tirto.id - Presiden Joko Widodo menyoroti ketidakpaduan data pasien COVID-19 dalam rapat terbatas dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Senin (13/3/2020) kemarin. Ia lantas meminta data pasien dibuat terintegrasi-- antardaerah dan antarlembaga--serta disajikan ke masyarakat dengan baik.
"Terkait data informasi saya minta data-data informasi ini betul-betul terintegrasi semua kementerian masuk ke Gugus Tugas," kata Jokowi melalui video yang disiarkan langsung Sekretariat Presiden, Senin (13/4/2020).
Selain itu, mantan Wali Kota Solo itu juga meminta data soal pandemi disampaikan secara rinci. Tak hanya jumlah pasien positif, tapi juga jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) hingga jumlah tes PCR yang sudah dilakukan.
Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto mengatakan tim telah bekerja dengan pemerintah provinsi untuk mengintegrasikan data COVID-19 sejak pekan lalu. Kelak, data akan dihimpun secara berantai mulai dari rumah sakit, dinas kesehatan, dan gugus tugas daerah. Selanjutnya, dari daerah akan diintegrasikan ke gugus tugas pusat.
"Terintegrasi dari daerah sampai pusat dalam satu sistem," kata Yuri kepada reporter Tirto, Selasa (14/4/2020).
Perkara data COVID-19 memang cukup disorot masyarakat. Mulai dari tidak padunya data Kementerian Kesehatan yang disampaikan tiap hari dengan data yang dimiliki pemerintah daerah, sampai pada dugaan manipulasi untuk membuat seolah kurva penyebaran pandemi telah melandai.
Sebagai contoh, jika melihat situs corona.jakarta.go.id, pada Senin (13/4/2020) jumlah pasien positif berjumlah 2.242. Namun jika merujuk dokumen Gugus Tugas Covid-19, jumlah pasien berjumlah 2.186 orang.
Akurasi data juga pernah dikeluhkan oleh Kepala Pusdatin Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo. Pada Minggu 6 April, ia pernah mengatakan "masih banyak [data dari Kementerian Kesehatan] yang tertutup." Ia lantas mengaku "belum bisa menghasilkan data yang sangat lengkap atau terbuka. Itu memang salah satu kendala saat ini."
Untuk menyiasati hal itu, selama ini BNPB juga mengumpulkan data-data dari daerah, tapi yang disampaikan tiap konferensi pers hanya versi pemerintah pusat.
"Kami sandingkan. Yang dipublikasi apa yang disampaikan Pak Yuri. Tapi di belakang layar, kami punya seluruh data," kata Agus.
Aktivis gerakan Kawal Covid Ainun Najib pernah mengatakan betapa pentingnya akurasi data. Salah satunya agar tidak ada tindakan yang salah untuk merespons atau mengendalikan virus tersebut. Konteks pernyataannya saat itu adalah angka pengetesan yang hanya 100an per hari--jauh di bawah negara-negara lain.
"Jangan-jangan masyarakat Indonesia malah nyantai karena sudah melandai tiap hari cuma 100," katanya.
Terlambat Sadar
Anggota DPR dari fraksi Demokrat Benny K Harman menyayangkan lambannya pemerintah pusat menyadari kelengkapan data. Kendati begitu, menurutnya terlambat masih lebih baik dibanding tidak sama sekali.
"Sudah sejak bulan lalu kami minta ada kejujuran dan keterbukaan informasi. Jangan ditutupi, jangan anggap enteng. Tapi, kan, pemerintah selalu anggap enteng," kata Benny kepada reporter Tirto, Selasa (14/4/2020).
Bulan lalu, tepatnya pada 13 Maret, Jokowi mengaku kalau pemerintah memang tidak mau mengungkap semua data, terutama peta persebaran penderita COVID-19. "Kami ingin menyampaikan, tapi juga berhitung mengenai kepanikan dan keresahan di masyarakat, juga efek nanti pada pasien apabila sembuh," katanya.
Benny berharap implementasi dari pernyataan terbaru Jokowi itu adalah adanya data mulai dari pasien positif, pasien dalam pengawasan, hingga orang dalam pemantauan, yang lengkap. Di samping itu, pemerintah juga harus menggalakkan pengujian kepada mereka yang terindikasi COVID-19.
Dalam laman covid-monitoring.kemkes.go.id, informasi yang tersedia adalah kasus terkonfirmasi, angka pasien dalam perawatan, dan jumlah orang meninggal serta sembuh. Ada pula peta persebaran tiap provinsi, di samping berita-berita pendek soal perkembangan terkini.
Koordinator Safenet Damar Juniarto mengapresiasi pemerintah yang akhirnya memperhatikan kesemrawutan data COVID-19. Pasalnya, karut-marut data jelas berpengaruh pada penanganan wabah. Peneliti, misalnya, tidak bisa melakukan pemodelan untuk memproyeksikan persebaran wabah atau prediksi kapan semua selesai. Sementara masyarakat yang kebingungan akhirnya beralih ke sumber informasi yang tak bisa dipastikan validitasnya.
"Sebetulnya krisis informasi ini bisa dihindari kalau sedari awal pemerintah menerapkan transparansi dari sisi data," kata Damar kepada reporter Tirto.
Damar menegaskan kembali bahwa COVID-19 adalah penyakit yang belum ditemukan obatnya, sehingga pencegahan adalah langkah terbaik. Pencegahan bisa dilakukan jika masyarakat memperoleh informasi lengkap soal penyakit.
Damar berharap setelah pemerintah berhasil mengintegrasikan antara daerah dengan pusat, maka mereka juga menyampaikan data itu dengan transparan. Dengan demikian, semua orang bisa turut serta mengawasi.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino