hukuman mati dari Pemerintah Prancis kepada 4 pejuang perempuan dari Aljazair.
Delegasi Indonesia sebelumnya sudah mengetahui cerita tersebut. Bahkan pada rapat pleno 31 Januari 1958 melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Indonesia telah menyampaikan resolusi yang memprotes tindakan Pemerintah Prancis itu.
DPR menyatakan bahwa hukuman mati merupakan sesuatu yang melanggar asas-asas kemanusiaan. Dalam KWAA, Indonesia bersama dengan negara lain menegaskan sikapnya. Mereka menyatakan simpati sedalam-dalamnya atas kejadian buruk yang menimpa Aljazair, sekaligus mengecam Pemerintah Prancis.
KWAA tidak sekadar diisi dengan konferensi, sidang, maupun segala yang mengharuskan para delegasi di dalam ruangan. Ada kalanya, kegiatan juga diisi dengan sesuatu di luar ruangan. Misalnya saja, saat para delegasi diajak mengunjungi Lanka Mahila Samiti Training School di daerah Kaduwela. S.K. Trimurti menuliskan pengalaman kunjungan itu dalam Harian Rakjat edisi 7 Maret 1958.
Lanka Mahila Samiti merupakan sekolah gratis yang dikhususkan untuk perempuan. Sekolah tersebut dilengkapi dengan asrama dan tempat praktik. Selama tiga bulan, para perempuan diajarkan untuk menjahit, menyulam, membuat kerajinan tangan, diberi pemahaman mengenai rumah tangga, bahkan praktik cara mengasuh anak. Nyonya Bandaranaike selaku pendiri sekolah, menyampaikan bahwa setelah lulus dari Lanka Mahila Samiti, para perempuan kembali ke desanya dan mempunyai kehidupan yang lebih baik. Mereka bisa menghasilkan uang untuk menopang dirinya dan keluarganya. Tentu ini menjadi sebuah pengalaman yang menginspirasi bagi segenap wanita di Indonesia, baik bagi yang datang ke sana maupun yang membaca tulisan S.K. Trimurti.
Oleh-Oleh dari Kolombo
Kendati tidak terpusat dalam sebuah konsep, layaknya Dasa Sila Bandung, tetapi KWAA juga mempunyai resolusi yang patut untuk dibanggakan. Delegasi Indonesia tidak pulang dengan tangan kosong. Mereka membawa “oleh-oleh” yang siap dibagikan kepada seluruh masyarakat Indonesia, yakni laporan resolusi yang relevan dengan keadaan bangsa.
Harian Rakjat, 10 Maret 1958 menyampaikan bahwa resolusi KWAA dibagi ke dalam lima bidang. Pertama, pendidikan. Para peserta konferensi menyadari bahwa angka melek huruf di Asia dan Afrika berada di bawah 20%. Oleh karena itu, penting untuk menambah bangunan sekolah supaya semakin banyak anak yang bisa belajar membaca di sekolah. Lebih lanjut, mereka juga menyadari pentingnya pendidikan keagamaan di setiap sekolah. Kedua, kesehatan ibu dan anak. Hampir seluruh negara menyetujui untuk menerapkan family planning, kecuali Filipina. Dalam konteks Indonesia, family planning itu diwujudkan sebagai program nasional melalui Keluarga Berencana pada masa pemerintahan Orde Baru.
Ketiga, kewarganegaraan. Pada dasarnya ada dua resolusi utama dalam bidang ini. Wanita harus diberi kesempatan berpartisipasi dalam pemerintahan dan/atau dewan, serta wanita juga perlu bergabung dalam partai. Terkait dengan resolusi ketiga, Indonesia tampak selangkah lebih maju. Mengingat, Maria Ulfah telah memegang jabatan sebagai menteri sosial pada 1946.
Keempat, perbudakan dan perdagangan wanita. Prostitusi menjadi bahasan utama dalam bidang keempat. Menurut mereka, prostitusi adalah definisi yang bisa mengacu pada pria dan wanita. Maka, jangan selalu mengaitkannya dengan wanita yang berimbas pada pandangan negatif terhadapnya. Kemudian, seluruh anggota delegasi sepakat untuk membentuk tim edukator yang bertujuan untuk mengurangi prostitusi.
Terakhir alias kelima, permasalahan buruh. Satu hal yang perlu digaris bawahi dari bidang kelima ialah pentingnya pengadaan daycare di tempat kerja. Sesuatu yang bahkan sampai sekarang masih disuarakan oleh para pekerja wanita.
Sebagai sebuah konferensi wanita tingkat Asia-Afrika yang pertama, resolusi-resolusi di atas telah menunjukkan keberhasilannya. Peserta KWAA memang tidak sebanyak pendahulunya, KAA. Kendati demikian, kualitasnya patut untuk diacungi jempol.
Wanita juga punya hajatnya sendiri yang tidak kalah dari konferensi-konferensi yang digawangi oleh kaum lelaki. Tokoh-tokoh wanita juga bisa bersinar di panggungnya sendiri. KWAA menjadi konferensi yang paling jelas keberlanjutannya. Nantinya, KWAA kedua diadakan pada 1961 di Kairo, Mesir.
Penulis: Pratika Rizki Dewi
Editor: Nuran Wibisono