tirto.id - Enggal Pamukti, seorang warga negara Indonesia, menggugat Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait penanganan pandemi Covid-19 yang menuai korban positif ribuan warga.
Pada 1 April 2020, Enggal mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara PN JKT.PST-042020DGB.
"Dasar pelaporan ini adalah kelalaian yang menyebabkan kematian," ucap dia ketika dihubungi Tirto, kemarin.
Alasan pengajuan gugatan ini, kata Enggal, sebelum Covid-19 merebak di Indonesia, pemerintah pusat ada waktu 2,5 bulan untuk menyiapkan strategi pencegahan.
Namun, waktu yang ada malah tidak digunakan dengan baik. Pemerintah justru mencederai nalar publik dengan melontarkan jargon seperti 'makan nasi kucing, jamu resep Jokowi, duta imun, makan tauge atau berdoa'.
"Itu yang menyebabkan saya sebagai Penggugat merasa 'ini sudah waktunya gugat, [dengan] class action'. Saya selaku pelaku UMKM dan teman-teman saya, merasa dirugikan secara materiel dan imateriel," jelas Enggal.
Secara materiel, ia menuntut Rp10.012.000.000, sedangkan imateriel, ia merasa dirugikan lantaran karena ada korban meninggal, kekhawatiran masyarakat yang tidak terjawab selama awal wabah merebak di bawah pemerintahan Jokowi.
Selain itu, masyarakat merasa terancam karena tidak ada kebijakan yang pasti dari pemerintah seperti lockdown, karantina wilayah atau pembatasan sosial berskala besar.
Enggal yang juga menjadi wakil enam penggugat lainnya, mengaku telah 'mengukur' buzzer-buzzer Istana sebelum pelaporan. "Saya anggap enteng saja, kalau saya mau dilaporkan, laporkan saja. Pasti mereka cari kesalahan saya," ucap dia.
Bahkan usai pelaporan pun akun sosial medianya telah diserang, tapi dia paham yang dia lawan adalah lembaga negara. Menurut Enggal, pihak negara dapat memberikan bantahan dan pembuktian dalam persidangan nanti. "Tidak ada kata lain, lawan!"
Tanggapan Istana atas Gugatan Class Action
Staf Khusus Presiden Dini Shanti Purwono mengaku tidak memiliki pegang detail mengenai gugatan itu lantaran urusan tersebut akan ditangani oleh Kejaksaan Agung. Ia menanggapi sah saja kalau ada yang merasa dirugikan dan mengajukan gugatan.
"Itu hak konstitusional setiap warga negara, nanti juga akan ada proses pemeriksaan dan pembuktian di pengadilan. Silakan disampaikan argumen dan pembuktian terkait, biar nanti diputuskan oleh pengadilan," ucap dia ketika dihubungi Tirto, Kamis (2/4/2020).
Menurut pemahaman Dini, pihak penggugat merasa Presiden Jokowi terlambat bertindak dalam penanganan wabah Covid-19. Selain itu, wabah ini berkategori 'force majeure', sesuatu yang di luar kendali manusia.
"Tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain. Siapa yang bisa tahu kapan dan bagaimana wabah itu akan terjadi? Tidak ada yang tahu dengan pasti," imbuh dia.
Membicarakan kerugian, lanjut Dini, situasi negara-negara lain banyak yang lebih buruk kondisinya dibanding Indonesia. Maka ia menekankan harus melihat situasi secara obyektif, jangan fokus kepentingan diri sendiri.
Sebagai warga negara yang baik, menurut dia, seharusnya mendukung dan membantu pemerintah melawan Covid-19.
"Bantu pemerintah untuk menjaga penyebaran, mengawal agar program pemerintah dalam hal ini terlaksana dengan baik, alih-alih menambah beban gugatan di pengadilan di tengah situasi genting seperti ini," tutur Dini.
Class Action Itu Hak Warga Negara
Menanggapi gugatan ini, ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan dalam class action, orang-orang dalam suatu komunitas atau pihak yang punya kepentingan sama dan kerugian sama akibat tindakan yang sama, itu bisa mengajukan keberatan ke pengadilan.
Selanjutnya, pengadilan akan mempertimbangkan gugatan yang mengklaim kepentingan komunitas itu diterima atau tidak. Jika diterima, penggugat harus membuktikan kerugian-kerugian yang telah didalilkan.
"Di sisi lain, pemerintah atau presiden wajib membuktikan [strict liability] bahwa pemerintah sudah atau tidak terlambat melakukan kewajibannya dalam mengatasi wabah Corona," ucap dia Fickar ketika dihubungi Tirto, Rabu (1/4/2020).
Hakim akan mempertimbangkan apakah penggugat dapat membuktikan kerugian dan apakah presiden sudah atau tidak terlambat bertindak merupakan kewajibannya. Bila gugatan diterima, akan dibentuk sebuah panitia yang akan mendata dan mengelola hasil ganti rugi yang dibayarkan presiden.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menekankan setiap warga negara berhak untuk menempuh langkah hukum baik secara perorangan maupun secara kolektif.
Sebab, sejak awal Covid-19 menyebar ke kawasan negara lain, pemerintah Indonesia tak serius mengantisipasi ancaman virus, justru membuat narasi seolah warga Indonesia kebal dari serangan corona.
"Ketika virus ini berdampak di negara ini, otoritas Indonesia tertinggal dari para pemimpin negara-negara tetangga yang jauh hari mempersiapkan diri," kata dia ketika dihubungi Tirto, Rabu (1/4/2020).
Semestinya, pemerintah Indonesia bergegas memperluas kampanye layanan masyarakat, menyiapkan rumah sakit, menetapkan protokol berbagai sarana publik.
Usman yang juga anggota Forum Risalah Jakarta menambahkan pemerintah harus bisa memastikan langkah-langkah pembatasan apa pun. Ia mencontohkan ihwal pembatalan acara pernikahan yang mestinya dilakukan secara adil dan tidak diskriminatif, serta melalui cara persuasif dan edukatif.
"Juga aparatur pemerintah di tingkat lapangan harus bersikap proporsional. Adanya acara pernikahan warga yang dibubarkan. Namun, acara pernikahan aparat keamanan tidak dilarang itu menunjukkan praktik diskriminasi," tutur Usman.
Sejak awal kebijakan ini memang maju mundur, menurut dia, bila dari awal gamblang maka pemerintah lebih mudah memastikan warga efektif mematuhi status darurat kesehatan yang diberlakukan.
"Misalnya, warga menghormati kebijakan karantina tanpa konsekuensi yang merugikan bagi diri mereka sendiri seperti acara-acara keluarga yang direncanakan jauh hari. Yang lebih penting memastikan bahwa warga memiliki akses pada tunjangan jaminan sosial yang memadai," imbuh Usman.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri